The Batman (2022) — Evolusi Elegi Dari Gotham City

Ben Aryandiaz Herawan
9 min readApr 17, 2022

--

1 Maret 2022

Saya terduduk terdiam di bioskop, memandangi layar bioskop yang sedang memutar video intro sebelum screening film The Batman di mulai. Saya tidak percaya bahwa saya mendapatkan kesempatan untuk menonton lebih awal film yang sudah saya tunggu sejak lama.

Tiba tiba, lampu mulai gelap. Film mulai diputar.

Terlihat walikota Gotham City sedang mondar-mandir dan menelepon seseorang. Frame selanjutnya, muncul The Riddler yang diam melihat walikota tersebut layaknya pemburu yang siap memburu dan membunuh.

“Fuck”

Saya berteriak pelan. Lima menit sejak film dimulai, saya langsung tahu dan merasa dengan instan, bahwa film The Batman akan jadi salah satu film terbaik yang saya tonton di tahun ini. Dan benar saja, ekspektasi saya terbukti dengan riuh tepuk tangan para penonton selepas credit roll mulai diputar.

Hidupnya Sang Kota Mati

Apakah kamu merasakan sensasi yang sama seperti saya, dimana di awal film kita sudah merasa bahwa film The Batman akan melebih ekspektasi yang kita punya?

Semenjak kemunculan trailer-nya, The Batman langsung menjadi pusat perhatian. Mulai dari Robert Pattinson yang menjadi Batman, premis dan atmosfir cerita yang begitu gelap, hingga secuil adegan-adegan yang menurut saya sangat sinematik untuk ukuran film superhero. Banyak orang berspekulasi, apakah The Batman berhasil mematahkan kutukan bahwa tidak ada film DC yang bisa menyaingi kualitas film Marvel?

Buat saya pribadi, saya tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Saya hanya ingin melihat dan merasakan semesta DC yang gelap, terutama di Gotham City tempat Batman tinggal. Entah saya melihat kalimat ini dimana, tapi saya sangat setuju ketika ada yang bilang:

To get Batman movie right, first you must create Gotham City right”

Kenapa saya sangat setuju dengan pernyataan ini?

Karena Gotham City bersifat sebagai variabel makro, alasan eksternal dari apa yang membuat seorang Bruce Wayne berubah menjadi Batman. Kota sarang penjahat dimana polisi tidak bisa menangani tingkat kejahatan yang sangat tinggi, tempat dimana para pejabat korup bebas melakukan apa saja yang mereka mau dan membiarkan para warga tersiksa di dalamnya.

Berkaca dari komiknya, Gotham adalah kota yang gelap dengan seribu hal yang membuat siapapun tinggal di dalamnya merasa tidak nyaman.

Saya selalu membayangkan Gotham City adalah tempat yang gelap, lembab, kotor, tidak terawat, sarang penjahat, terasa seperti lawless zone dimana orang-orang bebas melakukan kejahatan tanpa adanya hukum yang berjalan, karena semua pejabat dan polisi korup dan membiarkan kotanya membusuk dari dalam.

Ketika dibawa ke layar lebar, kita sudah melihat setidaknya tiga pendekatan modern visual kota Gotham dari 4 sutradara yang berbeda: Tim Burton, Joel Schumacher, Christopher Nolan, Todd Phillips dan Matt Reeves.

Di era Batman Returns dan Batman Forever, Tim Burton dan Joel Schumacher menggunakan pendekatan komikal ketika memperlihatkan Gotham City dan semua karakter yang hidup di dalamnya. Elemen visual yang mirip dan berusaha akurat dengan versi komiknya, jadi prioritas utama.

Seting dan kostum karakter yang dibuat mirip dengan versi komiknya tentu akan terasa aneh dan ‘asing’ bagi penonton. Gotham City terasa sangat jauh dari realitas penonton, batas antara dunia fiksi dan dunia nyata begitu jauh hingga membuat film menjadi minim sensasi drama yang membuat penonton menahan napas.

8 tahun setelah film Batman & Robins, Christopher Nolan membuat gebrakan dengan memproduksi trilogi Batman yang dimulai dengan film berjudul Batman Begins. Dengan pendekatan cerita khas Nolan yang berkelas dan modern, Gotham City diperlihatkan sebagai kota yang sangat mirip dengan realitas penontonnya. Tidak ada elemen komikal, semua dibuat realistis.

Jika kita melihat film karya Christopher Nolan, saya tidak mendapatkan Gotham sebagai kota yang kotor, kumuh dan penuh dengan ketidaknyamanan. Walaupun sering kali terlihat kosong, sebagian besar sudut kota Gotham selalu terasa resik dan bersih. Jika saya tinggal disana, sepertinya saya akan merasa nyaman-nyaman saja.

Hal ini terjadi menurut saya pribadi karena Christopher Nolan tidak menggunakan color grading khusus untuk mendapatkan atmosfir dan ambiens dari Gotham City, karena memang Nolan pada dasarnya memilih untuk fokus pada cerita dan karakter di dalamnya.

Kemudian, datanglah Todd Phillips dengan film Joker.

Dari ulasan film Joker yang saya tulis 3 tahun silam, saya sudah mengatakan bahwa salah satu elemen yang membuat film Joker sukses menciptakan drama adalah seting cerita Gotham City yang terasa begitu hidup.

Mulai dari tembok yang tidak terawat dan penuh dengan coretan, kantung sampah yang bertebaran dimana-mana, hingga jalanan yang selalu basah. Kombinasi color grading yang gelap dan perilaku jahat karakter-karakter di dalam film membuat penonton seakan bisa merasakan bahwa Gotham City adalah tempat yang buruk, lembab, penuh kejahatan, dan siapapun yang tinggal di dalamnya tidak akan pernah merasa nyaman.

Untuk ukuran film spin-off dari franchise Batman, Todd Philips benar-benar memperhatikan setiap detail seting dan memperlihatkan secara nyata bagaimana Gotham City sebagai kota yang rusak dan disfungsional, baik secara visual maupun perilaku orang di dalamnya.

Dan untungnya, Matt Reeves menggunakan formula yang serupa di film The Batman dan melipat-gandakan semua elemennya. Dari trailer-nya saja kita bisa langsung tahu dan merasakan betapa ‘berat’ film The Batman hanya dari sepercik visual yang diberikan.

Bagaimana Matt Reeves melakukannya? Bagaimana dia mampu membuat Gotham City begitu seting film yang terasa begitu hidup dan mampu melebur menjadi salah satu bagian terpenting di film The Batman?

Yang pertama, tentu saja dari color grading yang dipakai. Jika kita bandingkan dengan film-film Batman karya Tim Burton, Joel Schumacher dan Christopher Nolan, kontras visual dapat kita lihat dan rasakan dengan begitu mudah. Color grading yang dipakai oleh Matt Reeves menciptakan atmosfir suspense dan ambiens yang intens, dalam, dan serius. Sangat pas untuk digunakan pada cerita slow burn drama yang menegangkan.

Yang kedua, seting cerita yang sangat detail. Dari awal hingga bagian akhir film, Gotham City diperlihatkan sebagai kota yang gelap, kotor, kumuh, lembab, dan selalu hujan deras. Jalanan terlihat kotor, gelap dan usang, tidak terawat dan seperti ditinggalkan oleh pemerintah setempat. Malam, hujan deras, dan orang berbuat jahat, belum lagi ketika penonton diperlihatkan bagaimana korupnya para pejabat. Sebuah resep sempurna untuk memperlihatkan sebuah kota yang korup dari luar dan dalam.

Yang ketiga, sinematografi dan pemilihan shots yang sangat apik. Satu hal yang membuat saya kagum dari film The Batman adalah bagaimana film ini benar-benar memaksimalkan elemen visual ketika muncul momen spesial, dan memperlihatkan shot-shot yang tidak hanya kreatif, tapi juga terasa begitu simbolik dan sangat berkelas. Siapa yang mengira saya bisa merasakan sensasi poetic cinema dari film superhero dari awal hingga akhir film?

Kesimpulannya, baik secara penampilan maupun visualisasi perilaku korup orang di dalamnya, Matt Reeves sudah meracik Gotham City di film The Batman dengan formula yang sempurna. Dia berhasil membuat Gotham City hidup melalui momentum, framing, adegan dan film score yang tepat, membuat penonton kagum, fokus dan seakan masuk ke dalam seting cerita.

The Batman berhasil memvisualisasikan elegi dari Gotham City dengan sangat indah.

Apalagi jika ditambahkan dengan bagaimana cara Matt Reeves mengeksplorasi setiap karakter penting yang berperan, yang juga tidak kalah berkualitas dan berkelas.

Pemburu Yang Diburu

Ketika kamu mendengar kata Batman, apa yang terlintas di kepalamu?

Kalau saya pribadi, saya melihat seorang pria alpha yang berdiri di puncak rantai makanan dengan tingkat intelegensi yang sangat tinggi, kontrol emosi yang sempurna, dan mampu melakukan apapun yang dia mau dengan sumber daya miliknya yang tidak terbatas.

Formula inilah yang digunakan oleh para sutradara film Batman sebelum Matt Reeves, dimana mereka ingin memperlihatkan bahwa Batman adalah puncak gunung dari segala kehebatan manusia. Christopher Nolan bahkan memperlihatkan dengan detail bagaimana proses A sampai Z seorang Bruce Wayne berubah dan bertransformasi menjadi seorang Batman.

Semua dijelaskan tanpa celah, mulai dari bagaimana Bruce Wayne berlatih bela diri, bagaimana dia mendapatkan kostum dan teknologi, hingga akhirnya menjadi pahlawan kota Gotham. Sebuah narasi hero’s journey yang komplit dari awal hingga akhir.

Untungnya, Matt Reeves tidak menggunakan formula yang sama. Dengan menggunakan nama Batman yang sangat besar, dia melewatkan proses bagaimana Bruce Wayne membentuk diri menjadi seorang Batman untuk pertama kalinya. Matt Reeves mengambil perspektif yang segar dan belum pernah dilakukan sebelumnya: memperlihatkan Batman muda yang masih belajar menjadi seorang Batman.

Alih-alih memperlihatkan Batman yang sudah mature, Matt Reeves memperlihatkan Batman sebagai karakter yang masih rentan dan masih belum matang, baik itu secara skill, prinsip, dan ideologi. Satu timeline ketika Bruce Wayne belum bertransformasi dan menjelma menjadi The Dark Knight of Gotham, satu momen yang belum pernah dieksplorasi dengan fokus sebelumnya, apalagi dibuat menjadi sebuah film.

Bagaimana cara Matt Reeves melakukannya?

Yang pertama, dengan memperlihatkan bahwa Batman masih belum terpoles dengan sempurna. Batman selalu mengejutkan lawan dengan strategi yang cerdas, dia mengalahkan musuhnya dengan intelegensi dan kontrol emosinya yang sempurna. Dia tidak pernah menimbulkan atau terlibat perkelahian yang sia-sia, gaya bertarungnya pun sangat efisien. Batman yang kita tahu, adalah Batman yang benar-benar bekerja seperti bayangan.

Tapi apa yang kita dapatkan di film The Batman? Seorang Batman yang mengetuk pintu sebuah bar dengan kostum lengkap dan menyombongkan dirinya dengan berkata:

“Do you know who I am?”

Inilah perspektif unik yang diberikan The Batman yang membuat film ini terasa begitu segar. Penonton diberikan versi mentah dari seorang Batman yang masih berkelahi dengan kasar dan penuh dengan emosi dan amarah. Seorang Batman yang belum menguasai rasa takut yang dimilikinya dengan sempurna, berkelahi bahkan menantang dengan petugas polisi, dan masih melakukan kesalahan dan sering terluka.

Seorang Batman, yang masih selalu kalah langkah dari musuhnya.

Dan untuk memastikan penonton mendapatkan versi ‘mentah’ dari Batman ini, Matt Reeves membuat banyak penyesuaian secara visual. Dari segi detail, kita bisa melihat kostum serta helm yang dipakai oleh Batman sudah usang dan tidak mulus sempurna. Ada juga beberapa adegan yang memperlihatkan Batman lusuh dan kotor. Detail kecil yang memperlihatkan ketidak-sempurnaan inilah yang membuat karakter Batman lebih terlihat dan terasa sempurna.

Eksplorasi karakter Batman yang unik dan segar ini juga turut didukung dengan bagaimana Matt Reeves membuat plot film. Saya pribadi merasa bahwa film The Batman bukanlah film superhero, tapi lebih seperti film thriller misteri layaknya film Se7en (1995), dimana sang protagonis berusaha menangkap sang antagonis utama dengan membedah dan memecahkan petunjuk-petunjuk yang ada. Hanya saja, tokoh utamanya adalah Batman.

Jalan cerita benar-benar menjadi fokus primer film, dan Batman hanyalah pelengkapnya. Berbeda dengan film-film sebelumnya, dimana fokus primer film adalah karakter Batman itu sendiri.

Dengan menggunakan pendekatan ini, penonton bisa melihat dengan jelas kalau Batman belum pantas menyandang gelar sebagai The World Greatest Detective, karena dia selalu kalah langkah dari musuh utamanya, The Riddler.

Batman seakan-akan masih menjadi mangsa yang dikejar dan dipermainkan oleh pemburu.

Seperti yang sudah saya bilang di ulasan awal saya tentang The Batman, saya benar-benar tidak menyangka bahwa saya akan menemukan begitu banyak kejutan dari film The Batman ini. Saya pikir saya akan menemukan formula Batman yang sama, atau setidaknya dekat dengan dari seluruh film Batman yang sudah saya tonton.

Tapi ternyata, Matt Reeves berhasil menembus batas ekspektasi dari fans Batman di seluruh dunia. Dia mampu membuat sebuah film yang tidak hanya mampu memanjakan mata dan telinga, tapi juga memberikan plot yang kaya akan intensitas drama, yang membuat penonton terlena menikmati puisi tentang elegi dan alegori tentang keadilan sejati di Gotham City.

Matt Reeves juga berhasil menciptakan film genre superhero dengan rasa dan sensasi yang baru, mulai dari eksplorasi evolusi karakter Batman yang segar, shots yang kreatif dan belum pernah kita lihat sebelumnya, hingga pemilihan plot cerita yang membuka banyak peluang untuk cerita-cerita baru.

Sebuah plot reboot yang sempurna dan menjanjikan.

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet