Parasite (2019) dan Dua ‘Tembok Juara’ Dari Oscar
*Artikel ini telah tayang di CNN Indonesia pada tanggal 9 Februari 2020. Link artikel: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20200206161312-221-472307/dua-tembok-piala-oscar-untuk-parasite
“Jessica, Only Child, Illinois, Chicago, Classmate Kim Jin-mo, He’s your cousin”
Mungkin aktris Korea Selatan Park So-Dam tidak akan pernah menyangka nyanyiannya di film Parasite ini akan menjadi sebuah jingle yang viral di sosial media. Betapa tidak, hampir semua orang di dunia perfilman sedang menyorot film Parasite. Popularitas yang mendunia turut membawa film Parasite masuk ke dalam nominasi Best Picture dalam ajang perhelatan Oscar, sekaligus mencetak rekor karena menjadi film asal Korea Selatan pertama yang masuk dalam kategori ini.
Tapi kemudian semua orang bertanya, apakah Parasite akan keluar sebagai pemenang dan berhasil mencetak sejarah?
Film Parasite, memang seperti membawa angin segar bagi para penontonnya di seluruh dunia. Bong Joon-ho memberikan kita sebuah cerita yang sangat biasa dengan plot dan teknik storytelling yang luar biasa. Tema perbedaan kelas sosial antara dua keluarga di Korea Selatan dia gunakan sebagai kaca pembesar untuk penontonnya, memperlihatkan bahwa kesenjangan sosial benar nyata terasa. Tentu dengan tambahan bumbu cerita yang menambah rasa.
Dari segi cerita, Parasite adalah jenis film tragicomedy yang punya plot sederhana tapi berhasil memberikan penontonnya sesuatu yang seakan belum pernah dilihat sebelumnya. Tidak seperti film-film buatan Bong Joon-ho sebelumnya yang membawa penonton tegang sejak detik pertama, film Parasite baru memperlihatkan presentasi konflik saat film berjalan setengahnya; tepat ketika pintu rahasia di bawah tanah itu terbuka. Atmosfir film langsung berubah 180 derajat menjadi sangat berat. Penonton tiba-tiba menahan nafasnya, dada mereka menjadi sesak dan ikut merasakan tegang yang luar biasa. Sebuah cara yang efektif untuk membuat penonton terpaku di kursinya.
Desain dan interaksi karakter di film Parasite juga dibuat dengan apik untuk menggoyang moral dan pola pikir penontonnya. Kontras yang kabur antara dua keluarga tidak memberikan penonton petunjuk konkrit mengenai siapa yang jahat dan baik. Tidak ada kejelasan mana yang hitam dan mana yang putih, baik keluarga parasit dan keluarga kaya sama-sama memperlihatkan dosanya. Ending cerita pun dibuat dengan jenius, harapan penonton seakan digantung dengan penuh ilusi yang mengisyaratkan ‘semua akan baik-baik’ saja. Dan pada akhirnya, emosi penonton benar-benar dikuras habis setelah credit roll bergulir.
Dilihat dari sisi manapun, film Parasite jelas punya kualitas yang super prima dan memang pantas mendapatkan nominasi Best Picture untuk Oscar. Tapi apakah semua ini cukup bagi film Parasite untuk meraih kemenangan? Jelas tidak.
Perlu diingat bahwa nominasi Best Pictures bisa dibilang merupakan salah satu penghargaan tertinggi yang bisa didapat oleh seorang pembuat film. Kualitas prima bukanlah jaminan untuk menang, justru hanya menjadi syarat mutlak untuk masuk kedalam nominasi Best Pictures. Dan untuk nominasi Best Picture kali ini film, Parasite harus berhadapan dengan film yang tidak kalah bagusnya.
Sebut saja film Joker karya Todd Phillips yang langsung mendobrak dunia sinema sejak kemunculannya. Mengangkat dunia DC Comics yang dibuat menjadi nyata, aktor Joaquin Pheonix berhasil memerankan man of chaos bernama Joker dengan sempurna. Ada juga film berdurasi 3 jam 30 menit yang berjudul The Irishman, film drama bertabur bintang legenda seperti Al Pacino, Robert Deniro dan Joe Pesci yang disutradarai oleh Martin Scorcese, sutradara yang rutin mendapatkan penghargaan kelas dunia.
Marriage Story yang sempat viral berkat adegan natural antara Adam Driver dan Scarlett Johannson juga menjadi ancaman bagi Parasite. Jojo Rabbit dan Little Women yang punya jalan cerita yang unik tentu akan menarik mata para voters Academy Award. Begitu juga film Once Upon a Time in Hollywood yang disutradarai oleh Quentin Tarantino yang mengangkat pembunuhan Sharon Tate. Oh, jangan lupakan film Ford v Ferrari dan 1917 yang punya teknik visual ciamik dan membuat siapapun yang menonton terpana.
Ini, adalah ‘tembok’ pertama yang akan mencegah film Parasite untuk membawa piala Best Picture dari Oscar. Masing-masing dari film ini jelas punya kualitas prima, yang membuat kualitas tinggi yang dimiliki oleh Parasite belum cukup untuk membuatnya menang. Semua film yang masuk kategori Best Picture jelas berkualitas tinggi dan punya pasar penikmatnya sendiri. Sebuah tantangan besar bagi film Parasite bukan?
Dan tidak cukup sampai disitu, film Parasite juga punya tantangan yang harus dilewati sendiri. Sebagai film yang berasal dari tanah Asia, film Parasite harus bisa mendobrak ‘tembok juara’ yang kedua untuk bisa menang memboyong piala Best Picture: tradisi dari kontesasi yang sudah berjalan hampir 120 tahun.
Sejak dilaksanakan pertama kali pada tahun 1929, ajang Oscar bisa dibilang selalu hangat akan isu representasi rasial dan gender yang tidak seimbang. Los Angeles Times melakukan riset pada tahun 2012 dan menemukan fakta bahwa voters Academy Awards memang kebanyakan adalah orang kulit putih. Sebuah ironi mengingat Academy Awards sering menyebut dirinya sebagai ‘the world’s preeminent movie-related organization’ tapi tidak mewakili semua suara.
Kritik tentang isu ini pun terus menerus datang dari aktor dan pembuat film yang berasal dari ras minoritas. Mereka menuntut sebuah sistem yang adil sehingga semua orang bisa punya kesempatan menang, terutama kaum minoritas yang selama ini selalu dikucilkan dan tidak pernah diakui dengan jelas. Tanpa adanya representasi rasial dan gender yang seimbang, karya sebagus apapun jika berasal dari ras minoritas mustahil akan bisa menang.
Dan sekarang, film Parasite sedikit banyak sudah merasakan dampaknya dari hal ini. Tidak ada satu pun penghargaan untuk para aktor dan aktris yang berperan di film Parasite, meskipun filmnya sendiri sudah mendapatkan banyak penghargaan bergengsi. Bagaimana bisa mereka membuat sebuah film meraih penghargaan, tapi para aktor dan aktrisnya sendiri tidak mendapatkan penghargaan apapun? Apa yang bisa menyebabkan paradoks seperti ini terjadi?
Penelitian yang dilakukan oleh VICE memperlihatkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, mulai dari kurangnya distribusi film Asia, sulitnya wajah Asia masuk kedalam standar mainstream Hollywood, dan demografi voters Academy Awards yang kebanyakan kulit putih, membuat pilihan mereka menjadi bias karena tidak bisa melihat secara objektif akting yang dilakukan oleh aktor Asia. Sebuah miopia rasial yang jelas akan membuat penilaian suatu karya film menjadi tidak adil.
Melihat fenomena ini, saya pribadi merasa deja vu karena melihat adanya kemiripan antara Oscar tahun ini dengan Oscar pada tahun 2001, ketika film Crouching Tigers Hidden Dragon masuk nominasi kategori Best Pictures, sutradara Ang Lee masuk nominasi Best Directors, dan filmnya menjadi sangat populer dan menciptakan hype sehingga dibicarakan oleh semua orang. Persis seperti apa yang terjadi sekarang pada Bong Joon-ho dengan film Parasite miliknya. Tapi sayang, pada akhirnya Ang Lee dan film Crouching Tigers Hidden Dragon besutannya tidak mendapat piala kemenangan dan hanya menjadi nominasi semata karena terbentur ‘tembok juara’ yang berbentuk bias rasial.
Sekarang, yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu perhelatan Oscar pada tanggal 9 Februari 2020 mendatang. Parasite jelas punya kapabilitas dan kapasitas untuk memenangkan kategori Best Pictures. Kita lihat nanti, apakah Parasite bisa menang dan mencatat sejarah, atau harus ikut ‘menyerah’ pada tradisi seperti yang sudah-sudah?