Moonrise Over Egypt (2018) : Drama Realis Nan Optimistis

Ben Aryandiaz Herawan
6 min readJan 9, 2019

--

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. 3 baris kalimat yang diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam teks proklamasi kemudian menjadi tonggak baru Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan akan terus diingat sebagai hari yang bersejarah sampai kapanpun juga.

Tapi setelah teks proklamasi dikumandangkan, lantas apa setelahnya?

Kebanyakan dari kita tidak tahu kalau mendeklarasikan kemerdekaan saja tidaklah cukup untuk menjadi negara berdaulat. Sebagai negara baru, kita harus mendapatkan pengakuan dari negara-negara lain, melakukan lobi dengan kedutaan besar negara tetangga agar mau mengakui kalau Indonesia adalah negara yang berdaulat dan merdeka sendiri.

Cerita Moonrise Over Egypt adalah salah satu dari proses tersebut, sebuah perjuangan dari para pejuang pasca kemerdekaan yang mencari hitam di atas putih dengan negara tetangga. Film ini menceritakan tentang sejarah yang tidak pernah terdengar, terlupakan dan mungkin terpinggirkan.

Plot Intens & Sederhana

Moonrise Over Egypt mungkin satu dari sekian banyak film yang membuat saya terkejut, atau setidaknya melebihi ekspektasi awal sebelum saya menonton film. Saya kira film ini akan terasa membosankan, penuh dengan narasi yang kosong, dengan elemen sejarah yang ecek-ecek dan ga niat. Maafkan jika saya bersikap sepert ini, tapi memang saya mulai menonton dengan rasa pesimis kalau mau menonton drama politik dari Indonesia.

Tapi ternyata, Moonrise Over Egypt berhasil membuat saya mengangguk dan bertepuk tangan setelah credit scene bergulir. Film ini adalah film drama politik yang murni, tidak terasa dibuat-buat dan memang berdasarkan kisah dan tokoh asli yang terekam dalam sejarah bangsa Indonesia.

Plot cerita dimulai dengan pertemuan para pejuang kemerdekaan yang baru sampai di Mesir. Disana, mereka berjuang dengan cara melobi pemerintahan Mesir untuk mau menjadi negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Semuanya berjalan mulus, tapi konflik tiba-tiba datang dan membuat film berubah warna, memaksa penonton untuk menyelami cerita lebih dalam dan lebih intens.

Alur ceritanya memang linear, mulai dari ekposisi, set-back dan klimaks begitu terkotak dan terasa dengan sangat jelas, bahkan sedari 10 menit awal film dimulai. Garis besar cerita juga bisa ditebak dengan mudah, mulai dari apa yang dilakukan oleh sang antagonis, bagaimana sang protagonis bereaksi, dan bagaimana plot cerita akan berakhir. Pacing cerita pun terasa lambat, walaupun pada akhirnya tertolong dengan plot twist yang membuat cerita mencapai klimaks dengan mantap.

Ya, pacing memang dibuat lambat tapi pasti agar klimaks cerita dapat tercapai dengan sempurna. Selain itu, pacing yang lambat juga akan menambah intensitas cerita, apalagi jika digabungkan dengan penggambaran karakter yang berkualitas, menjiwai dan ga setengah-setengah dari para aktor dan aktris yang berperan.

Hampir semua karakter diperankan dengan totalitas, mulai dari Pritt Timothy sebagai Haji Agus Salim hingga Mark Sungkar yang berperan sebagai Nokrashy, seorang pejabat muslim yang punya kewenangan untuk mengakui kedaulatan negara Indonesia. Saya menaruh perhatian lebih Vikri Rahmat sebagai A.R Baswedan yang mampu berakting dengan berapi-api tanpa terlihat kaku, begitu juga dengan Jason Dixon yang berperan sebagai Azzam Pasha yang terlihat begitu natural.

Saya kagum dengan totalitas dan akting mereka, dimana pada awalnya terlihat biasa saja tapi lama kelamaan kita bisa melihat kalau mereka benar-benar berperan dengan serius. Ibarat permen, lama kelamaan akting mereka akan terasa manis semakin mendekati akhir film. Para aktor dan aktris ini mampu memupuk dan membangun sebuah rasa pada penontonnya, dengan cara menampilkan ekspresi yang natural yang digabungan dengan narasi yang keren. Beneran deh, saya tidak menyangka akan menemukan akting yang berkualitas di film ini.

Detail-Detail Yang Super Juara

Satu hal yangmembuat saya terkagum-kagum dengan film ini adalah detailnya yang super-duper juara. Riset yang dilakukan buat film Moonrise Over Egypt ini kayanya beneran serius banget, mendalam, penuh dengan dedikasi dan sangat memperhatikan setiap detailnya.

Dari penampilan luar, latar seting dan properti yang digunakan benar-benar jadul dan nyaris tanpa cela. Semuanya diperlihatkan sesuai dengan jamannya. Penampilan karakter disesuaikan dengan tren di tahun itu, mulai dari kostum karakter hingga penampilan wajah dan make-up secara keseluruhan. Penampilan para aktor dan aktrisnya benar-benar terlihat seperti orang Indonesia jadul, dengan kulit sedikit kehitaman dan pakaian yang sederhana tanpa warna yang mencolok.

Tapi bukan cuman itu lho, detail-detail kecil seperti bentuk pintu, kusen jendela, pot keramik, gaya rambut, baju kaos hingga jenis kertas pun benar-benar disesuaikan pada tahun itu. Saya sampai meneliti dan mencari elemen mana yang sekiranya terlalu maju pada zamannya, dan hingga akhir film saya menyerah karena tidak menemukan satu pun celah dalam urusan detail.

Dan ga cuman itu, detail yang juara juga diperlihatkan dalam hal-hal yang tidak terlihat dan mungkin tidak diperhatikan oleh penonton. Seperti misalnya, tata bahasa, panggilan dan istilah yang digunakan, hingga logat yang dimiliki oleh setiap karakter. Semuanya sempurna, totalitas dan benar-benar sesuai dengan zamannya, dan hampir tanpa cela.

Hampir.

Saya melihat ada beberapa kekurangan dari film ini, tapi bukan dalam hal detail seperti yang saya sebutkan di atas. Salah satu contohnya adalah efek CGI yang terlihat dengan jelas hingga efek suara dan theme scoring yang kadang masih terasa seperti menonton sinetron. Tapi yang paling membuat saya gatal dan menggangu adalah editing yang sangat kasar, membuat cerita benar-benar terkotak-kotak sehingga cerita tidak berjalan mengalir secara alami.

Saya bahkan sampai menghitung berapa detik adegan dimulai, mulai dari fade in hingga fade out. Pola adegannya pun serupa : karakter masuk, menampilkan satu buah narasi, adegan di potong dengan fade out, fade in dan masuk adegan baru lagi. Hal ini terus menerus diulang, dan sangat terasa saat awal hingga pertengahan bahkan sampai seperempat akhir film. Ada sih beberapa adegan yang tersambung dengan suara atau narasi, tapi tetap saja secara keseluruhan semuanya masih terasa kasar.

Tapi untungnya, semua tertolong dengan teknik pengambilan gambar yang apik dan mampu menangkap ekspresi karakter dengan optimal. Angle yang di ambil tidak membuat mata lelah, tidak monoton dan dapat membuat penonton merasakan emosi yang diperlihatkan oleh para karakter. Intensitas plot cerita pun tetap konsisten salah satunya berkat pengambilan gambar yang baik ini.

Film Moonrise Over Egpyt menurut saya pribadi berhasil mencapai tujuan yang diinginkan; yaitu menceritakan sebuah perjuangan pasca kemerdekaan Indonesia yang terlewat dan terlupakan oleh kita. Film ini juga sukses membuat penontonnya semakin nasionalis, semakin optimistis dengan kondisi negara kita yang sedang kacau melalui drama sejarah yang dibuat dengan apik. Saya sih merasa demikian, walaupun hanya terasa sedikit namun tetap berarti.

Di beberapa adegan, sang sutradara juga menyelipkan beberapa selipan informasi, seperti misalnya kutipan dari buku ‘Animal Farm’ karangan George Orwell hingga prosedur politik dalam mendapatkan pengakuan kemerdekaan. Banyak juga informasi pengetahuan lainnya yang tersebar sepanjang film, terutama tentang istilah, tata bahasa, hingga kebiasaan yang dilakukan pada jaman kemerdekaan.

Mungkin ga semua orang akan suka dengan film ini, melihat drama penuh dengan narasi yang serius tentu akan membosankan. Tapi bagi mereka yang senang dengan cerita sejarah, senang dengan nilai dan substansi dari sebuah film, saya merekomendasikan untuk menonton Moonrise Over Egpyt. Percayalah, saya yang awalnya pesimis pun pulang dengan perasaan optimis, karena tidak menyangka dengan kualitas yang diberikan oleh film ini.

Salut buat semua orang yang terlibat dalam pembuatan film ini!

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet