The Night Come For Us (2018) : Film Aksi Yang Terlalu Ambisius

Ben Aryandiaz Herawan
8 min readOct 21, 2018

--

pinterest.com

Joe Taslim, Iko Uwais, Zack Lee, dan Julie Estelle kembali bertemu dalam sebuah film aksi garapan Timo Tjahjanto, yang berjudul The Night Come For Us. Film Netflix perdana dari Indonesia ini bahkan dibintangi aktor papan atas lainnya, seperti Hannah Al Rashid dan Dian Sastrowardoyo.

Tapi apakah kualitas cast yang ciamik ini berbanding lurus dengan kualitas film secara keseluruhan? Hmm..

99% Aksi, 1% Cerita

“Skenario adalah tulang punggung dari sebuah film”

Sebuah kutipan dari Joko Anwar ini terus terngiang dipikiran saya setelah selesai menonton film The Night Come for Us ini. Saya memang bukan seorang kritikus film yang mengerti bagaimana seharusnya sebuah skenario dibuat. Tapi dari kacamata penikmat film awam saja, cerita yang ditampilkan di film ini terasa begitu hambar, kaku, dan tidak terasa bobotnya. Semakin mendekati akhir film, cerita yang disampaikan malah semakin bercabang dan semakin tidak fokus.

Entah kalau orang lain ya, yang jelas saya merasa kalau film ini tidak punya inti cerita yang disampaikan dari awal sampai akhir. Secara plot memang terlihat, tapi ga kena feel dan emosinya. Ga nyampe ke penonton. Ga ada penyelesaian atau conclusion yang bisa ditarik dari inti cerita.

Dan menurut saya, ada beberapa hal yang menurut saya menjadi penyebabnya, mulai dari adegan yang tidak berkesinambungan hingga terlalu banyak adegan edgy yang terkesan dipaksakan. Saya merasa banyak sekali adegan yang ‘loncat’ dari satu seting ke seting lainnya, tanpa ada koneksi atau hubungan yang kuat.

Transisinya ga lembut, dan bahkan banyak yang kerasa terlalu dipaksakan. Jadinya cerita tidak berjalan mengalir dengan lancar, sehingga membuat saya harus ‘meloncat’ untuk berpikir apa hubungannya adegan sekarang dengan adegan sebelumnya. Belum lagi ada beberapa adegan yang ‘nyempil’ dan tiba-tiba muncul, tanpa ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa yang sedang diceritakan. Bingung ga tuh?

pinterest.com

Selain transisi antar adegan yang ‘maksa’ dan terkesan kasar, character development yang ada di film ini rasanya juga kurang dibuat dengan matang. Backstory dari karakter inti diberikan pada pertengahan film, dengan cara menunjukan flashback yang masuk secara tiba-tiba. Apakah hal ini ditujukan sebagai plot twist? Mungkin sih, tapi yang jelas saya malah bingung dan sama sekali ga kerasa dimana twist yang diberikan.

Mungkin inilah yang menjadi salah satu kekuatan sekaligus kelemahan dari film ini; cast yang banyak dan berkualitas, tapi mengakibatkan penonton tidak fokus pada karakter utama. Dari awal hingga akhir film, kita akan ‘dibombardir’ dengan banyaknya karakter yang masuk secara tiba-tiba kedalam cerita. Ga ada intro, ga ada backstory, ga ada informasi. Belum lagi dengan kehadiran karakter yang ga ada kontribusinya sama sekali dengan plot cerita, atau karakter yang tiba-tiba menghilang ditengah cerita.

pinterest.com

Dialog dan narasi yang ditampilkan juga terasa jauh dari kata lembut. Semuanya terkesan terlalu baku, ga organik, terkesan terlalu formal. Ada satu narasi yang membuat saya tergelitik, karena betul-betul mengingatkan teknik menulis saya masih sangat kaku dan jauh dari kata profesional. Narasi ini berasal dari karakter yang diperankan oleh Julie Estelle, dengan tone suara yang sangat-sangat-sangat datar :

“Kamu Ito, satu dari enam orang yang dipilih Triad untuk menjadi pengawal untuk penyelendupan heroin, kokain, dan senjata di Asia Tenggara. Atau disebut juga dengan Six Seas”

Susunan kalimat diatas benar-benar mirip dengan apa yang sering saya tulis; baku, formal, masih sangat awam dan terlihat begitu amatir. Saya tidak benci dengan karakter Julie Estelle ya, karakter yang diperankannya bahkan salah satu favorit saya. Tapi dialog diatas benar-benar membuat film ini semakin formal dan terlalu kaku untuk dinikmati. Dan ga cuman ini ya, ada banyak juga dialog yang dibuat dengan konteks yang terlalu formal, walaupun mampu disampaikan secara brilian oleh aktor yang berperan.

Padahal kalau kita lihat dari premis dan potensi karakter yang ada, film ini bisa banget pecah layaknya The Raid atau bahkan John Wick sekalipun. Tapi yah, sayangnya eksekusi cerita kurang kuat, kurang dapet feel, kurang optimal dan ga ‘nempel’ di benak penonton. Sayang banget.

Hujan Darah Tanpa Rasa

pinterest.com

Rasanya sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan film The Raid dan The Raid 2 : Berandal, yang menurut pendapat saya merupakan film Indonesia terbaik yang pernah saya tonton. Aksi dan cerita yang diperlihatkan saling berkesinambungan dalam film The Raid, baik secara narasi maupun secara visual. Karena itulah saya merasa selalu ada ekspresi dan emosi yang disampaikan pada penonton disetiap adegannya.

Lalu, bagaimana dengan aksi yang diperlihatkan pada film The Night Come For Us? Kalau menurut saya sih, ada banyak aksi yang terkesan tanpa rasa. Iya mereka semua berkelahi, memukul, menusuk, dan membuat hujan darah dimana-mana. Tapi ya itu, sangat terlihat kalau itu hanya akting semata.

Satu hal yang menurut saya paling menganggu dari kebanyakan adegan aksi yang diperlihatkan adalah begitu tertatanya sebuah pertarungan. Tanpa ekspresi, tanpa adrenalin yang alami. Koreografernya terlihat jelas, sehingga dengan mudah kita tahu kalau pertarungan ini dibuat-buat. Belum lagi kalau kita melihat ekspresi dari para pemeran figuran yang jelas terkesan maksa, makin aja kerasa aktingnya.

Ga percaya? Coba lihat adegan aksi Iko Uwais yang pertama, dan lihat setiap ekspresi karakter yang berperan.

pinterest.com

Memang sih, ga semua adegan aksi yang diperlihatkan terkesan dingin dan ga kelihatan natural. Ada banyak adegan yang menurut saya juara dan bikin standar baru yang tinggi. Tapi saya rasa itu berkat aktor yang memang piawai dalam memerankan karakternya ditambah dengan sudut pengambilan gambar yang baik, bukan karena screenplay atau koreografer yang disusun. Coba kalau cast salah ambil, sudah pasti akan banyak adegan aksi yang gagal dieksekusi.

Dan kalau ngomongin sudut pengambilan gambar, ada satu hal yang sedikit banyak mengganggu saya sepanjang film; yaitu saat kamera ‘memaksa’ mata kita untuk fokus dan melihat efek visual berdarah-darah. Pada saat ini film seakan berkata kepada saya ‘lihat lho banyak darah ini, dagingnya kelihatan, wow banget kan efeknya’

pinterest.com

Visual efek yang ditampilkan memang keren sih, juara malah. Semuanya terkesan realistis, baik dari bentuk, warna, dan penampilan secara keseluruhan. Tapi sayangnya, reaksi dari karakterlah yang membuat adegan aksi terlihat tidak alami dan dipaksakan, untuk mendapat kesan kalau adegan tersebut terjadi dengan begitu kejam.

Emosi yang diperlihatkan para figuran ‘korban’ hujan darah sangat terlihat dibuat-buat. Mulai dari mata melotot, badan kejang-kejang, hingga teriak-teriak meringis kesakitan. Saya yang menonton bukannya merasa kasihan, malah ingin tertawa karena heran kenapa ekspresinya seperti itu. Entahlah, mungkin sayanya saja yang terlalu idealis dan perfeksionis.

Banyak Momen Keren Berserakan

Film The Night Come For Us ini adalah salah satu film anomali bagi saya. Film ini aneh, karena meskipun menurut saya ceritanya tidak dieksekusi dengan sempurna, ada banyak sekali momen-momen keren yang berserakan sepanjang film.

Momen-momen keren ini kebanyakan terjadi karena aktor yang sangat ciamik dalam menjalankan peran mereka, mulai dari Zack Lee, Dimas Anggara, Revaldo, Hannah Al Rashid, sampai Julie Estelle. Hampir semua pemain pembantu punya akting yang pecah dan keren banget, bikin merinding dan selalu bikin kita pengen lihat lebih banyak lagi.

Zack Lee contohnya, saya sudah merasa kalau aktor ini bakal ngeluarin akting yang keren banget kalau dikasih kesempatan. Dan bener saja, saya sampai kaget dan tepuk tangan saat dia memerankan Bobby Bule. Semuanya pas, mulai dari ekspresi, emosi, kostum, sampai gerak tubuh. Salah satu akting terbaik dan paling berkualitas yang pernah saya lihat di film Indonesia.

pinterest.com

Begitu juga dengan karakter yang diperankan oleh Revaldo dan Abimana Aryasatya. Revaldo yang memerankan Yohan sebagai psikopat culun benar-benar bisa diperankan dengan sempurna. Abimana Aryasatya yang memerankan Fatih yang dalam film ini juga mampu memperlihatkan emosi dan ekpresi yang sangat tepat.

pinterest.com

Dari sudut wanita, kita disajikan penampilan gemilang dari Julie Estelle, Hannah Al Rashid dan Dian Sastrowardoyo. Semuanya berperan sempurna, tapi saya pribadi sangat menyukai karakter The Operator yang diperankan oleh Julie Estelle. Aktingnya dingin dan presisi, persis seperti yang diperlihatkan oleh Sebastian Stan saat memerankan seorang Winter Soldier.

pinterest.com

Ga cuman akting-akting ciamik dari aktor diatas aja yang bikin film ini menarik, banyak juga momen-momen keren yang terjadi berkat teknik pengambilan gambar yang kece abis. Misalnya, momen ketika karakter Hannah Al Rashid melakukan montage ala film 300 dengan Kukri miliknya. Theme scoring, lighntning, kostum, efek visual, ekspresi dan gestur tubuh dari karakter Elena membuat saya reflek bertepuk tangan.

Ending scene saat karakter Alma dan Arian bertemu pertama kali juga keren, begitu juga dengan adegan Fatih menerobos rentetan peluru, Boby Bule di lift dengan Shinta, hingga adegan Ito pas mau menghabisi Yohan. Semuanya keren abis dan punya standar kualitas yang tinggi banget. Belum lagi kalau kita melihat adegan pertarungan The Operator lawan Elena, atau saat dia menerobos lorong berasap layaknya Darth Vader di film Star Wars : Rogue One. Sumpah, saya ga nyangka bakal nemuin adegan sekeren ini!

pinterest.com

Beneran deh, banyak banget momen-momen keren seperti diatas yang berserakan sepanjang film. Tapi entah kenapa, kalau kita melihat secara keseluruhan semuanya terasa tidak pas. Serasa ada yang masih kurang, seakan ada lubang yang kosong didalam cerita. Mungkin karena tidak adanya kesinambungan dari satu adegan ke adegan lainnya, momen-momen keren ini gagal disambungkan sehingga gagal menjadi klimaks yang bertubi-tubi untuk penontonnya. Sayang sih, sayang banget malah.

Jujur saja, saya sebenarnya berharap lebih saat menonton film The Night Come For Us ini. Saya pribadi sangat menghargai totalitas yang diperlihatkan oleh sang sutradara Timo Tjahjanto. Tapi sayangnya, elemen cerita yang terlihat mantap di layar tidak diimbangi dengan cerita yang rapuh dan belum sempurna menurut saya.

Mungkin jika diberikan waktu yang lebih banyak, Timo dapat memberikan kita sebuah film aksi yang sanggup mengalahkan The Raid. Atau mungkin kitanya saja yang belum siap menerima film aksi yang ambisius ini, yang punya banyak potensi namun belum bisa menilainya.

Yah, kita tunggu saja karya Timo yang lain ya!

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet