Perempuan Tanah Jahanam (2019) — Sinergi Klenik Sing Apik
Sebagai seorang penikmat film, horor adalah salah satu genre yang sebisa mungkin selalu saya hindari. Pada dasarnya saya memang p̶e̶n̶a̶k̶u̶t̶ ga doyan, karena saya merasa kalau film horor selalu ‘menjual’ dengan cara yang sama. Klisenya serupa, plotnya ga jauh beda, rasanya juga gitu-gitu aja dan ga ngasih esensi cerita yang konkrit.
Jelas ga semuanya sih, karena memang ada beberapa film horor yang saya tonton dengan t̶e̶r̶i̶a̶k̶ ̶h̶i̶s̶t̶e̶r̶i̶s̶ ̶d̶a̶n̶ ̶k̶e̶r̶i̶n̶g̶a̶t̶ ̶d̶i̶n̶g̶i̶n̶ cermat karena penasaran dengan plot dan ceritanya. Pengabdi Setan adalah salah satunya, yang menurut saya merupakan film horor terbaik Indonesia karena telah berhasil membuat saya h̶a̶m̶p̶i̶r̶ ̶n̶a̶n̶g̶i̶s̶ kagum dengan teknik story telling dan camera play yang dipakai oleh sang sutradara, Joko Anwar.
Dan kali ini, Joko Anwar hadir kembali dengan film Perempuan Tanah Jahanam, film gore-thriller yang penuh dengan mistik, intrik, dan klenik. Saya tetap m̶e̶n̶g̶u̶m̶p̶a̶t̶ ̶k̶a̶s̶a̶r̶ cermat saat menonton film ini, karena memang ada banyak hal yang menarik yang saya dapatkan. Salah satunya adalah sinergi antara cerita, visual, desain karakter dan film score yang membuat saya b̶e̶r̶t̶e̶r̶i̶a̶k̶ ̶b̶a̶n̶g̶s̶a̶t̶ terpaku sepanjang film.
Menyelinap, Menahan Napas
Jujur, saya punya love-hate relationship dengan film-film horor dan thriller yang dibuat oleh Joko Anwar. Di satu sisi, saya benci karena harus menonton genre yang tidak saya sukai dengan atensi penuh sambil mengamati segala aspek filmnya. Tapi disisi lain, saya selalu penasaran dengan apa yang akan diberikan oleh Joko Anwar; bagaimana cara dia memasukan signature style miliknya, dan apa kejutan baru yang dia punya untuk para penontonnya.
Saya selalu merasa kalau Joko Anwar selalu kuat dan konsisten dengan tiga hal; seting realistis, elemen tradisionalis, dan film score merincis. Kita bisa melihat bagaimana Pengabdi Setan menggunakan tiga hal tersebut secara sinergis, melalui seting rumah yang realisitis dan penuh dengan ornamen tradisional plus film score yang bikin merinding. Dan di film Perempuan Tanah Jahanam kali ini, Joko Anwar kembali mengulang sinergi yang sama dengan penambahan satu elemen yang sangat terasa efeknya; orkestra gamelan dan suara nyanyian pesinden.
Film score, pada dasarnya adalah salah satu elemen dalam film yang digunakan untuk menciptakan satu emosi yang spesifik. Shepard tone sering dipakai untuk menambah intensitas suatu adegan, membuat penonton menahan napas mereka secara tidak sadar. Efek dari film score ini akan semakin kuat jika didalam benak penonton sudah punya stigma dan dogma sendiri terhadap suara-suara tertentu, misalnya suara pintu berdesik, langkah kaki yang samar, atau cekikikan kecil akan membuat kita secara otomatis merasa was-was dan waspada.
Joko Anwar, menggunakan orkestra dan suara nyanyian pesinden sebagai elemen film score yang krusial di film ini. Selain karena memang seting cerita diambil di daerah Jawa, kebanyakan orang Indonesia memang sudah punya stigmanya sendiri dengan nyanyian lagu Jawa, mereka menganggap ada korelasi dengan hal-hal mistis, mitos yang seram, dan penuh dengan cerita hantu. Satu elemen tradisionalis penuh klenik yang sudah mendarah daging di masyarakat kita ini dimasukan dengan frontal di awal, dan diberikan secara gradual di sepanjang film dengan merincis.
Jika banyak orang membicarakan opening scene yang ciamik, saya justru malah menarik perhatian pada scene selanjutnya; scene opening credit yang dibuat di layar pewayangan dengan film score berupa nyanyian pesinden yang mistis dan diiringi oleh orkestra gamelan. Sebelumnya saya bingung, kenapa sih opening credit dibuat selama itu, visualnya juga monoton dan membosankan. Memang ada penonton yang peduli dengan opening credit tersebut?
Tapi setelahnya saya tersadar kalau opening credit tersebut adalah overture bagi telinga kita, menyelinap kedalam alam bawah sadar agar kita merasa was-was dan tidak nyaman setiap kali ada suara gamelan atau nyanyian pesinden terdengar. Setiap orang jelas akan merasakannya dalam taraf yang berbeda, tapi buat saya pribadi sih cara ini sukses membuat saya bergidik.
Dan untuk menjaga efek overture ini tetap efektif, Joko Anwar tidak memborbardir penonton dengan frekuensi yang terus menerus. Justru sebaliknya, Joko Anwar menggunakan prinsip less is more dimana dia hanya menggunakan suara klenik ini pada beberapa adegan yang penting saja. Sisanya, Joko Anwar banyak menggunakan white noise yang dikombinasikan dengan Shepard tones untuk menjaga intensitas adegan, serta ambiance sound untuk menjaga adegan tetap realistis.
Sampai pada akhirnya, kombinasi dari stigma klenik dari orkestra gamelan, nyanyian pesinden, Shepard tones, ambience sound yang realitis dan white noise yang konstan akan masuk melalui telinga kita, menyelinap kedalam otak dengan mengatur emosi takut saat kita mendengarnya. Apalagi, kalau sudah disatukan dengan seting realistis dan visual ciamik, yang jadi salah satu kekuatan utama dari Perempuan Tanah Jahanam.
Meremang, Melucuti Mata
Perfeksionis, adalah satu kata yang langsung terbesat di benak saya saat melihat seting yang dibuat oleh Joko Anwar di film Perempuan Tanah Jahanam. Sepanjang film saya merasa kagum dengan seting yang dibuat secara realistis. Mulai dari properti yang terlihat di adegan opening, pasar tempat Maya dan Dini berjualan, keadaan desa Harjosari yang sepi, rumah Ki Saptadi dan peninggalan Ki Donowongso, hingga daerah hutan sekitar desa Harjosari. Semuanya didesain dengan estetika yang presisi, demi menimbulkan perasaan takut yang intens sepanjang film. Ga heran Joko Anwar sampai mengunjungi beberapa tempat untuk mendapatkan tempat yang sesuai dengan tema film ini.
Berkali-kali saya melihat dengan detail seting yang dipakai di film Perempuan Tanah Jahanam, dan saya menganggap semuanya dibuat dengan flawless tanpa cacat. Nisan kuburan dibuat sudah berlumut, papan seng yang menutupi tulisan ‘Tanah Makam Wakaf Ki Donowongso’ sudah berkarat, rumah kepala desa yang benar-benar jadul seperti aslinya, hingga tanaman rambat yang tumbuh di kamar mandi. Semuanya apik, semuanya realitis, dan semuanya benar-benar menyatu dengan plot cerita.
Desain dan kostum karakter yang diperlihatkan juga ga kalah detail. Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana Maya dan Dini berkeringat kepanasan saat berjualan di pasar, sampai-sampai kita bahkan bisa melihat pori-pori mukanya yang melebar. Begitu juga saat kita melihat penampilan Ratih, yang hidup dari kota dan jauh dari skincare. Jelas banget costume designer dan make-up artist-nya punya skill yang dewa, sumpah!
Semua seting dan desain karakter yang dibuat dengan presisi ini memang diciptakan untuk membuat rasa takut terasa nyata. Kemudian, masuklah Joko Anwar dan mempermainkan ekspektasi penonton, menghipnotis dengan komposisi gambar yang bikin saya ngerasa takut dan tegang.
Salah satu kenapa saya benci-tapi-cinta dengan film Joko Anwar adalah bagaimana dia bisa membuat satu shoot terasa intens dan menyeramkan tanpa harus bersusah payah. Salah satu contoh yang paling ̶b̶a̶n̶g̶s̶a̶t̶ keren adalah ketika adegan Maya sedang duduk di meja melihat foto kedua orang tuanya di rumahnya dulu. Alih-alih fokus pada foreground figur Maya yang sedang duduk, frame ditengah malah fokus pada background satu jendela kecil yang jauh di tengah ujung ruangan, kontras bercahaya sendiri dengan ruangan rumah lain yang gelap remang-remang.
Akibatnya, mata saya selalu fokus dan terpaku pada jendela tersebut. Selalu waspada, selalu menanti, selalu tegang karena selalu merasa takut kalau nantinya ada ‘sesuatu’ yang keluar dari jendela tersebut. Sederhana memang, tapi terbukti sangat efektif untuk membuat intensitas cerita selalu konstan terjaga. Apalagi setelah dibangun kesan horornya terlebih dahulu dengan adegan Dini memakai selimut dan berjalan pelan, menuju Maya yang sedang melihat foto di meja.
Ga heran kalau teknik quadrant framing macam ini kembali diulang, dipakai, dan dimainkan sepanjang film untuk membuat seting menjadi lebih hidup, membaur bersama karakter dan ‘berbicara’ secara tidak langsung dengan para penontonnya. Tapi bagaimana caranya seting tersebut bisa berbisik. menyelinap dan menyebabkan emosi dan rasa takut yang lebih nyata?
Lighting, adalah jawabannya, dimana dalam film Perempuan Tanah Jahanam ini dimainkan dengan begitu sempurna.
Thriller dan horror biasanya memakai jump scare untuk ‘menjual’ sensasi takut pada penontonnya, membuat mereka terhentak dari tempat duduk untuk merasakan emosi takut sesaat. Perempuan Tanah Jahanam, justru melakukan sebaliknya. Film ini bermain long game, membangun intensitas dan rasa tertekan sedikit demi sedikit melalui seting cerita, perjalanan karakter dan komposisi gambar. Tapi yang paling berpengaruh adalah lighting atau pencahayaan, salah satu alasan utama kenapa Perempuan Tanah Jahanam terasa begitu menakutkan dari awal hingga akhir film.
Sepanjang film, lighting dibuat remang-remang atau bahkan gelap sama sekali di beberapa adegan. Hal ini digunakan untuk beberapa tujuan, mulai dari menjadi fokus frame, penangkap emosi karakter, dan membangun intensitas adegan agar terasa lebih berat, lebih serius, dan jelas lebih menakutkan.
Lighting yang minim akan ‘memaksa’ penonton untuk fokus dan melihat pada satu titik saja, persis seperti adegan jendela kecil di ujung tengah ruangan yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Teknik ini juga dipakai untuk mengecoh ekspektasi penonton dengan memberikan frame yang tidak jelas, seperti adegan Dini menggunakan selimut dan ibu-ibu berkerudung yang sedang duduk dipasar misalnya. Semua adegan tersebut bisa terasa menyeramkan berkat lighting yang minim, menyembunyikan informasi dan menimbulkan ekspektasi dan rasa penasaran.
Kemudian lighting juga digunakan untuk memperjelas dan mengamplifikasi emosi dari karakter yang sedang berperan. Kita bisa merasakan emosi Maya saat dia penasaran dan membawa lampu minyak keluar rumah, kita bisa melihat emosi tegang saat Ratih dan Maya berlari dari warga yang mengejarnya. Dengan prinsip less-is-more, lighting membuat penontonnya fokus menangkap emosi dari karakter secara menyeluruh, persis seperti apa yang dilakukan oleh shot juara berikut ini:
Buat saya pribadi, visual dari Perempuan Tanah Jahanam sudah sempurna dan berkelas tinggi hampir tanpa cacat. Tanpa seting realistis yang meyakinkan, tanpa komposisi gambar yang tepat, dan tanpa lighting yang subliminal, mustahil penonton bisa merasakan secara nyata klenik mistis dari cerita Perempuan Tanah Jahanam. Sinergi visual dengan film score yang digunakan juga sudah presisi dan saling melengkapi. Sayangnya, ada satu hal yang menganggu dan kualitasnya tidak sesempurna elemen visual dan audio, satu hal yang fundamental yang berhubungan langsung dengan kualitas film; story telling.
Mengecoh, Menipu Logika
Seperti yang sudah dibilang oleh Joko Anwar dalam banyak kesempatan, Perempuan Tanah Jahanam akan menghadirkan sensasi horor yang berbeda ketimbang film horor yang dibuat sebelumnya, yaitu Pengabdi Setan. Selain bukan merupakan film remake, skrip Perempuan Tanah Jahanam memang faktanya sudah sejak dibuat 10 tahun silam.
Dalam proses syuting pun Joko Anwar disupervisi oleh Ketua Wayang Indonesia Ki Asman Budianto agar kebudayaan wayang yang ditampilkan sesuai dengan kaidah dan estetika. Dengan kata lain, Joko Anwar ingin elemen tradisionalis yang dipakai benar-benar sempurna, sehingga kesan klenik dan mistis dari dunia pewayangan dapat diberikan secara menyeluruh pada penonton.
Sang sutradara memang berhasil melakukannya dengan sangat baik di film ini, baik dalam aspek audio maupun visual. Sayangnya, saya merasa idealisme detail yang dikejar oleh Joko Anwar tidak terlihat dalam bagaimana dia meramu cerita. Storytelling yang digunakan tidak seimbang, sangat kuat di awal namun begitu lemah di akhir.
Kita semua tahu dan merasa kalau film dibuka dengan overture yang keren, vibe thriller yang dipakai langsung kerasa, lengkap dengan iringan musik klenik yang menggunakan elemen gamelan dan pesinden. Intensitas cerita juga terjaga dengan apik, penonton dibuat penasaran dengan seribu tanda tanya tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Flick horror yang dilakukan sedikit demi sedikit juga mampu membuat penonton berekpektasi liar, benar-benar mudah dan siap untuk ‘dipermainkan’.
Tapi sayangnya, saya merasa kalau penyebaran misteri plot cerita tidak merata. Jomplang. Terlalu sedikit di awal, dan terlalu banyak di akhir. Sangat jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan dengan film Pengabdi Setan. Menurut saya pribadi, pembawaan cerita yang dilakukan dari awal hingga pertengahan film sudah sangat tepat. Namun sayangnya, mulai dari pertengahan hingga akhir film plot cerita terkesan terlalu cepat, diceritakan dengan konklusi yang terburu-buru dan klimaks yang dipaksakan. Apakah ini terjadi karena Joko Anwar sempat sakit dan diopname selama 8 hari karena demam berdarah?
Ada juga banyak adegan yang mengganggu karena terasa tidak membaur dengan plot cerita. Salah satu yang paling aneh adalah adegan flashback yang terjadi saat sang hantu anak kecil ‘masuk’ kedalam pikiran Maya. Saya yakin Joko Anwar bisa membuat adegan yang lebih keren, ketimbang memperlihatkan Maya bergelinjang saat melakukan flashback dengan satu shoot dengan sudut yang sama selama tiga kali berturut turut. Kenapa harus dilakukan dengan cara yang membosankan?
Saya pribadi menyukai adegan flashback yang diperlihatkan dengan efek dan cutting khusus, benar-benar menangkap esensi dan revelasi misteri yang selama ini menjadi pertanyaan penonton. Tapi kenapa harus langsung diberikan semuanya dalam satu waktu? Kenapa tidak dipisah atau beberapa bagiannya dibuat berbeda bentuk, tidak dalam bentuk flashback? Berbentuk narasi dari orang desa, atau dari catatan tersembunyi yang ada di rumah misalnya? Saya aneh melihat Maya sampai kerasukan tiga kali untuk ‘nyuapin’ misteri plot pada penonton, sangat terlalu frontal buat Joko Anwar yang biasanya piawai memberikan konklusi cerita secara subliminal.
Kalau kita berbicara logika adegan, saya merasa ada beberapa bagian cerita film yang masih miss dan tidak masuk dengan logika saya sebagai penonton. Yang pertama adalah saat Maya dan Dini masuk dan tinggal di dalam rumah yang sudah ditinggalkan selama 20 tahun. Saya tidak mempermasalahkan kenapa mereka tidak takut, karena memang sedari awal sudah diperlihatkan kalau Maya dan Dini memang tidak percaya dengan hal mistis.
Yang jadi masalah adalah bagaimana mereka tidur di kasur dengan pakaian terbuka tanpa alas tambahan dan sama-sekali tidak menunjukan rasa tidak nyaman, tanpa mengeluh, dan merasa tidak masalah tidur di tempat yang sudah sangat berdebu dan ditinggalkan selama 20 tahun. Begitu juga dengan adegan mandi di tempat yang sangat gelap, penuh lumut dan entah bagaimana kebersihannya. Dan Dini pun mandi dengan bahagia tanpa mengeluh dengan keadaan seperti ini? Mereka berdua tinggal dimana sih sebelumnya? Tempat yang lebih parah dari rumah tersebut?
Logika adegan pun terlihat miss dalam beberapa momen krusial, seperti adegan saat Ratih dan Maya harus menggali tulang belulang anak-anak yang menjadi korban penculikan misalnya. Sekopnya memang sudah terlihat berkarat dan sudah tua, tapi darimana mereka berdua mendapatkan sekop tersebut? Dan mengapa basement tersebut terlihat lebih bersih dan terlihat tanpa debu ketimbang bagian rumah lain?
Tapi logika adegan yang paling menggangu buat saya adalah bagaimana Nyi Misni membuat wayang kulit dalam waktu kurang dari 12 jam. Karena yang saya tahu, membuat wayang kulit itu membutuhkan waktu sekitar 3–4 hari, memastikan kulit yang dipakai benar-benar kering dan siap untuk dipahat. Tapi disini, Nyi Misni bahkan sudah terlihat menghaluskan kulit beberapa waktu setelah menjemur kulit Dini secara eksplisit pada penonton, tanpa terlihat matahari yang menyengat pula. Gimana caranya ya?
Oke, oke.
Menanyakan logika di film yang sudah jelas-jelas fiksi mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang bodoh. Tapi buat saya, hal ini menjadi penting karena berpengaruh langsung dengan feel dan konsistensi dalam cerita. Kalau Joko Anwar benar-benar menaruh perhatian dalam hal seting dan visual, kenapa detail krusial dalam cerita seperti ini bisa sampai terlewatkan, yang bahkan sudah disupervisi oleh Ketua Wayang Indonesia? Apakah untuk mempersingkat waktu syuting, atau memang sebetulnya skrip cerita dibuat lebih detail dan lebih panjang?
Terlepas dari semua kekurangan yang sudah saya sebutkan di atas, Perempuan Tanah Jahanam adalah film yang solid, berkualitas tinggi dan jelas jadi salah satu standar thriller tinggi di dunia perfilman Indonesia. Saya 100% kagum dengan film score dan bagaimana seting cerita realistis dibuat, klenik mistisnya juga begitu kerasa dan masih punya potensi yang sangat besar buat lebih dikembangkan kedepannya.
Buat saya yang tidak doyan menonton horor maupun thriller, horor dan gore yang ditampilkan terasa lebih ringan jika dibandingkan Pengabdi Setan atau Sebelum Iblis Menjemput. Buat saya sih pas, tapi mungkin buat para penikmat horor atau thriller sejati mungkin akan terasa kurang. Menurut saya pribadi sih, kalau saja Perempuan Tanah Jahanam lebih memperlihatkan adegan gore sedikit lebih banyak dan sedikit lebih eksplisit, mungkin akan benar-benar membuat film ini kerasa ‘sakit’ di benak penonton.
Saya juga sebenarnya berharap menemukan signature style dan camera play yang baru dari Joko Anwar. Karena dengan lore, seting, dan desain karakter yang sudah sangat mendukung ini saya pikir Joko Anwar bisa bermain lebih berani, dan membuat shot-shot cemerlang yang bikin saya dan jutaan penonton lain ngerasa greget seraya bilang:
‘That’s it, that’s exactly what I’m looking from Joko Anwar!’