Visual Verbal Ekstraterestrial; Eksplorasi Jurang Fiksi di Dune (2021)

Ben Aryandiaz Herawan
10 min readOct 24, 2021

--

Semesta, selalu membuat saya terpana.

Engga, saya bukan sedang mencoba bersajak seperti anak indie. Yang saya maksud adalah semesta secara harfiah, luar angkasa, planet, bintang, komet, kosmos, dan semua keajaiban di dalamnya. Saya percaya dengan kutipan ini:

“Real science can be far stranger than science fiction and much more satisfying” — Stephen Hawking

Mungkin inilah alasannya kenapa saya begitu menyukai film-film sci-fi yang berhubungan dengan semesta dan segala koneksinya dengan manusia. Saya dengan senang hati berimajinasi, menjelajah pojok imajinasi dalam pikiran sendiri, mencoba membayangkan apa yang ada di sisi lain dunia ini. Fantasi — bagi saya dan jutaan orang lain — menjadi sebuah pelarian diri.

Film Interstellar, Knowing, The Day Earth Stood Still, dan banyak film fiksi populer lainnya membawa kita hanyut pada imajinasi dan potensi yang belum tergali di dalam dan luar bumi. Tapi Dune, punya sedikit perbedaan dari semua film yang sudah saya sebutkan tadi.

Penafian; Saya tidak membaca buku novel yang dibuat oleh Frank Herbert pada tahun 1965. Pengetahuan saya dari Dune hanya terbatas pada video 5 menit dari TedEd di bawah ini. Itu dan sekilas informasi bahwa Dune adalah dunia fiksi yang kompleksitasnya bisa disandingkan dengan mahakarya dari J.R.R Tolkien, yaitu The Lord of The Rings

Oke, sebuah dunia fiksi baru yang dapat saya jelajahi melalui medium film yang saya sukai.

Tapi ketika saya mendengar untuk pertama kalinya Denis Villeneuve akan menggarap semesta Dune, saya menanggapinya dengan hati-hati. Bukan karena merasa ragu atau khawatir bahwa dunia Dune dibuat tidak sesuai dengan novelnya.

Saya hanya takut, kalau Denis Villeneuve akan mendorong saya jatuh pada jurang fiksi dan emosi yang sama seperti film-film yang dibuat dia sebelumnya.

Politik, Sejarah, Sentimentil

Ada yang masih ingat dengan alasan kenapa orang-orang bumi datang ke planet Pandora di film Avatar? Atau apa yang menjadi alasan kenapa Tet menginvasi bumi di film? Ya, resources menjadi salah satu McGuffin atau pendorong plot utama yang umumnya digunakan pada film fiksi. The Matrix dengan ‘baterai’ manusianya, Tron dengan source-code, hingga alien di Cowboy vs Alien dengan emasnya.

Dune, juga punya McGuffin yang sama: Spices. Dari sinopsis video yang ada di atas, dapat kita ketahui bahwa spices adalah semacam substansi yang memungkinkan seseorang menggunakan superhuman skills serta menjadi ‘bahan bakar’ untuk melakukan perjalanan antar bintang, menjadikan Spices barang yang paling berharga di seluruh alam semesta. Siapapun yang memegang kuasa atas planet Arrakis — tempat dimana Spices hanya bisa tumbuh — akan menjadi yang paling kaya.

Sampai sini, sepertinya sudah bisa bisa ditebak bagaimana plotnya? Bagaimana penguasa sekarang akan bertarung dengan penguasa baru demi mendapatkan kendali atas planet Arrakis?

Tidak, tidak di film ini. Sesuai dengan novelnya yang kaya akan nilai filosofis dan elemen storytelling yang lengkap dan detail, Denis Villeneuve membawa penontonnya dengan amat pelan menuju sebuah alur progresif yang jauh dari hanya sekedar perang merebut sumber daya.

Dune, justru memberikan kita sebuah underplot utama yang lebih kaya, lebih kompleks, lebih rumit, dan lebih dalam dibandingkan plot generik perang untuk merebutkan sebuah sumber daya. Sebuah plot yang menurut saya — seorang umat Muslim — terasa sentimentil: Perang Suci dan Hari Akhir

Entah bagi orang lain, tapi buat saya dua topik tersebut termasuk tabu, sakral dan tidak boleh didekati dengan sembarangan. Denis Villeneuve juga sepertinya memikirkan hal yang sama, mengingat hampir tidak ada humor yang berarti pada film Dune ini. Setiap detiknya, dengan sangat pelan, film terasa berat dan semakin kompleks. Semakin serius, semakin intens, dan semakin meyakinkan penonton bahwa Denis membangun tema semesta Dune versi film dengan tidak sembarangan.

Sang sutradara terasa begitu menjaga ‘warisan’ yang ditinggalkan sang penulis novel yang memang membangun novel Dune dengan ide superhero mystique dan messiahs, lengkap dengan ‘kebiasaan’ sang penulis yang menulis sebuah kutipan di setiap awal bab. Begitu juga dengan dialog-dialog yang menjadi inti dari novelnya, termasuk menjaga dunia Dune pada dua koridor utamanya: aspek agama dan ekologi.

Sebagai film pertama, Dune berhasil membangun pondasi cerita dan setiap motivasi karakternya, termasuk spektrum politik dan polarisasi setiap karakter yang berperan penting. Saya sendiri tidak bisa menemukan potensi plot hole pada film ini, karena memang semua diperlihatkan dengan begitu detail walau dengan minim narasi. Semua lengkap, ada di depan mata, dan langsung menusuk pada pikiran setiap penontonnya.

Untuk yang mengikuti Game of Thrones, akan merasakan sekilas tema serupa apalagi yang benar-benar simpatik dengan kisah keluarga Stark. Tapi untungnya, Denis Villeneuve membawa Dune jauh lebih dalam dan lebih intim, dengan tetap fokus pada novelnya yang membawa referensi Timur Tengah dan eskatologi Islam yang lebih kaya akan cerita.

Saya pribadi terkejut betapa detail dengan istilah-istilah yang muncul pada film ini. Apalagi setelah saya merasakan sendiri bagaimana plot yang sangat kaya akan cerita ini dikombinasikan dengan bagaimana Denis Villeneuve membangun seting Dune yang begitu epik.

The Pale Blue Dot

Dari semua film sci-fi yang pernah saya tonton, hanya film ini yang mampu memperlihatkan dengan nyata pada penontonnya betapa besar dunia yang ada pada semesta Dune. Saya sempat kecewa dengan bagaimana seting planet Pandora di film Avatar ditampilkan, dunianya masih terasa sempit walaupun ada begitu banyak concept art yang memperlihatkan betapa luas dan magis planet tersebut.

Planet Arrakis — walaupun sebagian besarnya hanya berisikan padang pasir — justru memperlihatkan sebaliknya. Penonton dapat dengan mudah merasakan betapa panas dan tidak bersahabatnya planet Arrakis bagi orang-orang yang ada di dalamnya. Lautan pasir terlihat dan terasa jelas membentang tanpa batas, seakan-akan memenuhi semua permukaan planet Arrakis.

Bagaimana cara Denis Villeneuve melakukannya? Bagaimana dia bisa membuat sebuah dunia terasa begitu luas, tidak seperti film-film sci-fi yang lainnya?

Rahasianya satu : Skala

Sebagai orang awam dengan dunia sinematografi, saya tidak tahu kalau ternyata ada teknik-teknik yang harus dilakukan untuk membuat sebuah adegan terasa epik dan besar. Saya baru mengetahuinya setelah menonton video berjudul Michael Bay — What is Bayhem? dari channel YouTube esai film favorit saya, Every Frame A Painting. Silahkan tonton dulu episode berikut sebelum melanjutkan membaca artikel ini.

Pada film Dune, Denis Villeneuve menggunakan besaran objek dan gerakan lambat untuk membuat skala, agar adegan yang terlihat terasa epik dan besar. Kita bahkan sudah bisa melihatnya dengan jelas di trailer Dune, bagaimana penonton diperlihatkan rasio betapa kecilnya seorang manusia di hadapan mesin-mesin dan kapal luar angkasa.

Dan pintarnya, Denis Villeneuve sering sekali menggunakan extreme long shot semacam ini sebagai establishing shot dan terus diulang-ulang, mengingatkan penonton secara konstan bahwa semesta Dune itu begitu luas dan besar. Mulai dari skala yang dibuat dari perbandingan planet, mothership, dan kapal transportasi, hingga pesawat militer pembawa pasukan.

Jika kita berpikir secara logika, menurut saya seting cerita planet Arrakis yang sebagian besar merupakan padang pasir adalah mimpi buruk bagi seorang art director. Jika hanya ada pasir tandus yang bisa dipamerkan pada penonton, lalu bagaimana bisa film menunjukan ‘keanehan’ ekstraterestrial yang ada pada planet Arrakis?

Disinilah skala berperan, memperlihatkan hamparan padang pasir dengan ukuran di luar normal yang biasa kita lihat. Kita bisa melihat teknik skala paling optimal ketika film memperlihatkan 4 elemen dalam satu frame; Mesin, manusia, padang pasir dan Shai-Hulud atau cacing-cacing raksasa yang ada di planet Arrakis.

Dengan kata lain, Dune tidak harus bersusah payah untuk menjelaskan dengan banyak efek yang canggih yang menunjukan betapa ‘ekstraterestrial’ planet Arrakis dibandingkan dengan Bumi.

Tidak hanya untuk memperlihatkan perspektif luasnya semesta Dune serta besarnya topologi dari planet Arrakis saja, Denis Villeneuve juga menggunakan teknik skala untuk memperlihatkan perspektif jumlah kuantitas dari para karakter yang berperan pada film Dune. Terutama, pasukan perang dari masing-masing House yang menjadi sentral; House Atreides dan House Harkonnen.

Dan jujur saja, dari semua film perang yang melibatkan banyak orang seperti 300, Troy, Kingdom of Heaven, hingga Red Cliff, belum pernah ada film yang bisa memperlihatkan kekuatan perang yang begitu besar sebelum saya melihat film Dune. Jika tidak percaya, silahkan lihat 3 potongan gambar di bawah dan ingat kembali pada saat menonton film Dune terakhir kali, betapa megah dan mewahnya adegan yang melibatkan skala seperti ini.

Inilah mengapa saya bilang bahwa teknik skala yang dilakukan oleh Denis Villeneuve sangat berperan dalam membuat semesta Dune yang begitu luas dan besar. Dia berhasil menciptakan kesan bahwa semua ukuran yang ada berada di luar kata normal, mulai dari ukuran luas, ukuran volume dan ukuran kuantitas. Denis Villeneuve, dalam film Dune ini berhasil menanamkan apa yang disebut dengan Moment of Awe pada setiap penontonnya:

“Feeling of being in the presence of something vast and greater than the self or that exceeds the self’s ordinary experiences and knowledge structures.”

Sebuah momen yang sama ketika kita pertama kali melihat betapa kecilnya planet Bumi dari pesawat Voyager 1 yang berada 6 milyar kilometer jauh di luar angkasa, yang berhasil diabadikan dalam sebuah foto bernama The Pale Blue Dot

Menyeramkan, sekaligus mengaggumkan, bukan?

Informavores

Pernahkah kamu berpikir, apa yang membuat sebuah dunia fiksi atau fantasi bisa dibilang bagus dan menarik? Setiap orang pasti memiliki standarnya masing-masing, ada yang melihat dari ragamnya mahkluk-mahkluk yang belum pernah dilihat sebelumnya, hingga seberapa dalam dan kompleksnya lore sebuah karakter serta seting cerita yang ada.

Kalau buat saya pribadi, cara karakter berkomunikasi dan mengungkap cerita adalah satu dari banyak daya tarik sebuah dunia fiksi.

Dengan adanya begitu banyak istilah-istilah asing, semesta Dune dengan sendirinya sudah kaya akan elemen cerita. Tapi pertanyaannya, bagaimana cara yang paling efisien untuk membuat penonton bisa mengerti secara jelas worldbuilding yang sedang dibangun sekarang?

Kebanyakan sutradara akan memilih menggunakan cara yang paling mudah, yaitu dengan memberikan narasi penjelasan di awal film tentang seting hingga hubungan antar karakter yang sedang berperan. Dengan kata lain, sang sutradara akan ‘menyuapi’ segala pengetahuan atau knowledge yang dibutuhkan untuk mengerti jalan dan seting cerita pada film. Sisanya, penonton tinggal menikmati konflik drama yang ada.

Tapi kalau kamu adalah seorang sinefil yang senang dengan karya-karya dari Denis Villeneuve seperti saya, kita akan mengerti bahwa Denis bekerja dengan sebaliknya. Dia adalah tipe sutradara yang selalu memberikan seminimal mungkin informasi yang ada di awal film, membuat penontonya penasaran, menebak entah kemana sampai akhirnya ‘dihajar’ oleh plot twist di akhir film.

Dalam film Dune, Denis Villeneuve juga melakukan signature moves seperti yang biasa dia lakukan; memulai film dengan kabut tebal, dan digantung dengan plot twist di akhir film. Dengan kata lain, dia hanya memberikan setitik informasi disana dan disini tanpa memperlihatkan benang merah cerita secara gamblang, membiarkan penontonnya membuat teori konspirasi tentang ceritanya sendiri.

Buat saya, membuat penonton mengerti isi dari dunia cerita yang sedang dibangun tanpa memberikan narasi secara eksplisit adalah satu hal yang amat sangat sulit untuk dilakukan. Dan Denis Villeneuve tidak hanya melakukannya untuk jalan cerita utama, tapi juga untuk hubungan antar karakters, mekanisme teknologi, unsur magis seperti The Voice, sekte rahasia Benne Gesserit, dan elemen-elemen cerita pendukung lainnya.

Inilah yang membuat Denis Villeneuve sutradara yang luar biasa. Tidak hanya efisien dalam memberikan informasi worldbuilding Dune yang sedang dibangun, tapi juga dapat mempertahankan ciri khasnya miliknya sendiri. Dia berhasil menggunakan daya imajinasi dan insting manusia sebagai informavores yang selalu penasaran dan ingin mencari tahu jawaban dari setiap pertanyaan dalam cerita.

Kalau kita berbicara tentang informasi, ada satu hal yang membuat saya menggelitik karena begitu menarik perhatian: betapa detailnya perbedaan bagaimana setiap faksi berkomunikasi, baik dengan anggota faksi sendiri maupun anggota faksi lain. Setiap faksi punya cara yang spesial untuk berkomunikasi, dan saya sangat tertarik dengan bagaimana House Atreides menggunakan hand sign sebagai salah satu cara mereka untuk bisa berkomunikasi secara rahasia.

Tapi tentu saja, semua gimmick komunikasi yang sudah dibangun dengan rapih akan terasa percuma jika aktor atau aktris yang berperan tidak mempunyai skill akting yang mumpuni.

Tidak akan ada jurang emosi jika Oscar Isaac tidak dapat memberikan akting nyata saat Duke Leto berada di penghujung nyawanya. Tidak akan ada jurang emosi antar ibu dan anak yang tercipta jika Rebecca Ferguson tidak memperlihatkan akting luar biasa sambil memberikan kutipan narasi dengan terbata-bata:

“I must not fear.

Fear is the mind-killer. Fear is the little-death that brings total obliteration. I will face my fear. I will permit it to pass over me and through me. And when it has gone past I will turn the inner eye to see its path. Where the fear has gone there will be nothing.

Only I will remain.”

Saya percaya, Dune yang disutradarai oleh Denis Villeneuve ini merupakan sebuah standar baru dunia sci-fi di kemudian hari. Sebuah standar tinggi yang menurut saya sejajar dengan apa yang dilakukan Peter Jackson dengan The Lord of The Rings. Memang masih terlampau cepat untuk menilainya, mengingat masih ada seri spin-off dan dua film selanjutnya. Tapi jika pondasinya sudah sekuat ini, tentu bisa dibayangkan bagaimana kualitas kelanjutan ceritanya bukan?

In Denis Villeneuve, we trust!

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet