Seberapa Jauh Kita Berani Menjadi Diri Sendiri? — Sebuah Analogi ASUS VivoBook S14 S433
Rasanya, waktu itu langit sedang mendung ketika saya sedang diam merenung di sebuah pinggir jalan. Pikiran sedang kacau. Dilema berkemelut di dalam hati tentang apa yang harus saya lakukan nanti.
Mobil dan motor lalu lalang, burung-burung berkicauan, menghiraukan saya yang sedang duduk termenung di pinggir jalan.
Saya lalu memejamkan mata dengan penuh konsentrasi. Satu detik kemudian, semua dilema dan kemelut hilang tanpa bekas . Dengan mengepalkan tangan, dengan mengambil napas yang dalam, saya berdiri tegak dengan pasti seraya berkata dalam hati:
“Cukup. Sudah saatnya saya berani menjadi diri saya sendiri”
Tidak terasa sudah 4 tahun lamanya sejak kejadian di atas terjadi. Salah satu momen yang paling krusial dan paling penting dalam kehidupan saya pribadi; Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kuliah demi menjadi seorang penulis.
Banyak orang yang bilang saya gila karena meninggalkan kuliah dari PTN ternama demi menjadi seorang penulis. Bagaimana tidak, belajar menulis pun belum pernah, kok bisa-bisanya saya meninggalkan kuliah demi mimpi yang jauh dari kata pasti?
Ya, jika dipikirkan dengan logika memang tidak akan pernah bertemu ujungnya.
Tapi buat saya, keputusan ini bukanlah tentang logika semata. Keputusan ini adalah simbol dari kebebasan yang selama ini tidak bisa saya rasakan, dan menjadi sebuah langkah awal dari mimpi yang saya punya untuk masa depan.
Keputusan ini adalah wujud dari keberanian menjadi diri sendiri.
Sejak kecil sampai kuliah, bisa dibilang saya adalah orang yang tidak mempunyai pendirian. Saya selalu bergerak berdasarkan ekspektasi orang lain, menuruti apa yang mereka mau sambil meredam apa yang saya inginkan. Hasilnya? Saya menjadi tidak percaya diri dan selalu merasa tidak punya kemampuan yang mumpuni. Rasa takut gagal selalu menghantui, tidak berani mengambil risiko yang padahal bisa menjadi jalan untuk wujudkan mimpi.
Tapi kemudian semua itu berubah ketika saya memutuskan untuk duduk di sebuah pinggiran jalan, membuka sebuah buku kecil yang sudah usang karangan Paul Arden sambil berharap menemukan sebuah jawaban dari dilema yang saya punya: Apakah saya harus selalu menuruti kemauan orang lain, atau mulai berani menjadi diri sendiri?
Bagaikan sebuah tanda dari Tuhan, jawaban dari dilema yang saya punya kemudian datang dalam sebuah cerita:
“Seorang pemuda bekerja sebagai pembawa pesan di sebuah perusahaan periklanan. Suatu hari ia berkata pada manajernya, “Saya keluar. Saya akan menjadi seorang drummer.”
Manajernya menyahut, “Saya tidak tahu kamu dapat menabuh drum.”
Ia menjawab, “Sekarang memang tidak, tetapi saya akan menjadi seorang drummer.”Beberapa tahun kemudian pemuda itu bermain musik bersama Eric Clapton dan Jack Bruce, di sebuah band yang disebut Cream, dan nama pemuda itu adalah Ginger Baker.
He became what he wanted to become before he knew he could do it.
Ia mempunyai tujuan.
Ya, ceritanya sama persis dengan apa yang sedang saya alami.
Setelah selesai membaca cerita ini, saya menutup mata sejenak, menghela napas dan mengambil keputusan. Saya kemudian berjalan pulang, mengambil uang tabungan 2 juta Rupiah yang saya miliki, pergi dari rumah dan menuju warnet langganan sebagai tempat bernaung sementara. Dimulailah proses titik balik yang paling penting dalam kehidupan saya, dimana saya merasakan kebebasan yang hakiki untuk pertama kali.
Dan saya sama sekali tidak menyangka, kalau hasilnya akan semanis ini.
3 bulan setelahnya, saya mendapatkan komisi menulis pertama.
6 bulan setelahnya, saya bekerja pertama kali sebagai content writer.
2 tahun setelahnya, saya terpilih menjadi Penulis Terbaik Quora 2019.
4 tahun setelahnya, saya menjadi seorang senior content writer.
Pencapaian yang terlihat biasa, tapi buat saya yang benar-benar berangkat dari nol, ini adalah pencapaian yang luar biasa. Buah dari usaha tanpa henti yang penuh dengan darah, keringat dan air mata.
Menghadapi Realita Dunia Nyata
Sebut saja saya lugu, tapi sedari dulu saya memang percaya bahwa saya bisa mewujudkan mimpi dengan hanya bermodalkan semangat saja. Dan tentu saja, realita dunia nyata menghantam saya dengan begitu keras.
Tidak dipungkiri, rasa takut gagal selalu menghantui ketika saya memutuskan untuk mulai berani menjadi diri sendiri. Sumbernya manusiawi, yaitu ketika saya membandingkan kemampuan diri sendiri dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi pada saat itu saya benar-benar tidak memiliki skill dan kemampuan yang mumpuni.
Jika dianalogikan, saya adalah laptop jadul yang sudah usang sedangkan orang lain adalah laptop paling trendi dengan performa terbaik yang dihadirkan oleh ASUS dibawah ini:
Ya, saya adalah sebuah notebook jadul nan usang yang sudah lewat masa kejayaannya. Kecil, lambat, dan tidak menarik perhatian. Saya bukanlah apa-apa dibandingkan orang-orang yang lebih muda dan sudah punya skill dan pencapaian yang bisa dibanggakan.
Jika saya hanya mempunyai prosesor yang lambat, ASUS VivoBook S14 S433 ini sudah menggunakan 10th Gen Intel Core yang hemat daya yang memberikan performa terbaik dalam kelasnya. Orang lain sudah bisa ‘mengarungi’ dunia kepenulisan dengan mudah dan sangat cepat seperti prosesor 10th Gen Intel Core ini, sedangkan saya harus mengeluarkan seluruh tenaga hanya untuk bergerak sedikit saja.
Jika saya tidak memiliki fitur apapun yang menjual, ASUS VivoBook S14 S433 ini punya fitur-fitur premium nan kece, mulai teknologi fast charging, backlit keyboard, hingga fitur login dengan Windows Hello yang memanfaatkan sensor sidik jari yang tersedia di atas laptop.
Fitur-fitur ini melambangkan sertifikat, pelatihan, dan portofolio kepenulisan yang orang lain punya. Buat saya yang belum pernah menulis dan hanya bermodalkan semangat semata, jelas kalah telak.
‘Baterai’ atau ketahanan saya dalam menulis juga kalah jauh. Dalam satu hari saya hanya bisa menulis tidak lebih dari 800 kata. Bandingkan dengan kekuatan baterai dari ASUS VivoBook S14 S433 yang orang lain miliki, mereka bisa bekerja tanpa henti selama 12 jam dan menghasilkan ribuan kata dalam sehari.
Manusiawi bukan jika saya merasa minder?
Apalagi kalau berbicara soal penampilan, sudahlah, jangan ditanya. Saya hanyalah sebuah laptop yang usang yang penuh dengan cacat dengan bentuk alakadarnya, sedangkan orang lain adalah ASUS VivoBook S14 S433 berlayar 14 inch, berbodi mulus dengan teknologi NanoEdge Display dan punya 4 tampilan warna yang trendi; Indie Black, Gaia Green, Dreamy Silver dan Resolute Red. Sudah jelas bukan mana yang lebih menarik mata?
Ya, jika dilihat dari segi manapun juga, mustahil rasanya laptop jadul dan usang seperti saya bisa menang melawan ASUS VivoBook S14 S433 yang juara dalam segala bidang. Tapi apakah saya kemudian mengurungkan niat untuk mengejar mimpi menjadi seorang penulis?
Oh, jelas tidak.
Sejak saat saya pergi dari rumah, saya sudah memutuskan untuk tidak pernah takut dan selalu berani menjadi diri sendiri apapun yang terjadi. Melihat orang lain yang lebih sukses sudah menjadi realita yang harus saya hadapi. Saya kemudian menyadari satu hal yang penting dan bisa mendorong saya mencapai titik yang sama seperti mereka:
Saya, bukanlah sebuah mesin laptop yang bisa digerus teknologi.
Saya adalah seorang manusia, yang selalu bisa belajar, berkembang, serta mengasah skill dan kemampuan untuk menjadi apapun yang saya inginkan. Saya memiliki bakat dan potensi, yang jika dikembangkan dengan serius pasti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.
Takut gagal itu manusiawi, tapi jangan sampai lupa kalau kita sedang mengejar mimpi yang jelas membutuhkan proses jatuh bangun berkali-kali. Karena itu, lebih baik saya fokus belajar dan terus berlatih daripada membandingkan diri dengan apa yang orang lain miliki.
Inilah esensi dari berani menjadi diri sendiri.
Bagaimana kita menempa diri,
Bagaimana kita belajar dan berlatih setiap hari,
Bagaimana kita menghadapi tantangan dan rintangan dengan segala kekurangan yang kita miliki.
Saya sadar kalau saya adalah laptop tua yang sudah usang. Tapi kembali lagi, saya bukanlah sebuah mesin yang bisa digerus oleh teknologi. Dengan kerja keras dan usaha tanpa henti, saya sangat yakin bisa bertransformasi menjadi seperti laptop ASUS VivoBook S14 S433 yang punya performa mumpuni tanpa harus kehilangan jati diri. Saya yakin, haqqul yaqin.
Maafkan jika saya terdengar seperti meracau dalam tulisan ini. Mimpi dan menjadi diri sendiri memang selalu menjadi topik yang membuat saya semangat sekaligus emosional. Dua hal inilah yang membuat saya bangun setiap pagi, duduk di depan laptop, bekerja dan menulis setiap hari sambil berharap akan ada banyak orang yang mendengar dan melihat apa yang saya kerjakan dengan penuh semangat dan cinta.
Saya bermimpi menjadi penulis.
Saya bermimpi menjadi sutradara.
Saya bermimpi menjadi penulis naskah.
Tidak peduli seberapa lama, tidak peduli seberapa jauh, dan tidak peduli seberapa banyak pelajaran dan latihan yang harus saya lakukan, saya harus bisa mewujudkan mimpi tersebut dengan segala keterbatasan yang saya miliki. Saya percaya, berjuang dan berani menjadi diri sendiri adalah keputusan terbaik yang akan kita ambil selama hidup ini:
“Anything worth having doesn’t come easy”
Saya tidak tahu kapan dan bagaimana hasilnya nanti. Tapi yang jelas, saya tidak akan pernah berhenti berjuang demi mimpi yang saya miliki ini.