Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) — Tiga Momen Eureka Dari Film Indonesia!
“Film jadul adalah film yang membosankan”
Saya, sering mengatakan hal ini kepada teman-teman saya ketika kita membahas film. Film jadul itu ga asyik, bahasa yang digunakan sangat kaku, apalagi dari segi visualnya: hitam dan putih yang bikin sakit mata. Ceritanya juga tidak kompleks, terlalu linear dan tidak ada yang plot yang mengagumkan dan membuat kita tercengang. Intinya, film jadul tidak akan bisa dinikmati oleh kebanyakan orang zaman sekarang.
Congkak bukan? Iya, saya memang pernah congkak dan terasa elitis sekali.
Tapi kemudian semua itu berubah ketika saya mencoba menonton 12 Angry Men, berakhir dengan tepuk tangan saya yang paling keras dan penuh dengan rasa kagum. Sungguh sebuah film yang berkualitas tinggi! Brilian!
Dan kemarin, saya merasakan sebuah pengalaman yang hampir sama, tapi kali ini datang dari film Indonesia yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Setelah selesai menonton film ini, saya berdiri, bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala saya sambil berkata:
“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas berada di kelasnya sendiri!”
Karakter Itu Bernama Tutur Kata
Saya bukanlah orang yang gemar membaca buku. Saya tidak kenal dengan Eka Kurniawan dan apa saja karya yang pernah dia buat. Saya juga bukanlah orang yang sangat up-to-date dengan berita seputar industri film, baik itu film luar maupun film Indonesia. Jadi jujur, saya tidak tahu apa alasan film ini punya hype yang begitu besar.
Saya baru tahu beberapa jam sebelum film ini di mulai, bahwa ternyata Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas itu menggunakan setting, shot, dan narasi seperti film Indonesia.
Oke, kombinasi yang cukup membuat saya sedikit tidak bersemangat.
Tapi ternyata, saya salah besar!
Saya pikir, semakin natural sebuah narasi yang dipakai dalam film, akan semakin membuat film tersebut semakin terasa nyata. Jika narasi tersebut terasa semakin nyata, tentu film akan terasa lebih bagus bukan? Salah satu YouTuber esai film favorit saya juga punya pemikiran yang sama, ketika dia membahas tentang dialog realistik ala Noah Baumbach.
Semakin dialog dibuat nyata, semakin mudah bagi film untuk membuat sebuah koneksi. Semakin mudah koneksi terbentuk, semakin bagus pula persepsi penonton pada film tersebut.
Tapi ternyata, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas membuktikan sebaliknya.
Dialog yang natural dan terasa realistis bukanlah sebuah faktor yang menentukan bagus atau tidaknya sebuah film. Saya sering lupa bahwa narasi dan dialog hanyalah alat pendukung, karena mau sebagaimanapun narasi dibangun, kalau elemen cerita lainnya jelek, kualitas film secara keseluruhan pasti akan jelek.
Saya pribadi adalah jenis penonton yang begitu memperhatikan narasi film. Itulah kenapa saya menyukai sutradara yang benar-benar bisa menjadikan narasi sebagai salah satu keunikan dari film itu sendiri, seperti Guy Ritchie dengan lelucon ala British, dan Quentin Tarantino dengan narasi epiknya. Karena alasan inilah, saya begitu mengagumi bagaimana film ini benar-benar memperhatikan tutur kata dan narasi yang ada sehingga menjadi salah satu karakter utama.
Sebelum saya pergi menonton film ini, baru saja saya berbincang dengan kawan saya tentang penggunaan bahasa baku dalam merayu dan meracau desah. Kami sepakat bahwa rasanya tidak mungkin seseorang bisa merayu dan meracau desah tanpa merasa cringe atau jijik. Dan saya pribadi tidak menyangka, bahwa film ini dapat membantah hal tersebut dengan sangat apik, keren, dan cemerlang.
Inilah momen eureka pertama dari film Indonesia.
Siapa yang menyangka kombinasi kalimat ‘Burung’ dan ‘Ngaceng’ dapat menjadi sebuah kalimat paling romantis di dalam film ini? Siapa yang menyangka kalau penonton dapat terpikat sepenuhnya dengan tutur berkata baku?
Saya jadi teringat, dari semua film yang saya tonton, hanya aja satu film yang membuat saya tertarik karena narasi, pilihan kata dan bahasa yang digunakan sepanjang film: Coriolanus
Saya tidak kenal dengan dunia sastra, tapi yang saya tahu Coriolanus adalah sebuah karakter yang berasal dari cerita Shakespeare, yang tentu menjadi alasan penting kenapa film Coriolanus menggunakan bahasa Inggris yang sangat baku.
Sedangkan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memang bukan berasal dari penulis legenda yang karyanya sudah digunakan turun-temurun oleh semua orang di seluruh dunia. Tapi tetap saja, film ini dibuat berdasarkan novel yang dibuat oleh penulis Eka Kurniawan yang terkenal dengan karyanya yang sureal, kata teman-teman dari ReadmanID yang membaca karya-karyanya.
Tapi apa sih yang sebenarnya membuat narasi pada film ini terasa begitu unik dan menarik? Izinkan saya memberikan opini sok tahu dari orang tidak paham dengan dunia linguistik.
Totalitas : Berbeda dengan film-film Indonesia yang lainnya, narasi dan bahasa yang digunakan benar-benar totalitas. Bahasa baku yang digunakan tetap terjaga dari awal sampai akhir,
Imersif : Narasi yang digunakan sangat menyatu sempurna dengan seting dan plot cerita. Bahasanya pas dan sangat bisa membangun emosi penonton saat dikombinasikan dengan adegan sesuai.
Berkelas : Tidak hanya sekedar memasukan bahasa baku saja, pemilihan kata dan narasi juga dilakukan dengan berkelas. Efeknya penonton tidak hanya diperlihatkan sebuah adegan saja, tapi juga narasi menusuk yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Detail Mata Telinga Yang Sempurna
Jika ada yang bertanya, apa sih film Indonesia yang menurut kamu dibuat dengan totalitas paling tinggi? Dulu saya tidak bisa menjawab, tapi sekarang saya akan dengan lantang menjawab
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas!
Film ini benar-benar membuat saya kagum karena berhasil mematahkan anggapan saya selama ini, bahwa tidak ada film Indonesia yang benar-benar dibuat dnegan totalis. Sumpah, art director dari film ini berhak dapat gaji yang besar!
Saya pikir saya tidak pernah melihat dan menyaksikan film Indonesia yang begitu amat sangat memperhatikan detail seting cerita, apalagi bertema tahun 80-an. Dan percayalah, sepanjang film saya begitu memperhatikan dan mencari celah dimana sekiranya detail pada seting tidak sesuai dengan tema film. Tapi dari awal sampai akhir film, saya tidak menemukan SATU PUN celah tersebut!
Saya pikir saya tidak akan pernah melihat film Indonesia yang amat sangat nemperhatikan detail seting cerita yang bertema tahun 80-an. Percayalah, saya sangat begitu memperhatikan dan mencari celah dimana sekiranya detail pada seting cerita tidak sesuai. Tapi dari awal sampai akhir film, saya tidak menemukan SATU PUN celah tersebut.
Sebuah momen eureka kedua dari film Indonesia!
Semuanya tersusun sempurna! Mulai dari seting tempat hingga kendaraan yang hanya muncul sekian detik diperlihatkan sangat cocok dan sesuai dengan tema cerita. Belum lagi kalau kita bicara tentang detail-detail kecil, mulai dari kantong plastik hitam putih yang digunakan untuk berbelanja, bentuk handuk jadul, hingga motif baju hingga seprai yang digunakan. Bahkan hingga layout dapur dan peralatan bikin kue benar-benar diperhatikan dengan sangat detail!
Tidak hanya itu, detail-detail kecil ini juga masuk pada plot cerita. Ada banyak adegan yang mungkin tidak dimengerti oleh orang-orang yang tidak mengalami tahun 80an, seperti misalnya adegan pernikahan Ajo dan Iteung yang penuh dengan hal-hal yang baru saya ketahui: Rokok disajikan sebagai salah satu hidangan undangan, semua orang bisa merokok kapan saja dan dimana saja, hingga tradisi berjoget di depan panggung sambil membawa gelas di tangan.
Sungguh, semua penonton benar-benar digiring dan dibawa ke tahun 80an.
Apalagi ketika seting cerita yang luar biasa detail ini digabung dengan kualitas akting prima dari setiap karakter yang berperan. Ya, semuanya. Tidak ada karakter yang tidak punya akting yang berkualitas ditampilkan pada film ini.
Jajaran cast juara sebenarnya tidak menjamin kualitas akting yang ditampilkan pada film tersebut akan sama tingginya. Ada begitu banyak film yang punya cast juara tapi kualitas akting yang ditampilkan biasa saja. Tapi di film ini, koneksi antar karakter dan emosi yang dikeluarkan benar-benar begitu terasa melalui adegan-adegan cerdas.
Jika kamu memperhatikan, ada begitu banyak one-shot menarik yang membuat penonton terpana, sampai lupa kalau apa yang kita lihat hanyalah akting semata. Dari awal film pun penonton sudah perlihatkan kualitas ensemble staging yang prima, terasa natural dan tanpa terlihat akting. Dan jangan tanya soal fighting choreography-nya, karena sudah jelas juara!
Beneran, juara! Saya pribadi sangat kagum dengan heran bagaimana adegan bertarung bisa diperlihatkan dengan realistis, tapi tetap mempertahankan unsur drama klasiknya. Benar-benar sebuah perpaduan sempurna antara sinema masa lalu dengan sinema masa kini.
Tapi dari semua adegan, buat saya pribadi adalah adegan bersenggama. Tidak pernah saya melihat adegan bersenggama senyata itu di film Indonesia sebelumnya!
Sudahlah, kualitas akting film ini benar-benar juara. Apalagi, Edwin sebagai sutradara berhasil meracik Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Singkatnya, kualitas akting film ini juara. Apalagi, Edwin sang sutradara berhasil meracik film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mampu mencampurkan ragam macam genre dengan sangat halus. Saya pribadi tidak menyangka bahwa saya bisa merasakan emosi yang amat sangat beragam dari film ini, mulai dari rasa senang, romantis, takut, gelisah, malu, hingga amarah.
Inilah momen eureka ketiga, dari film Indonesia.
Kalau ada yang bertanya, apa genre dari film ini? Jujur, sampai sekarang saya tidak tahu harus menjawab apa. Dibilang film aksi, benar. Film fiksi? film drama? Film romantis? Benar juga. Bahkan dibilang film horor dan supranatural juga iya. Bingung kan?
Semakin penonton menjelajahi film lebih dalam, semakin banyak pula ragam emosi yang akan dirasakan. Adegan yang dibuat benar-benar naik turun dengan alur yang pas, sehingga penonton seperti dibawa dengan roller coaster emosi berkat adegan demi adegan ciamik yang dirancang sempurna, mulai dari komposisi adegan, sound design, hingga film score yang ada pada film ini.
Menonton film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, rasanya seperti Archimedes berteriak ‘Eureka’ untuk pertama kali, atau ketika Kikunae Ikeda menemukan kata umami. Penonton diberikan sebuah pengalaman sinematik yang benar-benar baru, dan belum pernah kita rasakan sebelumnya.
Rasa sangat pantas ketika saya bilang, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas punya kelasnya sendiri di jagat sinema Indonesia!