Mendobrak Bahasa Film Indonesia Bersama Edwin dan Kamila Andini
“Industri perfilman terpukul pandemi corona (Covid-19) di tahun lalu. Jumlah penonton bioskop terus menyusut dan kini penayangan film lebih banyak melalui streaming atau platform on demand. Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mengungkapkan, dari 407 gedung bioskop yang tersebar di seluruh Indonesia, kini hanya 55% yang beroperasi”
Kutipan berita di atas sedikit banyak menggambarkan bagaimana industri film Indonesia begitu terpukul dengan pandemi yang entah kapan usai. Baik dari produsen maupun penikmatnya, pandemi seakan meredam dan menyumpal gairah untuk datang ke bioskop demi keselamatan kita bersama.
Satu hal yang paling menakutkan buat saya adalah gagal tayangnya banyak film-film Indonesia yang sudah dipromosikan sebelumnya, baik yang mengarah pada masyakarat umum atau pasar niche. Karena jujur saja, menurut saya pribadi baik dari segi kualitas maupun animo masyarakat terhadap film Indonesia sedang meningkat dengan baik.
Baru saja tumbuh, harus dipatahkan dengan pandemi.
Tapi siapa sangka kalau momen jatuh seperti ini justru melahirkan dua film Indonesia terbaik yang berhasil menciptakan kelasnya sendiri? Ya, saya berbicara tentang film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan film Yuni, yang masing-masing punya nilai yang begitu spesial di benak penontonnya.
Dan kemarin, saya berkesempatan untuk menghadiri sebuah diskusi singkat bersama Edwin (sutradara Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas) dan Kamila Andini (sutradara Yuni) dimana mereka membahas beberapa hal yang menurut saya cukup krusial untuk kita bedah.
Mari kita mulai, dengan membahas apa yang membuat Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Yuni terasa begitu spesial.
Momentum Segar, Mendobrak Mata & Telinga
Buat kamu yang sudah menonton baik Yuni maupun Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, pasti akan merasa setuju jika dua film ini jauh dari kata film Indonesia yang biasa saja. Bahkan untuk orang awam yang tidak mengerti dengan teknik sinematografi atau produksi film sekalipun dapat melihat dan merasakannya dengan mudah; dua film ini dibuat dengan totalitas tinggi.
Saya pun merasakan hal yang sama, dan kebetulan mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan alasannya secara langsung dari kedua sutradara dari film tersebut. Apa yang membuat film-film ini begitu spesial sebenarnya cuman satu kata: Eksplorasi
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar tuntas adalah buah dari banyak eksplorasi yang dilakukan oleh sang sutradara Edwin berserta tim di dalamnya dalam menciptakan sebuah fiksi berkualitas tinggi, dengan menggunakan formula film baru yang menurut saya belum pernah dicoba sebelumnya. Hasilnya? Sebuah film dengan world building, plot cerita, dan desain karakter fiksi yang terasa natural dan sempurna.
Sedangkan Yuni, berhasil membuat sebuah dunia dalam cerita yang sangat nyata berkat totalitas eksplorasi yang dilakukan oleh sang sutradara, Kamila Andini. Layaknya Edwin, menurut saya pribadi dia berhasil membuat sebuah racikan baru formula film Indonesia.
Jika saya boleh menyimpulkan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Yuni adalah dua film dalam satu koin yang sama, dimana mereka sama-sama berhasil mendobrak tradisi, formula dan bahasa film Indonesia yang selama ini dipakai. Saya pribadi bahkan menganggap bahwa dua film ini seakan-akan berhasil membuat garis pembeda antara film festival dengan film komersil semakin tipis.
Sebuah hal yang berani, mengingatkan saya pada sebuah kutipan dari film Moneyball (2011) yang juga memiliki tema mendobrak sebuah kebiasaan dan tradisi lama:
“This is threatening not just a way of doing business, but in their minds, it’s threatening the game. Really what it’s threatening is their livelihood, their jobs.
It’s threatening the way they do things, and every time that happens, whether it’s the government, a way of doing business, whatever, the people who are holding the reins — they have their hands on the switch —
They go batshit crazy”
Entahlah, saya pribadi merasa bahwa dua film ini mungkin adalah gerbang baru bagi film Indonesia untuk mulai mencoba racikan dan formula cerita yang belum pernah kita coba sebelumnya. Dua film ini adalah momentum yang harus kita (seluruh elemen dari ekosistem film Indonesia) gunakan untuk mencoba sesuatu yang baru, dengan harapan dapat memberikan sesuatu yang baik yang belum pernah kita rasakan sebelumnya.
Perubahan itu jelas menakutkan, apalagi untuk mereka yang sudah merasa nyaman. Tapi jika kita ingin mendapatkan hasil yang signifikan dan berbeda dari biasanya, tentu tidak ada cara lain selain mencobanya, bukan?
Edwin dengan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Kamila Andini dengan Yuni bahkan sudah membuktikannya. Dan kemarin, kita bahkan diberi tahu apa formula rahasianya.
Saatnya Menjelajah Bahasa Sinema Baru
Untuk mampu mendobrak, mencoba dan mendapatkan sesuatu yang baru, kita harus melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Edwin dan Kamila Andini berhasil meracik formula baru melalui film terbaru mereka berkat kombinasi idealisme yang mereka miliki dengan eksplorasi tidak biasa yang mereka lakukan.
Pada dasarnya, mereka melakukan tiga jenis eksplorasi ketika membuat filmnya: Eksplorasi Perspektif, Eksplorasi Bentuk, dan Eksplorasi Bahasa.
Soal eksplorasi perspektif, Kamila Andini memberikan sebuah perspektif yang sebenarnya sederhana, tapi berhasil membuat saya termenung cukup lama:
“Saya ingin Yuni memberikan sebuah perspektif wanita remaja yang sangat nyata dan transparan. Bukan kehidupan gadis remaja dari kacamata orang luar, tapi benar-benar dari perspektif Yuni sendiri, tanpa sekat”
Inilah yang membuat Yuni begitu spesial, dan begitu emosional di mata penontonnya. Karena perspektif yang diambil benar-benar fokus, tepat dan terasa nyata, yang juga didukung dengan setiap pendekatan dan keputusan kreatif yang diambil oleh Kamila Andini. Dia mengeksplorasi perspektif yang diambil ini dengan amat sangat totalitas, sehingga detail-detail super kecil dari desain karakter dan plot cerita dapat terasa menusuk pada penontonnya.
Kamila Andini menambahkan, cobalah untuk membuat karakter diluar dari formula yang selama ini dipakai. Jika selama ini karakter dibuat dengan motivasi yang jelas, cobalah dengan membuatnya tidak jelas. Jadikan penonton sebagai subjek yang mengisi sendiri kekosongan tersebut, sehingga ada banyak ruang untuk interpretasi dan kemungkinan-kemungkinan pada ceritanya.
Dan jangan pernah membuat karakter agar disukai oleh semua penonton.
Menurut saya, justru disitulah esensi dari sebuah karakter yang menarik. Karakter yang tidak komplit, karakter yang kebingungan, karakter yang punya banyak kekurangan inilah yang justru menjadi daya tariknya. Ketidaksempurnaan inilah yang membuat penonton mampu terkoneksi dengan kuat pada karakter dalam film.
Tapi tentu saja, eksplorasi perspektif ini harus disesuaikan dengan eksplorasi bentuk dari film yang sedang dibuat. Seperti yang dilakukan oleh sutradara Edwin pada karakter-karakter yang ada di film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Ketika saya menonton, saya terus bertanya di dalam hati apa yang membuat film ini terasa begitu spesial. Saya tahu kalau film ini punya worldbuilding dan detail yang sangat luar biasa, saya sendiri bahkan sudah menulisnya dalam ulasan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Tapi tetap saja, ada pertanyaan yang mengganjal yang belum saya temukan jawabannya.
Dan kemarin, akhirnya saya mendapatkan jawabannya langsung dari sang sutradara:
“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bukan mencoba untuk melakukan remake dari film-film tahun 80an. Film ini justru dibuat untuk mengeksplorasi bentuk dari nostalgia dan ingatan-ingatan kita”
Ternyata ini yang membuat film ini begitu menarik, dimana alih-alih mereka mencoba meniru dan membuat remake, tapi justru mengeksplorasi bentuk lain yang lebih baru, lebih segar, yang ternyata lebih dapat dinikmati oleh penontonnya.
Eksplorasi bentuk ini dapat mengeluarkan dan memperlihatkan ragam macam budaya yang jarang dilihat atau bahkan dilupakan oleh waktu, seperti ritual atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan saat undangan pernikahan di tahun 80an, persis seperti yang diperlihatkan pada adegan pernikahan Ajo Kawir dan Iteung.
Mungkin inilah salah satu cara yang yang paling efektif untuk memberikan sesuatu yang baru pada penontonnya, dengan mengeksplorasi ragam macam bentuk yang dapat memberikan ide-ide baru nan segar walaupun sumbernya dari masa lalu. Eksplorasi bentuk dan ruang bisa dilakukan untuk menembus batas waktu, asalkan dilakukan penuh dengan totalitas.
Semakin banyak eksplorasi bentuk yang dilakukan, saya pribadi percaya bahwa akan ada semakin banyak keputusan-keputusan kreatif yang bisa diambil. Semakin banyak keputusan kreatif, mungkin akan semakin mudah juga bagi film maker untuk menciptakan sebuah formula baru yang memberikan perspektif segar untuk penontonnya.
Apalagi, jika film maker juga turut mengeksplorasi total narasi dan bahasa dalam sebuah film, seperti yang dilakukan oleh Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Yuni.
Tidak bisa dipungkiri, narasi dan bahasa adalah salah satu faktor yang membuat dua film ini terasa begitu spesial. Edwin tidak hanya berhasil mengeksplorasi dari bahasa dan narasi dari sinema tahun 80an, tapi juga berhasil mengemasnya menjadi sebuah bentuk baru yang memberikan perspektif segar dan belum pernah dirasakan penonton sebelumnya.
Sedangkan Yuni, berhasil mengeksplorasi bahasa sehingga dunia dalam film terasa begitu nyata. Melalui bahasa dan narasi, penonton diperlihatkan konflik-konflik yang sebenarnya terjadi dengan sangat mentah dan membuat koneksi yang sangat dalam pada penontonnya.
Dengan proses eksplorasi perspektif, bentuk, dan bahasa yang dilakukannya, Edwin dan Kamila Andini bebas dan lepas tidak terkekang, mencoba mendobrak bahasa dan formula film konvensional yang selama ini dipegang teguh oleh para film maker di hampir seluruh dunia. Mereka menawarkan bahasa sinema yang baru dan segar, sesuai dengan tema diskusi kemarin:
Freedom Abis, Bajingan!
Sebagai seorang calon scriptwriter dan sutradara masa depan (amin!) yang sekarang sedang belajar berkarya sambil menitip karir, saya benar-benar berharap akan ada lebih banyak forum diskusi langsung bersama sutradara seperti kemarin. Karena jujur, saya menyerap banyak sekali pengetahuan dan ide-ide yang saya tangkap dari pengalaman Edwin dan Kamila Andini sebagai sutradara yang telah sukses membuat banyak film.
Saya pribadi percaya, bahwa salah satu cara yang bisa kita pakai untuk memajukan film Indonesia adalah dengan melakukan apa yang Edwin dan Kamila Andini lakukan: mencoba lepas, bebas dari formula lama dan mulai meracik formula baru yang lebih segar.
Mungkin, inilah yang harus kita lakukan untuk menciptakan Indonesian New Wave dan membuat penonton semakin berminat untuk menonton film Indonesia!