Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2019) — Membuka Luka Belum Pernah Selega Ini

Ben Aryandiaz Herawan
10 min readJan 5, 2020

--

Penafian — Artikel ini dibuat berdasarkan opini, selera dan preferensi pribadi. Setiap hal yang saya sebutkan disini hanya berdasarkan pendapat saya sendiri, dan mungkin akan dirasakan berbeda bagi setiap orang.

Rasanya sudah hampir lebih dari 40 menit ini, saya menatap layar monitor dengan kosong dan kebingungan.

Setelah kemarin saya memberikan ‘surat cinta’ kepada sutradara, author, scriptwriter, seluruh kru dan pemain film NKCTHI, sudah saatnya saya melakukan pekerjaan saya sebagai analis film amatiran; memberikan ulasan sambil membedah film NKCTHI ini walaupun masih bingung harus menulis apa.

Tidak, bukan karena saya masih emosional dengan film NKCTHI ini. Kemarin saya menonton film ini untuk kedua kalinya, emosi saya tidak ambyar seperti saat pertama kali menonton, walaupun tetap meneteskan banyak air mata . Saya merasa kebingungan, harus mulai darimana saya membahas film ini? Semua catatan, semua tulisan, dan semua pikiran yang saya kumpulkan selama menonton film malah menjadi bola pikiran yang kusut.

Mungkin sekarang saatnya saya melakukan apa yang dilakukan Angga Dwimas Sasongko pada penonton NKTCHI, melatuk emosi jiwa dengan mendengarkan lagu Rehat dari Kunto Aji:

“Serat-serat harapan, masih terjalin
Suaramu terdengar, masihlah nyaring dan bergema
Diruang-ruang hatimu~”

Menggolak Emosi, Mencerdaskan Penonton

Satu hari sejak penayangan reguler, dari apa yang saya lihat NKCTHI langsung mendapatkan respon positif dari banyak penontonnya. Banyak dari penonton yang bilang kalau film ini begitu emosional, berhasil membuat emosi bergejolak, tidak percaya kalau sebuah film dapat membuat mereka menangis sedemikian rupa. Persis seperti apa yang saya rasakan.

Gejolak emosi ini memang banyak dipengaruhi oleh plot cerita, desain karakter dan akting yang juara dari para pemainnya. Tapi ga cuman itu, Angga Dwimas Sasongko selaku sutradara melakukan hal cemerlang yang membuat hampir semua penonton secara tidak sadar membuka emosinya; dengan membuat overture film yang menghipnotis emosi penontonnya.

Ya, adegan kumpulan awan dan putih langit yang tenang adalah visual yang memanjakan mata. Adegan ini terasa dan terlihat sangat lembut, apalagi setelah muncul suara narasi dari Rachel Amanda yang tenang, yang efeknya semakin dirasakan ketika lagu Rehat dari Kunto Aji mulai berkumandang. Penonton kemudian secara tidak sadar mulai bernapas dengan pelan, mengosongkan pikiran dan membuka diri secara perlahan, siap untuk ‘disuapi’ 100% oleh setiap emosi yang nanti akan diberikan.

Lagu Rehat dari Kunto Aji yang diputar secara penuh ini kemudian disesuaikan dengan montage yang menjadi backstory untuk film, memberikan satu kesatuan adegan yang sangat kuat dan begitu emosional. Satu hal mengagumkan yang belum pernah saya lihat di film Indonesia sebelumnya!

Angga Dwimas Sasongko, dalam satu sesi wawancara bilang kalau NKCTHI ini adalah pekerjaan terbaiknya sebagai director selama 15 tahun. Disebutnya kalau film ini dibuat dengan melihat kembali kesalahan-kesalahan apa saja yang selama ini dia buat, apa yang kira-kira bisa dia tingkatkan dari segi cerita dan visual yang kemudian bisa diaplikasikan di dalam film ini. Sebuah proses menemukan kesempurnaan dari kesalahan.

Saya sebagai penikmat film yang terbiasa merendahkan film-film Indonesia, sangat berterima kasih dengan proses ini. Dengan begitu, saya bisa melihat film Indonesia dengan plot non-linear yang berkualitas tinggi, jauh dari kata membingungkan dan dapat mudah dimengerti oleh semua orang.

Saya selalu heran dengan film Indonesia karena saya merasa kalau kebanyakan plot cerita terlalu menyuapi penontonnya. Sutradara film mainstream seperti ini seakan tidak percaya dengan kecerdasaannya penontonnya, selalu saja menyuapi mereka dengan plot cerita yang detail dan linear, bahkan memberikannya dengan sangat eksplisit.

Hal ini jelas akan membuat penonton kebosanan.

Kemudian terciptalah stigma sendiri kalau film Indonesia memang punya aturan baku yang membosankan seperti ini, menganggap kalau masyarakat tidak akan mengerti, film tidak akan pernah laku di pasaran kalau cerita dibuat terlalu njlimet.

Tapi setelah menonton film NKCTHI ini, terbukti dengan jelas kalau penonton Indonesia memang sudah cerdas dalam membaca dan mengerti film, bahkan dengan plot cerita non-linear dengan banyak adegan flashback. Dari semua komentar yang saya baca, hampir tidak ada lho yang bilang kalau film ini membingungkan.

Tidak dipungkiri kalau membuat film dengan plot cerita yang tidak biasa — apalagi untuk masyarakat Indonesia — punya tantangan sendiri. Untungnya, Angga Dwimas Sasongko selaku sutradara melakukan pendekatan yang tepat agar cerita tetap mudah dimengerti dan tidak membosankan secara visual; kombinasi flashback dengan match cut yang sempurna.

Setiap flashback dilakukan dengan timing, komposisi, dan adegan yang diukur dengan presisi agar terlihat seamless, menipu pikiran hingga kita tidak menyadari kalau adegan sudah berganti. Dengan melakukan pendekatan visual seperti ini, jelas alur cerita dapat diceritakan dengan mulus. Semua penonton akan mengerti kalau flashback berarti sebuah trauma yang terjadi di masa lalu, yang berkaitan secara langsung dengan kejadian di masa sekarang.

Praktis, indah secara visual, namun tetap efektif dalam memberikan transisi cerita pada penontonnya. Apalagi jika kemudian digabungkan dengan plot cerita yang bikin ‘kesal’.

Tahan, Tahan, Tahan Emosinya

Seperti yang sudah saya bahas di tulisan saya sebelumnya, NKCTHI adalah film yang berhasil mendobrak stigma film keluarga yang membosankan. Mereka berhasil menunjukan masalah yang pasti dimiliki sebuah keluarga, baik kecil maupun besar: favoritisme, ketimpangan emosi dan komunikasi, serta ilusi keluarga sempurna.

“Udah, ga usah berantem. Ga enak diliat tetangga”
“Tuh lihat anak tetangga, sering bantuin ibunya bersih-bersih rumah”
“Kamu makan yang lain aja, kue-nya khusus buat kakak”
“Udah turutin aja, si papah emang keras kan orangnya”

Film-film keluarga Indonesia kebanyakan selalu fokus pada masalah-masalah yang terkesan ekstrim, seperti misalnya tiba-tiba mendadak miskin dan harus bertahan hidup demi anak-anaknya. Hal ini ga jelek untuk dijadikan plot cerita, tapi menjadi kurang berhubungan dengan penonton karena tidak semua orang bisa merasakan koneksi personal yang sama.

Sedangkan NKCTHI berhasil membawa isu ini dengan sempurna, ‘Addressing the elephant in the room’ dalam istilah bahasa Inggrisnya. Semua pernah merasa tersingkirkan oleh keluarga sendiri. Semua pernah merasa muak berada dirumah, semua pernah merasa dipilih-kasih, semua merasa pernah ‘dipaksa’ untuk menahan emosi agar terlihat seperti keluarga yang sempurna dan bebas dari konflik.

Ini, adalah konflik primer sebuah keluarga.

Inilah yang menyebabkan kenapa film NKCTHI berbeda dengan film-film keluarga Indonesia lain, karena mereka berhasil memperlihatkan konflik primer ini dengan sangat telanjang, membuat kita sebagai penonton sadar kalau ternyata kita tidak sendiri, kalau ternyata hampir semua orang merasakan kelelahan emosi yang sama.

Dan tidak cukup sampai situ, disisipkanlah konflik sekunder dalam plot cerita yang sifatnya lebih ekstrim, dan dibalut didalam konflik primer; kematian anggota keluarga yang disembunyikan. Sebuah resep sempurna untuk menciptakan bom waktu, menyatukan seluruh elemen favoritisme, ketimpangan emosi dan kebohongan demi keluarga sempurna dalam satu tempat.

Plot cerita yang kompleks ini memang sudah sangat matang, tapi tidak akan berdampak signifikan jika diceritakan dengan teknik storytelling yang salah. Pesan emosi yang ditargetkan pada penonton akan meleset jauh, yang jelas akan membuat semuanya sia-sia bukan?

Untuk itu, Angga Dwimas Sasongko dan Jenny Jusuf sebagai penulis skenario membuat siklus emosi yang terbentuk dari kolaborasi dualitas konflik yang sudah dijelaskan di atas:

Dari yang saya lihat, siklus emosi ini terus diulang-ulang sepanjang film, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hampir semua adegan dimulai dengan sebuah emosi yang bahagia, seperti misalnya Awan yang mendapatkan pekerjaan maket oleh idolanya, Angkasa yang makan malam bersama Lika, atau Aurora yang sedang sibuk mengerjakan proyek seninya.

Setelahnya kemudian datanglah satu masalah yang fokus utamanya berasal dari keluarga, bisa jadi rasa muak atas perintah ayah seperti yang dilakukan Awan, atau kewajiban Angkasa sebagai kakak yang harus mengorbankan momen asmaranya bersama Lika. Sekali menyadari tentang siklus emosi ini, kita akan menyadari kalau sepanjang film siklus ini selalu diulang dan diulang untuk mendulang emosi pada penontonnya.

Membosankan? Jelas tidak.

Untuk mencegah siklus emosi terasa membosankan pada penontonnya, Angga Dwimas Sasongko dan Jenny Jusuf selaku penulis skenario selalu menahan intensitas emosi sampai titik paling ujung, dan mematahkannya sebelum klimaks dengan cara membuat buyar fokus emosi penonton.

Serius deh, saya selalu merasa fokus emosi penonton selalu dibuat buyar dengan cara yang apik. Ketika Angkasa dan Lika sedang ada masalah, kita bisa melihat Awan dan Kale sedang pacaran dan bahagia. Ketika Awan dipecat dari pekerjaannya, kita melihat Angkasa dan Lika sedang makan malam romantis. Dan favorit saya, ketika kita melihat Angkasa kecil bertengkar dengan ayahnya, kita melihat momen Awan yang memompa sepeda dan bertemu Angkasa dengan senyum lucunya.

Jadi apa yang sebenarnya kita rasakan? Sedihkah? Bahagiakah? Membingungkan bukan?

Dengan kata lain, semua adegan dibuat dengan meniadakan klimaks emosi sebelum waktunya, semua dialihkan ke emosi bahagia yang lain sehingga emosi akan terakumulasi dan mengendap dengan sempurna sampai waktunya konflik mencapai klimaks; (1) Ketika Aurora mengatakan kalau dia sudah lama kehilangan keluarganya, (2) Ketika akhirnya semua mengetahui kalau mereka punya adik yang meninggal

Tapi untuk sampai ke titik itu, dibutuhkan fondasi yang kuat dalam elemen cerita; sebuah desain karakter yang kokoh, lengkap dengan sifat yang menonjol dapat memberikan kesan yang kuat.

Masuklah Aurora, salah satu kunci sukses dari NKCTHI.

Implisit, Simbolik, Dan Tak Kasat Mata

Aurora, adalah seorang wanita yang kebetulan menjadi anak tengah dari keluarga yang terlihat ‘sempurna’. Sedari awal kemunculannya, kita sudah melihat kalau ada sesuatu yang salah dari Aurora. Aurora hampir selalu tampil dengan wajah yang datar, senyum yang dipaksakan, gerak tubuh yang lambat dan tidak mengeluarkan narasi yang panjang. Diperankan dengan sempurna oleh aktris Sheila Dara, Aurora berhasil menjelma menjadi sebuah karakter yang dingin, terasa bisu dengan emosi dan selalu menciptakan jarak dengan anggota keluarga lainnya.

Aurora, adalah lem dari semua benang konflik yang ada.

Ironisnya, kehadirannya yang begitu penting justru mengharuskan dia untuk selalu tersingkirkan agar bisa menjadi pelatuk emosi saat klimaks nanti. Nah, bagaimana caranya agar penonton bisa melihat kalau Aurora adalah karakter yang terlupakan, tersingkirkan dan tidak mau mengungkapkan emosinya? Karena sejatinya emosi itu adalah sebuah rasa yang hanya bisa dirasakan dan tidak bisa dilihat bukan?

Angga Dwimas Sasongko, memvisualisasikannya dengan tepat dan sempurna; menggunakan momen implisit, simbolik, dan tak kasat mata.

Pertama, sutradara selalu membatasi screentime dari Aurora ketika muncul di layar sebelum klimaks tiba. Aurora sering terlihat di layar, tapi hampir selalu kurang dari 20 detik. Dalam waktu 20 detik kita selalu diperlihatkan bagaimana Aurora menahan emosinya, bagaimana dia membuat jarak dan lari dari anggota keluarga lain lengkap dengan ekspresi yang dipaksakan pada lawan bicaranya.

Kedua, jika ada adegan ensemble antara semua keluarga, Aurora selalu ditempatkan menjadi fokus atau titik tengah dari frame, namun selalu terlihat out-of-focus. Jika ada adegan close-up pada saat ensemble, screentime Aurora selalu dibuat lebih singkat dibandingkan dengan yang lain.

Ketiga, studio milik Aurora adalah simbol dari emosi dan perasaan yang dimilikinya selama ini. Studio kecil miliknya bukan hanya tempat dia mengerjakan karyanya, tapi juga tempat dia mengurung diri, memisahkan jarak dengan anggota keluarga lain dan mencegah orang lain melihat emosi yang dia rasakan.

Keempat, seni kontemporer yang digeluti oleh Aurora adalah eskpresi yang selalu ingin dia keluarkan selama ini. Kompleks, rumit, dan tidak ada yang mengerti nilai sepenuhnya kecuali dirinya sendiri. Dan disaat Aurora memutuskan untuk sedikit membuka dirinya dalam bentuk pameran, seluruh keluarga malah mengacaukannya. Jelas Aurora langsung meledak dengan caranya sendiri, mematikan emosi dalam diri yang disimbolkan dengan lighting pameran yang mati secara bertahap.

Ya, lighting adalah representasi dari emosi Aurora.
Seni, adalah sarana ekspresi Aurora.
Studio seni, adalah ‘rumah emosi’ bagi Aurora.

Aurora, adalah pelatuk emosi utama dari film NKCTHI ini. Dialah yang memulai, dia yang mengawal, dan dialah yang mendorong dan mengakhiri bom konflik tanpa kita sadari. Sebuah desain karakter yang kuat dan indah, yang saya sangat tidak menyangka bakal saya temui dari film keluarga Indonesia yang selalu saya pandang rendah selama ini.

Dan dengan menggunakan pendekatan visual yang tepat oleh Angga Dwimas Sasongko, Aurora berhasil menjelma menjadi sosok yang dapat menghubungkan diri dengan hampir semua penontonnya, merangsak masuk ke dalam hati dan membuka luka emosi yang selama ini dipendam dan tertidur pulas.

Benar-benar elegan.

Film NKCTHI ini memang penuh dengan banyak adegan ciamik dan kuat secara visual dan emosional. Film score yang dijahit dengan sempurna dan nyaris tanpa henti dijadikan sebagai pelatuk emosi, mencoba masuk kedalam hati dalam setiap adegan untuk meningkatkan emosi yang sedang kita rasakan. Salah satu favorit saya jelas ketika lagu Secukupnya oleh Hindia diputar secara penuh, menggunakan montage super kece untuk menggambarkan kesedihan yang hakiki dari satu keluarga yang terombang-ambing setelah bom konflik mereka meledak.

Momen klimaks primer juga diperlihatkan dengan sempurna di dalam film ini, momen dimana Aurora akhirnya bisa berkata jujur kepada Angkasa dan Awan tanpa sekat. Momen dan setingnya sangat sempurna, bermandikan matahari sore tiga orang kakak-beradik ini saling jujur satu sama lain tentang apa yang mereka rasakan selama ini.

Sebuah momen yang membuat saya iri setengah mati,
“Kapan saya bisa sejujur itu pada keluarga sendiri?”

Saya, hanyalah seorang pengulas film amatiran yang selalu ingin belajar tentang bahasa film. Saya ingin tahu bagaimana bahasa sebuah film bisa menyampaikan nilai dan pesannya pada semua penonton, baik itu secara visual maupun dalam plot cerita.

Saya mendapatkan dua pelajaran sekaligus dari film NKCTHI ini. Saya sadar untuk bisa merasa bahagia seutuhnya, saya harus melepas beban emosi yang saya pendam selama ini. Akan terasa sangat sakit memang, tapi itulah satu-satunya cara untuk membuat diri kita bebas dari penjara emosi yang selama ini kita buat sendiri.

Angga Dwimas Sasongko melalui film NKCTHI ini juga memberikan saya sebuah pelajaran berharga, yaitu jangan takut untuk belajar dari kesalahan dan mulai berani melangkah, berani bereksperimen melakukan sesuatu yang baru dan berani menunjukannya pada orang lain.

Mungkin NKCTHI adalah sebuah tanda bagi saya untuk bangkit dan mulai membahagikan diri sendiri. Mulai memperjuangkan mimpi dengan sepenuh hati, mulai menyadari kalau self-love dan selfish itu beda tipis, dan hanya kita yang tahu dimana garis tersebut harus kita batasi. Tidak usah takut gagal, karena sejatinya hal tersebut justru akan mendewasakan diri.

Saya merasa lega, sangat merasa lega setelah menonton film NKCTHI ini. Jiwa saya seakan terasa segar, saya juga bersyukur karena mendapatkan satu kekuatan baru untuk lebih percaya pada diri sendiri, untuk mencapai mimpi yang saya pegang selama ini.

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet