Parasite (2019) — Tegang Yang Sangat (Luar) Biasa

Ben Aryandiaz Herawan
5 min readAug 28, 2019

--

Penafian — Postingan ini merupakan duplikat dari jawaban sebuah pertanyaan yang ada di Quora. Silahkan akses jawaban saya versi Quora disini.

Sebagai penggemar setia dari karya-karya film yang dibuat oleh sutradara Bong Joon-ho, saya menganggap Parasite adalah salah satu karya terbaik yang pernah dibuatnya. Di film ini, Bong Joon-ho kembali memperlihatkan keahliannya dalam membuat sebuah film tragicomedy. Secara struktur dan seting cerita, Parasite mirip dengan Memories of Murder yang juga merupakan film terbaiknya. Bedanya, Parasite mengangkat plot yang jauh lebih sederhana, jauh lebih realistis, namun lebih intens.

Ya, salah satu daya tarik utama dari film ini adalah bagaimana Bong Joon-ho dapat menceritakan sesuatu yang sangat sederhana, dengan memberikan suspense dan intensitas cerita yang begitu berat. Berbeda dengan film thriller lainnya yang menjual aura seram dan mencekam, Bong Joon-ho membuat Parasite layaknya film keluarga. Setingnya dibuat di rumah, kita bisa melihat keseharian keluarga layaknya orang normal dengan detail, hanya rutinitas dari anggota keluarga masing-masing. Sama sekali tidak terasa seram bukan?

Boong Joon-ho memang piawai dalam membuat suspense cerita. Dia tidak memberikannya langsung pada penonton. Semuanya dibawa dengan perlahan, dengan cara memberikan kita backstory yang detail dan lengkap sambil membuat kita ‘terlena’ dengan plot cerita dan lupa untuk menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sampai akhirnya, ‘adegan’ tersebut pun tiba.

Saat suara bel rumah berbunyi, penonton pun langsung terhentak dan tersadar. Setelah melihat betapa mulusnya rencana berjalan bagi keluarga ‘parasit’ ini, penonton lupa kalau belum ada konflik yang menggerakan cerita. Dan disinilah daya tarik kedua film Parasite mulai terlihat; bagaimana intensitas cerita dibangun dari hal yang sangat sederhana.

Pada dasarnya, intensitas cerita dari film ini dibangun layaknya sedang bermain petak umpet. Kita diperlihatkan bagaimana keluarga ‘parasit’ beradu dengan keluarga ‘inang’, namun dengan taruhan nyawa mereka. Inilah yang membuat film Parasite ini punya ‘aroma’ ketegangan yang unik, dengan memperlihatkan betapa tipisnya kemungkinan mereka bisa lolos dari keluarga ‘inang’. Intensitas cerita bahkan terus ditambahkan sepanjang cerita oleh Bong Joon-ho, dengan cara membuat konflik yang bercabang yang membuat penonton tidak bisa fokus pada satu masalah saja.

Inilah daya tarik ketiga dari film Parasite, yaitu presentasi konflik yang diperlihatkan dengan sangat realitis. Awalnya, penonton fokus pada konflik yang sederhana; mencegah keluarga ‘inang’ mengetahui rahasia dari keluarga ‘parasit’. Kemudian datang konflik kedua, bagaimana keluarga ‘parasit’ harus berhadapan dengan keluarga ‘rahasia’. Datang lagi konflik petak umpet, konflik jati diri, hingga konflik yang berujung klimaks.

Dan hebatnya, Bong Joon-Ho membuat lapisan demi lapisan konflik yang diperlihatkan tidak diberikan secara berbarengan. Ada yang dibangun secara perlahan sedari awal, ada yang diberikan saat setengah film berjalan, ada yang langsung diberikan setelah klimaks terjadi. Semua deretan konflik ini membuat penonton tidak sempat untuk bernapas dan berpikir jernih, ga dikasih ruang buat santai dan bersiap untuk menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Brilian!

Dan kalau kita berbicara teknik kamera, saya sempat menyayangkan Bong Joon-ho tidak mengeluarkan ciri khas ensemble staging miliknya secara penuh seperti yang terlihat di film Memories of Murder. Parasite lebih banyak menggunakan teknik shoulder shot untuk membangun narasi, dengan banyak variasi long-shot dan dolly untuk menambahkan atmosfir dan intensitas adegan. Tapi untungnya, Bong Joon-ho tetap mempertahankan ciri khas lain yang dimilikinya dalam film ini; bagaimana dia memainkan foreground dan background secara bersamaan sehingga adegan terasa sangat hidup.

Setelah semua adegan sudah terlihat hidup dimata, Bong Joon-ho juga ‘masuk’ ke pikiran kita melalui film score yang ciamik. Disini, dia menggunakan musik opera dan orkestra sebagai suara latar adegan yang membuat adegan lebih intens dan dramatis, sekaligus menyatukan adegan dengan seting cerita yang bertempat di ‘rumah orang kaya yang mewah, elegan dan glamor’. Bong Joon-ho juga kerap memasukan white noise dan brown noise untuk menambah intensitas adegan pada penonton secara tidak sadar.

Kita bisa melihat dan mendengar kombinasi teknik kamera yang khas dengan film score orkestra yang dramatis pada setengah awal film, saat plot menceritakan tentang backstory dari keluarga ‘parasit’.

Film Parasite, adalah jenis film yang menguras emosi penontonnya. Tidak hanya membuat penonton menahan napas, tapi juga turut menggoyang moral dan pola pikir yang dimiliki oleh penonton. Siapa yang jahat sebenarnya dalam film ini? Apakah keluarga ‘parasit’ yang menipu untuk bertahan hidup? Atau keluarga ‘inang’ yang kaya dan merendahkan orang lain tanpa sepengetahuan mereka?

Film Parasite tidak memberikan cukup alasan bagi penontonnya untuk memihak satu salah satu pihak, baik itu keluarga ‘parasit’ maupun keluarga ‘inang’. Penonton memang diberikan profil karakter setiap anggota keluarga yang berperan, tapi hal tersebut malah membuat penonton semakin bingung, semakin ragu, semakin lebur

Nila-nilai inilah yang membuat Parasite menjadi sorotan bagi banyak orang, sebuah nilai yang berasal dari konflik kesenjangan sosial yang nyata terjadi di Korea Selatan, atau bahkan di seluruh dunia. Nilai tersebut kemudian diandaikan secara frontal dan dramatis melalui adegan klimaks yang menurut saya dibuat dengan sangat sempurna. Apalagi ditambahkan dengan dengan penutup cerita yang ‘menggantung’ penonton di akhir; memberikan harapan palsu yang pahit kalau semuanya akan ‘baik-baik’ saja nantinya.

Parasite benar-benar pantas buat menang penghargaan Palm d’Or dan menjadi film Korea paling laris di Indonesia!

TL;DR

Parasite, film yang dibuat oleh sutradara asal Korea Bong Joon-ho adalah film tragicomedy yang menceritakan tentang keluarga miskin yang menjadi ‘parasit’ bagi keluarga kaya yang menjadi ‘inang’. Film ini punya beberapa aspek menarik yang membawanya menjadi salah satu film Korea paling laris yang pernah ada:

  • Berbeda dengan film thriller pada umumnya, suspense cerita film ini dibangun dari hal yang sangat sederhana. Tidak ada jumpscare, tidak ada hantu, tidak ada nafsu, yang ada hanya tindakan realitis berdasarkan insting dan kebutuhan.
  • Presentasi konflik yang realitis, dimana penonton diberikan sebuah konflik cerita yang nyata dan dapat dirasakan setiap hari. Ini membuat penonton merasakan cerita sampai pada titik emosional, membuat film ini lebih menempel dalam hati dan pikiran.
  • Teknik kamera khas Bong Joon-ho yang dapat membuat narasi, plot cerita, dan seting adegan menjadi berat dan intens. Belum lagi film score yang menggunakan musik orkestra ditambah detailnya shot profile setiap karakter membuat setiap adegan menjadi lebih dramatis.
  • Kaburnya pihak antagonis dan protagonis, membuat penonton bingung harus memihak kemana. Cerita kemudian menjadi ambigu karena penonton bertindak ‘murni’ sebagai penonton, bukan sebagai penilai dan menebak apa yang akan terjadi di adegan selanjutnya.
  • Eksekusi klimaks yang sempurna, dimana klimaks diberikan secara mentah, frontal, realistis dan berkelas. Adegan penutup yang menggantung juga membuat penonton semakin penasaran dan kebingungan, apakah cerita berakhir bahagia atau malah tragis.

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet