The Man From Earth (2007) : Film Murah Dengan Narasi Epik Nan Berkelas

Ben Aryandiaz Herawan
6 min readJun 26, 2018

--

“If you can live for 14.000 years, what would you do?”

Sebuah pertanyaan ini muncul setelah saya selesai menonton film yang berjudul ‘The Man from Earth’ yang entah disutradarai oleh siapa. Beneran deh, saya ga tahu siapa sutradaranya, aktor dan aktris didalamnya, siapa music director yang bertanggung jawab, bahkan saya sama sekali belum menonton trailer film ini. Sebuah hal yang sangat janggal, karena memang sudah menjadi kebiasaan saya untuk mencari tahu dulu seluk beluk dibalik layar sebuah film sebelum saya memutuskan untuk menontonnya.

Pernah dengar yang namanya Richard Shenkman? David Lee Smith? John Billingsley? Atau bagaimana dengan Tony Todd, yang mungkin pernah kamu dengar setelah bermain di film Candyman? Atau bagaimana dengan nama Annika Petterson dan Alexis Thorpe? Sudah pernah dengar sebelumnya?

Ya, nama-nama diatas adalah nama para sutradara, aktor dan aktris yang bermain di film The Man from Earth. Aktor tidak terkenal, sutradara yang entah apa saja karyanya, dan plot cerita yang berdasarkan buku yang juga tidak terkenal pasti bakal menciptakan suatu karya biasa aja, atau bahkan cenderung jelek bukan?

Oh, anda salah. Sangat salah. Saya pun salah.
Percayalah ketika saya bilang : ini film berkualitas, sangat berkualitas.

Penampilan Yang Sangat Meragukan

Beneran deh, penampilan pertama dari film The Man from Earth ini benar-benar sangat meragukan. Saya yang selalu memegang teguh ‘first impression is everything’ hampir saja memutuskan untuk tidak melanjutkan menonton film ini setelah 30 detik pertama.

Dari detik pertama, pengambilan gambar yang dilakukan buruk sekali. Theme scoring dibuat seperti film 80-an, tone warna film terlalu hijau, dan akting para aktor dan aktris pun terlihat dibuat-buat. Saya langsung berpikir dan berkesimpulan kalau film ini termasuk film murah, yang sudah pasti punya kualitas jauh dibawah standar yang selama ini saya pakai. Kalau masih ga percaya, coba lihat beberapa screenshot dibawah ini :

Sungguh sangat biasa dan terlihat meragukan bukan? Dari detik pertama pun saya seperti melihat video karaoke tahun 90-an, dimana banyak pemandangan seperti hutan dan pantai yang sering disetel oleh ayah saya.

Tapi karena sebelumnya saya sudah melihat respon positif dari film ini, saya putuskan untuk tetap menonton meskipun tidak tahan ingin menekan tombol close. Saya putuskan untuk tetap melihat akting para karakter yang ada difilm, dengan sedikit perasaan muak dan tidak peduli bagaimana akhirnya. Kalau saya analogikan, bayangkan saja kita disuruh menonton acara Dahsyat atau Rumah Uya dari awal sampai akhir. Sungguh mengganggu perasaan bukan?

Tapi sekali lagi saya ingatkan, salah besar kalau kamu menganggap film ini termasuk film murah tanpa kualitas.

Film Berisi Narasi Epik

5 menit, 10 menit, 15 menit berlalu tanpa ada kesan apa-apa. Tapi entah kenapa, saya semakin mengamati interaksi antar karakter yang mulai berbicara satu sama lain, menjurus pada satu topik yang menjadi pondasi film ini. Hingga akhirnya, sang karakter utama menceritakan kalau dia adalah seorang pria yang telah hidup selama 14.000 tahun, dan punya kesempatan untuk berlayar dengan Christopher Colombus namun tidak dilakukannya.

Pada saat inilah saya sadar kalau film ini punya isi cerita yang berkelas.
Saya kemudian mencoba lebih fokus, mendengarkan lebih seksama setiap dialog yang diutarakan setiap orang, terutama sang karakter utama yang bernama John Oldman.

John kemudian menceritakan tentang awal kehidupannya sebagai manusia gua, apa yang terjadi 14.000 tahun lalu, bagaimana keadaan geografis kala itu beserta fakta sejarah di baliknya. Setiap kata yang diucapkan oleh John seakan-akan menyihir setiap karakter yang mendengarkan — seorang antropologis, biologis, literatur Kristen, dan arkeologis — termasuk saya sendiri, penonton yang melihat dari layar kaca.

Para karakter lain yang punya latar belakang akademis tinggi tentu memberikan pertanyaan yang meragukan klaim tersebut, klaim kalau dia adalah seorang manusia gua yang sudah hidup selama 14.000 tahun. Tapi John mampu menjawab semua pertanyaan dengan sangat detail dan meyakinkan, tanpa menyiratkan keraguan sama sekali. Dia berhasil meyakinkan para man of sciences untuk percaya dengan ceritanya.

Saya yang menonton dialog antar John dan karakter lain pun sama, terhipnotis dan ingin mendengar lebih lanjut kemana cerita ini akan berakhir. Semakin dalam John bercerita, semakin saya berpikir kalau apa yang dia ceritakan itu benar adanya. Dia berhasil menjawab semua pertanyaan yang membuat kita ragu, memaksa kita untuk berpikir rasional dengan mengesampingkan logika yang selama ini kita pegang.

John bercerita tentang sejarah dunia yang terkenal, mulai dari penjelajahan bumi, geografi, sejarah dan antropologi, pengetahuan tentang manusia purba, ajaran Buddha hingga awal mula agama Kristen dan nama Yesus berasal. Tapi apa yang akan lakukan jika John berkata kalau semua hal tersebut berbeda jauh dengan apa yang terjadi sebenarnya, bahkan bisa dibilang bohong dan hanya cerita yang mengada-ada?

Apakah anda akan percaya setelah John membeberkan ‘fakta’ berbentuk cerita yang dia lihat sendiri, setelah berhasil hidup selama 14.000 tahun?

Ya, cerita John Oldman ibarat sebuah bom klimaks bertubi-tubi yang diberikan pada para penonton. Pelatuknya adalah karakter lain yang memberikan pertanyaan, dan klimaksnya adalah jawaban dari John yang menyanggah pertanyaan tersebut. Dengan kata lain, semua pertanyaan yang kita punya secara tidak langsung telah dijawab oleh John, dengan intonasi, gestur, dan fakta-fakta yang begitu sangat meyakinkan. Dan pada akhirnya, kamu akan percaya dengan segala ucapan yang dikeluarkan oleh John.

Plot cerita yang dipakai pada film ini tidaklah konvensional. Tidak ada awal-tengah-akhir yang jelas, semua seakan mengalir begitu saja tanpa penonton sadari. Dialog antar karakter membuat garis plot menjadi buram yang membuat penonton kadang terkejut dan tidak menyangka sama sekali.

Inilah kenapa saya menyebut film The Man from Earth sebagai satu film yang punya narasi berkelas. Tidak banyak film yang bisa membuatnya penontonnya berpikir jauh kedalam, bahkan hingga ranah logika yang mampu membelokan sejarah yang selama ini kita tahu. Benar-benar brilian.

Kualitas Ciamik Tanpa Mahal & Terkenal

Film The Man from Earth ini benar-benar mengajarkan saya untuk melihat dari perspektif baru, yaitu perspektif kualitas yang tidak terpengaruhi oleh efek CGI, kehadiran aktor dan aktris terkenal, atau campur tangan sutradara dan screenwriter yang sudah punya banyak karya.

Saya baru sadar kalau banyak sekali film drama sci-fi yang punya budget lebih besar dan diisi aktor dan aktris terkenal, tapi punya plot cerita yang buruk dan berkualitas rendah. Setelah menonton film ini, saya akhirnya tahu bahwa Kualitas sebuah film hanya bisa dinilai dari isi cerita yang berbobot, bukan budget sebuah film yang besar atau kehadiran orang-orang terkenal.

Banyak juga film yang punya budget rendah seperti Blair Witch Project, Saw, hingga Primer tapi tetap punya kualitas cerita yang jauh diatas standar. The Man From Earth juga sama, walaupun secara penampilan sangat meragukan tapi ternyata isinya sangat berkualitas dan benar-benar membuat penonton puas menonton hingga akhir film. Saya pribadi sampai merinding menonton, dan reflek bertepuk tangan kegirangan ketika credit scene mulai muncul dan mengakhiri film.

Nah, kalau kamu memang penggemar film narasi bertema sci-fi yang punya cerita berkualitas, saya sangat merekomendasikan untuk menonton film ini. Plot ceritanya unik, narasinya epik, dan dijamin akan membuat kamu berpikir dan mempertanyakan semua pengetahuan yang kamu ketahui sebelumnya. Silahkan tonton dan buktikan sendiri!

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet