Shazam! (2019) : Seteguk Optimisme Bagi DCEU
Penafian — Sharing kali ini bersifat edukasi dan mengangkat topik, istilah, dan kata-kata yang tabu. Diharapkan semua pendengar mempersiapkan mental. Jika merasa sudah tidak nyaman, dipersilahkan untuk segera keluar dari ruangan.
Pahlawan berumur 14 tahun akhirnya datang juga ke Indonesia! Billy Batson alias Shazam sudah tayang sejak tanggal 2 April 2019 lalu, dan antusiasme para penggemar film superhero sudah dimulai. Ulasan pun mulai muncul dimana-mana, ada yang memuji tentang bagaimana Shazam mendobrak stereotip hero DC yang gelap, ada juga yang menghujat karena tone warna dan tipe cerita yang mirip dengan film-film Marvel.
Well, buat saya pribadi Shazam! adalah film yang sangat menyenangkan. Saya keluar dengan perasaan puas, karena secara garis besar film Shazam! berhasil memenuhi ekspektasi saya. Tapi tetap saja, Shazam! belum bisa menghilangkan dahaga saya yang kering dan pesimis tentang DCEU yang diawali dengan sangat buruk. Mari coba kita bedah, kenapa Shazam! hanya mampu memberikan ‘seteguk’ optimisme bagi DCEU kedepannya.
Shot-To-Shot Penuh Modifikasi
Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, Shazam! akan mengambil plot cerita yang sesuai dengan jalan komiknya yang keluar pada tahun 2013 silam. Tapi yang tidak saya duga adalah bagaimana film Shazam! ini akan mengambil banyak adegan shot-to-shot yang sesuai dengan komiknya. Contohnya, bisa kita lihat adegan ketika Billy Batson ‘pergi’ ke alam sang Penyihir dengan kereta yang ada di dalam trailer film.
Bagi kamu yang membaca komiknya, film Shazam! ini benar-benar akan membuat kamu menebak apakah adegan yang ada di komik akan muncul di detik selanjutnya. Saya melakukan hal tersebut, dan sering kali tersenyum ketika adegan yang saya lihat dan saya bayangkan di komik mampu di perlihatkan dan dieksekusi dengan baik oleh sang sutradara. Tapi seperti adaptasi komik lainnya, film Shazam! juga akan merubah beberapa elemen dan detail lainnya agar plot cerita bisa diceritakan dengan padat.
Tapi sayangnya, perubahan plot cerita ini sedikit banyak berdampak pada kurang berbobotnya cerita jika dibandingkan di komik. Salah satu hal yang paling mengganggu saya emotional arc yang dimiliki oleh Billy Batson kecil sebelum dia terpilih menjadi Shazam. Di komik, Billy Batson dipilih setelah Sang Penyihir melihat potensi kebaikan yang dimiliki olehnya.
Di komiknya, pembaca diperlihatkan potensi jiwa yang murni yang dimiliki oleh Billy secara detail berdasarkan pengalaman yang terlihat sebelumnya. Sayangnya, proses pemilihan Billy Batson menjadi Shazam di film hanya karena sang penyihir tidak punya pilihan lain, karena hanya Billy yang ada paling dekat denganya. Menurut saya ini sebuah plot hole besar sih, katanya ga boleh sembarangan pilih Champion, tapi kok langsung aja di kasih tongkat buat transfer kekuatan? Gimana kalau ternyata Billy Batson itu bukan orang baik, penjahatnya jadi ada dua dong?
Memang sih, emotional arc yang dimiliki oleh Billy Batson dibangun dengan cara yang lain karena memang film ini mengambil grand plot yang sangat jauh berbeda dari komiknya. Semua penonton juga akan merasakannya di akhir film, dimana pada akhirnya Billy menemukan dan mendapatkan motivasi utamanya. Tapi ya itu, rasanya kurang greget aja kalau Billy berubah hanya karena alasan receh semacam ga-ada-orang-lain-yaudah-kamu-aja-jadi-Shazam. Cliche.
Oh iya, saya juga sedikit kecewa sih kenapa film Shazam! malah mengambil main villain Sivana, bukannya Black Adam. Plot penambahan cerita seperti mata ‘magis’ juga kurang masuk buat saya, dan mungkin buat semua pembaca komik Shazam. Mungkin villain sengaja tidak dibuat over power biar film ini ramah anak, atau mungkin ada motivasi lain yang berhubungan dengan DCEU kedepannya. Entahlah, yang jelas disini saya kecewa tidak bisa melihat aksi ganteng nan rupawan dari Black Adam yang dulu katanya mau diperankan oleh Dwayne ‘The Rock’ Johnson. Touche.
Protagonis Sempurna, Antagonis Berantakan
Kalau kita berbicara desain karakter, ada beberapa hal yang saya perhatikan. Ada yang menjadi nilai plus, tapi ada juga yang sangat saya sayangkan karena berubah begitu drastis dan begitu berbeda dari komiknya.
Hal yang saya sukai dari film Shazam! adalah desain karakter dari Shazam itu sendiri. Saya berpikir kalau Shazam tidak akan cocok diperankan oleh Zachary Levi karena terlalu muda dan kurang berotot, tidak sesuai dengan image Shazam yang ada di komik yang tua, berotot dan perkasa. Tapi ternyata, Warner Bros memang tahu betul pangsa pasar jadinya Shazam dibuat menjadi film yang penuh tawa, sehingga memerlukan seseorang yang mampu membawakan humor secara spontan dan natural seperti Zachary Levi.
Pemilihan kostum dari Shazam juga menurut saya sudah tepat. Walaupun terlihat sangat sintetis, tapi pemilihan warna merah dan kuning yang sangat kontras benar-benar langsung menarik mata siapapun yang melihatnya. Belum lagi lambang petir yang bisa menyala di dadanya, benar-benar simpel, mencolok, langsung mampu menanamkan gimmick dan ciri khas dari Shazam pada penontonnya. Karena memang kalau saya lihat, kostum Shazam di komik kurang menonjol, lebih ribet dan jauh berbeda dengan versi filmnya.
Selain desain karakter Shazam yang terlihat lebih baik dan lebih sederhana dibandingkan versi komiknya, saya juga sangat menyukai kualitas akting yang diberikan oleh Jack Dylan Grazer sebagai Freedy Freeman. Bagi saya, Freedy adalah ‘motor’ penggerak humor film Shazam dari awal hingga akhir film. Semua turning point dalam plot cerita disebabkan oleh Freddy, mulai dari perkembangan karakter Billy Batson dan Shazam hingga atmosfir film secara keseluruhan.
Jack Dylan Grazer adalah aktor yang punya potensi tinggi dan masa depan yang cerah di dunia film. Dia benar-benar mampu berekspresi, berakting, dan berinteraksi dengan karakter lain tanpa kesulitan sama sekali. Setiap lelucon, setiap ekspresi, emosi, dan setiap narasi mampu disampaikan tanpa cela. Apalagi saat Freddy Freeman ‘berubah’ menjadi dewasa dan diperankan oleh Adam Brody, sifatnya dan muka mereka mirip banget sampai saya langsung Googling untuk memastikan apakah mereka berdua bersaudara!
Meskipun Zachary Levi dan Jack Dylan Grazer sudah berperan dengan sangat sempurna di film ini, tetap saja saya masih kesal dengan desain-desain dari karakter antagonis. Hampir semuanya jelek, terkesan murahan, dan sangat jauh berbeda dari komiknya. Saya tidak membicarakan tentang Black Adam ya, tapi penampilan dari 7 Sins dan Doctor Sivana yang mengecewakan.
Desain karakter dan background story dari Doctor Sivana sebenarnya bagus, solid secara cerita dan punya motivasi yang sangat kuat. Tapi setelah dia menjadi antagonis utama, penampilannya jauh dari apa yang saya bayangkan. Dia tidak mengenakan kostum, hanya berpakaian seperti orang biasa namun punya kekuatan super dan bisa terbang kesana kemari. Ga tau menurut kalian ya, tapi menurut saya sih aneh dan terkesan sama sekali ga niat untuk dijadikan main villain.
Belum lagi kalau kita melihat desain dari 7 Sins. Duh. DUH. Kenapa sih ga matok sama versi komiknya? Udah jelas jauh lebih keren, jauh lebih variatif dan jauh lebih berkesan ketimbang versi filmnya. Coba ya buat kamu yang belum tonton, lihat bentuk 7 Sins yang ada di komik ini lalu bandingkan dengan apa yang kamu lihat di film. Saya jamin, kamu akan lebih menyukai versi komiknya ketimbang versi filmnya.
Angin Segar Bagi DCEU?
Banyak orang bilang kalau Shazam adalah angin segar bagi DCEU, akhirnya DCEU tidak gelap karena humor menggeletik dari Shazam. Buat saya, tidak sama sekali. Efek yang diberikan oleh Shazam kalah jauh dari apa yang diberikan oleh Aquaman, apalagi dengan efek yang berikan oleh Wonder Woman. Jongkok banget. Bagi saya, Shazam hanyalah ‘selingan’ atau satu tegukan untuk DCEU yang sudah sangat gersang, tidak jelas, dan entah mau dibawa kemana kedepannya.
Kalau kita melihat secara detail film Shazam, sang sutradara memang sudah memakai teknik reality check yang dipakai di film Logan, yaitu dengan memasukan banyak referensi dunia nyata pada narasi film. Kita bisa mendengar referensi-referensi seperti Game of Thrones, Rocky, Harry Potter, Mortal Kombat, Yoda hingga Zap-tain America yang membuat film terasa lebih realitistis bagi penontonnya. Hal ini biasanya ditujukan untuk membuat penonton merasa lebih dekat dan lebih menempel di otak, seperti apa yang dilakukan oleh Deadpool sebelumnya. Tapi di film ini, cuman kena dikit.
Hal tersebut menjadi tidak efektif karena film Shazam ini terkesan ‘enggan’ untuk memberikan koneksi yang nyata antara karakter DCEU lainnya seperti Batman, Superman atau Wonder Woman. Yang terlihat hanyalah koneksi-koneksi spontan yang tidak menyambung sepenuhnya, seperti referensi Batarang milik Batman, pecahan peluru dari Superman, atau benda-benda receh danmini story yang berhubungan dengan karakter DCEU lainnya.
Sama seperti film Aquaman, tidak ada keterkaitan dan benang merah yang berarti dengan karakter DCEU lainnya. Setiap referensi kecil yang ada malah membuat kesan kalau DCEU berjalan sendiri sendiri, menandakan bahwa Warner Bros gagal dalam membuat cinematic universe yang ciamik seperti rival mereka, Marvel. Alasan inilah yang membuat saya bilang kalau Shazam hanyalah seteguk optimisme bagi DCEU yang sangat gersang. Cuman selingan sedikit, setelahnya ga kerasa sama sekali.
Lantas, mau dibawa kemana Shazam setelah ini?
Well, Shazam ga bisa dibawa ke cerita Trinity War karena DCEU belum punya Constantine versi DCEU. Shazam kayanya bakal dibawa ke cerita Justice League melawan Darkseid, tapi itu pun harus nunggu dulu cast Superman dan Batman yan sudah fix dan pasti. Sekarang yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menunggu film Flashpoint yang katanya bakal menjadi titik balik DCEU. Kita lihat saja apakah Warner Bros akan mengacaukannya seperti Batman Vs. Superman atau tidak.
Yah, saya sih berdoa semoga saja ga flop nantinya. Semoga saja kualitasnya mendekati Wonder Woman. Semoga saja DCEU bisa sekeren MCU, walaupun masih tertinggal sangat jauh di belakang. Tapi hei, lebih baik memulai proses perbaikan sedikit demi sedikit daripada tidak sama sekali bukan?