Passion, Pat Boonnitipat, dan Dua Pelajaran Berharga
Hari Sabtu tanggal 27 Mei, film How to Make Millions Before Grandma Dies (2024) resmi mendapat lebih dari 1.2 juta jumlah penonton di seluruh Indonesia. Satu pencapaian yang mengejutkan, bahkan untuk sang sutradara Pat Boonnitipat sendiri.
Sabtu kemarin, saya atas nama WatchmenID diundang oleh Falcon Pictures untuk menjadi host dalam acara press conference dan media gathering menyambut kedatangan Pat Boonnitipat ke Indonesia. Satu buah kesempatan dan kehormatan besar untuk saya sebagai penikmat film Lahn-Mah, judul bahasa Thailand dari How to Make Millions Before Grandma Dies (HTMMBG)
Tapi kalau boleh jujur, saya tidak tahu siapa itu Pat Boonnitipat atau yang juga dipanggil Khun Pat.
Saya tidak tahu siapa dia, apa saja yang sudah dia kerjakan, apa directing style yang dia miliki, saya bahkan sangat jarang menonton film Thailand. Yang saya tahu hanya satu: dia adalah sutradara yang berhasil membuat saya — dan jutaan penonton Indonesia lainnya — menangis jelek di bioskop.
Ketika saya masuk ke area acara, saya melihat Khun Pat dari kejauhan. Perawakannya kecil, kurus, memakai baju putih bersih. Secara fisik tidak menonjol, tapi bahkan dari kejauhan, saya bisa merasakan bahwa Khun Pat adalah orang yang hangat. Senyumnya manis dan lebar, kerendahan hatinya bahkan sudah saya rasakan sebelum saya bertemu langsung dengan beliau.
Saya, entah kenapa, otomatis tersenyum ketika pertama kali melihat Khun Pat.
Media mulai berdatangan, ada yang makan, minum, berbincang, sampai akhirnya acara resmi dimulai. Khun Pat datang ke tengah panggung, dan saya menyapanya, mengajaknya bersalaman. Dengan suara lembut, Khun Pat menyapa balik saya dengan ramah, hangat dan senyum yang lebar. Persis seperti apa yang saya rasakan ketika melihat beliau dari kejauhan.
Detik itu juga saya jadi lega dan yakin, bahwa acara hari ini akan baik dan lancar.
Acara kemudian dimulai. Saya memberikan pertanyaan pertama pada Khun Pat.
“So Mr. Pat, what’s your first reaction when you know that your film has gained so much attention in Indonesia? And why do you think that happened?”.
Apa sih yang membuat film ini spesial? Kenapa banyak #Sukarelahnmah (fans film yang rela jadi buzzer tanpa bayaran) yang mengajak orang lain untuk menonton film ini? Apa yang membuat film ini mampu menarik begitu banyak penonton di Indonesia, padahal secara budaya, Indonesia dan Thailand punya banyak perbedaan bukan?
Saya pribadi merasa, ada dua alasan yang membuat film Lahn-Mah bisa sukses baik di Thailand maupun di Indonesia.
Alasan pertama, konsep dan tema cerita yang bernilai universal. Lahn-Mah adalah sebuah cerita untuk semua orang di seluruh dunia. Apapun latar belakang keluarganya, pasti bisa merasakan emosi yang diberikan oleh cerita dalam film. Bahkan tidak ekslusif untuk orang-orang yang memiliki kedekatan dengan neneknya saja.
Secara garis besar, Lahn-Mah bercerita tentang satu keluarga besar dengan dinamika konflik yang biasa kita dengar atau bahkan sedang terjadi pada keluarga kita sendiri. Komunikasi antar anak dan orang tua yang buruk, masalah keuangan, relasi dengan saudara, rebutan warisan, dan hal-hal lain yang terbilang sensitif dan tabu untuk dibicarakan.
Lahn-Mah, tidak hanya memberikan satu cerita yang realistis pada penontonnya, tapi juga membangkitkan emosi dan memori yang sengaja kita pendam selama ini terhadap kakek dan nenek, orang tua, kakak adik, sahabat dan saudara lainnya.
Siapapun orangnya, dimanapun mereka menonton, apapun bahasa yang mereka gunakan, emosi yang sama akan menembus, merasuk dan menusuk setiap hati penonton Lahn-Mah.
Alasan kedua yang menurut saya membuat film Lahn-Mah berhasil, adalah tingkat totalitas dan craftmanship yang dilakukan oleh Pat Boonnitipat sebagai sutradara di film panjang pertamanya ini. Khun Pat bilang, film Lahn-Mah direncanakan selama kurang lebih 2 tahun, dengan sekitar 100 draft script yang telah dibuat.
Uniknya, dia tidak menuntut semua orang pada timnya untuk memberikannya satu kesempurnaan secara estetika, tapi justru malah mengajak semua orang untuk memberikan passion terdalam dan emosi memori mereka tentang nenek dan orang tua mereka saat proses produksi.
Rumah Amah yang begitu amat sangat meyakinkan adalah hasil passion dan memori dari production designer. Scoring emosional dari suara piano adalah passion dan memori dari sound designer. Pemilihan narasi dan bentuk semua karakter dalam film adalah hasil passion dan memori dari sang sutradara dan scriptwriter.
Khun Pat bilang, kalau dia dan timnya tidak terlalu peduli jika film ini tidak sukses secara komersial. Mereka tetap gigih, tetap profesional, tetap kekeuh dan tetap konsisten untuk membuat film ini dengan sepenuh hati, karena mereka sangat yakin dengan kekuatan cerita yang mereka miliki.
Hasilnya? Satu buah film yang luar biasa emosional, dan mampu ‘menyembuhkan’ emosi setiap penontonnya.
Dan kita bisa lihat sendiri, ini benar-benar terbukti. Ada begitu banyak komentar-komentar di media sosial yang membuat semua penontonnya menyuarakan emosi yang selama ini mereka pendam. Mulai dari cerita mereka dengan neneknya, hingga apa yang mereka rasakan dengan anggota keluarga lainnya.
Tidak terasa, sudah lebih dari 40 menit acara berjalan. Semua media sudah mendapatkan giliran bertanya, sudah banyak cerita dan informasi yang didapat dari sang sutradara. Untuk menutup acara, saya memberikan satu pertanyaan terakhir:
“What message or value do you want to convey in this film to all the audience, especially Indonesians?”
Khun Pat, terdiam. Dia berpikir dalam, serius, fokus.
Satu detik.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Tiga puluh detik.
Saya tidak mengingatkannya berapa waktu yang sudah terlewat. Tidak memburu-buru, tidak pula mengisi dead air pada acara dengan celetukan atau narasi apapun.
Saya hanya diam, memberikan tempat, ruang, dan waktu sepenuhnya untuk Khun Pat menjawab satu pertanyaan yang mungkin menurut dia sangat penting.
Dan akhirnya, Pat Boonnitipat, sutradara film How to Make Millions Before Grandma Dies, menjawab:
“Meskipun kamu dari Indonesia dan aku dari Thailand, meskipun kita berbeda negara, meskipun kita berbeda budaya, kita semua adalah manusia yang punya lukanya masing-masing. Kamu tidak sendiri”
Saya ingin berterimakasih secara pribadi kepada Falcon Pictures, yang telah memberikan saya kesempatan untuk bertemu langsung dengan Pat Boonnitipat. Sebagai seseorang yang sedang belajar jadi penulis skenario dan sutradara film, ini adalah kesempatan once-in-a-life-time.
Setelah acara berakhir, saya bertanya pada beliau, apakah dia punya satu saran untuk saya yang sedang belajar filmmaking ini?
“I have two, actually” Khun Pat menjawab, tentu saja sambil tersenyum hangat
“One. Don’t become a filmmaker just to chase fame or become a celebrity, unless that’s the nature of you. Two, never forget the core value of yourself; what your identity is, what you hold, what you believe, what you value in life.
Because that’s the thing that makes you different from other filmmaker”
Dua pelajaran berharga, dari sutradara yang berhasil membuat saya dan jutaan orang di dunia membuka dan menyembuhkan luka dalam hatinya.
ขอบคุณมากค่ะคุณแพท บุญนิติพัทธ์. ฉันหวังว่าเราจะได้พบกัน ดื่มเบียร์ และพูดคุยเรื่องชีวิตและการสร้างภาพยนตร์ในอนาคต
Once again, thank you so much for all the warmth and the insights, Khun Pat!