Memang Kenapa Kalau Orang Awam Bikin Review Film?
“You’re slow for someone in the fast lane”
“And you’re.. thin for someone who likes food”“I don’t ‘LIKE’ food; I ‘LOVE’ it. If I don’t love it, I don’t swallow” — Anton Ego
Sepenggal kalimat dari Anton Ego, seorang kritikus makanan yang ada di film Rattatouille ini sedikit banyak cukup mewakili apa yang saya pikirkan tentang para kritikus; mereka adalah orang yang punya ego yang tinggi, punya pendirian yang kuat dan selalu menganggap dirinya benar. Saya pribadi selalu melihat seorang kritikus adalah antagonis yang berperan dalam sebuah industri, mereka adalah para elitist yang tahu seluk beluk satu industri, baik secara negatif maupun positif.
Di dunia film, ada pandangan semu bahwa hanya kritikus film yang boleh menilai, menghakimi, dan membuat ulasan atau review suatu film. Mereka menganggap bahwa membuat ulasan film itu sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan, harus on-point dan harus punya ‘nilai’ tinggi yang dipaparkan. Dengan kata lain, kalau kita ga punya pengetahuan yang tinggi tentang dunia film, ga usah deh bikin film!
Wah, memang kenapa sih kalau orang awam bikin ulasan film?
Menimbang Esensi Sebuah Ulasan
Beneran deh, saya mungkin satu dari sekian banyak orang yang punya pertanyaan yang sama, yang pernah disudutkan oleh kritikus film tentang ulasan saya yang dinilai ‘kurang referensi’ dan ‘tidak berbobot’. Saya sebenarnya tidak terlalu peduli apa kata kritikus, lha wong saya cuman mau nulis pendapat dan opini saya tentang film tersebut. Masa iya harus menyesuaikan sama maunya situ?
Ulasan pada esensinya adalah sebuah argumen, yang memperlihatkan pandangan perspektif dari seorang penonton tentang film yang dia tonton. Dalam sebuah ulasan, tidak jarang penulis ulasan menggunakan sifat persuasif dan interaktif pada pembacanya, mencoba meyakinkan mereka tentang nilai-nilai yang mereka yakini. Singkatnya, sebuah ulasan bersifat seperti ini :
“Ini film A, saya suka film A karena alasan X, Y dan Z”
Ulasan paling sederhana biasanya berbentuk demikian, dimana si penonton mencoba mendeskripsikan apa yang mereka sukai dari sebuah film. Dengan kata lain, mereka memberikan perspektif yang menarik dari sebuah film menurut mereka sendiri kepada pembaca yang melihat tulisan.
Nah, semakin penonton tersebut punya pengetahuan yang lebih tentang dunia film, semakin mereka mampu mendeskripsikan yang mereka pikirkan dengan lebih luas dan dalam. Ulasan yang mereka buat biasanya lebih panjang, lebih luas, lebih fokus atau lebih spesifik :
“Ini film A, saya suka film A karena X, tapi setelah dilihat ternyata ada Y dan Z, yang jika dikomparasi dengan film V, ada kemiripan teknik dan sinematografi yang terinspirasi dari film J”
Dari sini kita bisa melihat perbedaan yang signifikan, mulai dari komentar spesifik, proses teknikal film hingga penggunaan istilah yang jarang diketahui oleh orang awam. Dan secara kasat mata, kita tahu kalau ulasan yang ini lebih lengkap dan lebih 'berat' dibandingkan ulasan pertama.
Semakin berat dan semakin lengkap informasi yang disampaikan, maka semakin pantas ulasan tersebut disebut dengan sebuah kritik. Ulasan berbentuk kritik harus punya dasar argumen yang kuat, mulai dari fakta yang akurat, teori yang jelas, atau sumber yang kredibel. Tidak jarang latar belakang dan reputasi penulis juga menjadi pertimbangan apakah kritik tersebut berkualitas atau tidak.
Jika kita membandingkan keduanya, poin yang diambil adalah less valid dan more valid. Semakin lengkap, semakin dalam atau semakin luas informasi yang dipaparkan, semakin besar nilai validitas ulasan yang dia punya dan semakin pantas pula ulasan tersebut disebut dengan kritik. Sedangkan bagi ulasan yang sederhana dan punya nilai validitas yang kecil, biasanya hanya dianggap sebagai opini semata, bukan sebagai kritik.
Kebanyakan dari kita salah disini; menganggap opini tidak valid sedangkan kritik valid. Padahal, keduanya adalah perspektif yang diambil film yang sama. Perbedaannya hanyalah bobot informasi, perspektif, dan target pembacanya. Jika ulasan yang singkat hanya ditargetkan pada pembaca yang sekedar lewat, maka ulasan yang berat ditargetkan pada pembaca yang antusias tentang film.
Disinilah saya bingung, kenapa banyak kritikus yang sering merendahkan penulis ulasan film yang ringan dan berbentuk opini. Menganggap mereka 'ga pantes' buat bikin ulasan film. Padahal targetnya udah jelas beda, bobot informasi udah beda, dan struktur penulisannya juga udah pasti beda bukan?
Sudahlah, stop jadi elitist yang selalu menganggap rendah orang yang tidak sepemikiran dengan situ. Jikalau memang kurang, rangkul lah kami para penulis amatir, ajarkan kami pengetahuan yang kalian miliki, biar dunia perfilman Indonesia semakin kritis dan semakin maju kedepannya.
Semakin banyak kolaborasi, tentu semakin baik bukan?
Yok Mulai Mengulas Film!
Persetan dengan para elitist yang bilang orang awam ga boleh bikin ulasan film. Saya mulai menulis 2 tahun lalu dengan mentalitas seperti ini, bukan untuk dianggap hebat oleh orang lain tapi karena ingin belajar lebih banyak tentang dunia film. Ya, setiap ulasan yang saya buat adalah bagian dari proses belajar, mulai dari menghafal istilah-istilah baru hingga menganalisis plot cerita dalam film.
Nah buat kamu yang mau nyoba mulai mengulas film secara amatiran seperti saya, ingat saja formula dibawah ini :
“Saya suka film A karena X,Y dan Z”
Rumus ini adalah rumus paling sederhana yang saya pakai dalam sebuah ulasan film. Saya biasanya menilai film dari 3 faktor (X, Y, dan Z) :
- Faktor X adalah plot cerita, dimana saya akan mencoba menganalisis bagaimana plot yang digunakan, tema storytelling, konsistensi plot, hingga bauran antara plot dengan karakter yang berperan di dalam film. Elemen-elemen plot dalam three-act-structure seperti eksposisi, aksi dan klimaks juga akan dibahas disini. Bisa dianalisis secara mendalam, bisa juga hanya sebatas mendeskripsikan apa yang kita lihat secara kasat mata.
- Faktor Y adalah teknik, dimana saya akan coba membahas bagaimana faktor teknikal yang dipakai oleh sutradara dan terlihat pada film. Disini biasanya saya membahas teknik kamera, sinematografi, gaya dari sutradara, seting tempat, background, dan sebagainya. Jika bingung mau membahas apa, kamu bisa mencoba mendeskripsikan hal-hal yang menarik mata saat menonton sebuah film.
- Faktor Z adalah value, atau nilai yang diberikan oleh suatu film. Bagi saya, setiap film punya pelajaran yang saya dapatkan untuk menambah pengetahuan. Disini biasanya saya membahas faktor apa saja yang saya dapatkan dari suatu film, bisa dari nilai-nilai motivasi dari karakter utama, aksi dan reaksi dari plot cerita, atau membahas satu adegan spesifik yang menurut saya menarik. Sederhananya, kamu bisa membahas apapun yang kamu dapat dari film tersebut, atau memberitahu pembaca tentang hal-hal menarik yang harus diperhatikan saat menonton film.
Tentu saja, faktor-faktor ini sangat fleksibel dan masih bisa dikembangkan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Kamu bisa membahas lebih lebar dan lebih luas, atau bisa membahas satu poin spesifik hingga titik paling kecil sekalipun. Yang paling penting dari sebuah ulasan adalah argumen yang kamu miliki, mengapa argumen tersebut penting buatmu dan mengapa orang lain harus peduli dengan argumen yang ditulis.
Dan menurut saya pribadi, seorang pengulas film yang baik adalah yang mampu memberikan argumennya secara pendek, padat dan efisien. Jika ada kekurangan, dia akan memberikan kritik dan saran apa saja yang sebenarnya bisa diperbaiki. Bukan hanya sekedar bash film dengan komentar negatif tanpa memberikan pesan konstruktif untuk membuat karya yang lebih baik kedepannya.
Tentu saja, idealisme semacam ini akan terasa sulit untuk dilaksanakan. Tapi ya namanya juga latihan, harus tetap dilakukan dan siap menerima segala saran dan kritik yang ada. Saya juga dulu seperti itu lho, memberanikan diri untuk terjun bersama WATCHMEN.ID agar bisa belajar lebih banyak tentang film dan dunia kritik didalamnya, walaupun tulisan dan tata bahasa masih kacau balau. Tujuan saya bukan buat disegani seperti Anton Ego di film Rattatouille, tapi untuk belajar dan latihan bagaimana cara menganalisis film dan menulis ulasan yang baik dan benar
Dan satu lagi, jangan takut untuk dibilang amatiran. Semenjak saya menonton film Extremely Lound and Incredibly Close, saya jatuh cinta dengan kata ‘amatir’ dan terus mengimaninya setiap kali saya menulis. Tahu darimana kata amatir berasal?
Amateur comes from late 18th century: from French, from Italian amatore, from Latin amator ‘lover,’ from amare ‘to love’
Amatir adalah seseorang yang mencintai suatu hal tanpa syarat. Mereka melakukan sesuatu atas dasar cinta, bukan karena ketenaran, bukan karena uang, bukan karena kekuatan. Sifat amatir ini juga akan membuat seseorang menyebarkan ‘cinta’ yang dia miliki, mengajak orang lain untuk merasakan cinta tersebut dengan cara bercerita dan mengajarkan cinta yang serupa.
Saya ingin menjadi seorang profesional dalam hal menganalisis dan mengulas sebuah film, namun tetap berjiwa amatir yang tidak memikirkan gengsi, tenar, dan uang. Saya sedang belajar menuju kesana, dan semoga kamu yang membaca juga pergi ke arah yang sama.
Yuk, sama-sama mulai latihan menganalisis dan mengulas film dengan baik dan benar!