Love for Sale 2 (2019) — Friksi Arini Yang Kembali Penuh Misteri

Ben Aryandiaz Herawan
12 min readOct 30, 2019

--

Kalau boleh jujur, saya adalah satu dari banyak pemuda selalu pesimis dengan film-film Indonesia. Contohnya, saya pribadi tidak punya ekpektasi yang tinggi saat menonton film Love for Sale yang pertama. Waktu itu bahkan saya menonton di sebuah studio sinema indie karena tidak tertarik untuk menonton di bioskop, menganggap film ini hanyalah drama romcom lain yang menjual kisah cinta-cintaan.

Drama Indonesia itu klise. Generik. Kebanyakan kaya FTV, romansanya cringe, plotnya mudah ketebak, artisnya gitu-gitu aja, ga ada esensi cerita yang bisa diambil selain cerita cinta yang semu dan hiperbola. Anggapan ini terus saya bawa dan saya yakini sepenuh hati, sampai akhirnya saya sadar betapa salahnya saya ketika melihat kisah Richard dan Arini.

Detik selesai menonton, Love for Sale langsung masuk menjadi salah satu film drama Indonesia terbaik buat saya. Ceritanya indah, emosinya benar-benar terasa, desain karakternya apik, plot ceritanya sederhana tapi ciamik. Semua elemen cerita saling bersinergi, membuat satu kesatuan cerita yang berkualitas langka. Saya mendapatkan satu rasa baru, satu emosi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya sekaligus membuat saya tersenyum haru, saya kontan bertepuk tangan setelah credit roll bergulir.

Dan sekarang, saya tidak mau salah langkah.
Saya ingin merasakan sensasi rasa dan emosi itu lagi dengan menjadi salah satu dari yang paling pertama menonton sekuel Love for Sale 2.

Lantas setelah menonton film sekuel ini, apakah saya kembali merasakan hal yang sama? Ya, 100% iya. Dan ga cuman itu, saya juga mendapatkan jauh lebih banyak melebihi ekspektasi yang sejak awal saya miliki.

Perkenalkan, Keluarga Sikumbang

Dari sekilas trailer Love for Sale 2, film kali ini jelas menghadirkan tema yang berbeda dari film yang pertama, persis seperti apa yang dibilang oleh Andibachtiar Yusuf dalam satu sesi tanya jawab di Bandung. Jika film pertama bertema romansa, kali ini sang sutradara mengusung keluarga sebagai tema utamanya. Tepatnya keluarga Sikumbang, sebuah keluarga berdarah Minang yang tinggal di daerah Jakarta. Keluarga ini punya 4 anggota, yaitu Mamah Rosmaida, Indra Tauhid Sikumbang alias Ican, Anandoyo Tauhid Sikumbang alias Ndoy, dan Yunus Tauhid Sikumbang alias Buncun. Semua karakter masing-masing punya cerita, yang saling berkaitan dan saling berkesinambungan satu sama lain.

Jika dilihat dari komposisi karakter, Love for Sale 2 jelas punya jumlah karakter yang berperan lebih banyak jika dibandingkan dengan film pertamanya. Saya pikir ini masuk akal, karena memang untuk menciptakan suatu cerita tentang keluarga dibutuhkan banyak variabel, banyak sifat, dan butuh banyak variasi karakter yang berperan didalamnya. Ensemble cast semacam ini memang kerap digunakan untuk memperluas dan memperdalam cerita, sekaligus membuat emosi yang diperlihatkan terasa nyata dan masuk kedalam hati penontonnya.

Dan sutradara Andibacthiar Yusuf berhasil mengusung tema keluarga ini dengan cantik, apik dan ciamik. Dia berhasil memperlihatkan cerita satu keluarga secara natural dan penuh konflik, tanpa terasa cringe sama sekali dan bisa dirasakan langsung oleh penontonnya. Dari apa yang saya tangkap setelah menonton film ini dua kali, dia melakukannya dengan tiga hal:

  • Seting dan karakter yang realistis
  • Narasi yang dinamis
  • Suara ambience yang harmonis

Kita bisa melihat karakter Mamah Ros; seorang ibu yang religius dan punya kemauan yang kuat dan selalu mengatur tentang masa depan anaknya, selalu membuat komentar yang pedas, harus selalu dituruti dan selalu ngebet nyuruh anaknya buat nikah. Hayo, siapa yang punya ibu seperti ini?

Ada juga Sikumbang bersaudara; Ican, Ndoy, dan Buncun yang masing-masing punya motif, kebiasaan, konflik dan prinsip yang berbeda-beda. Ndoy sebagai anak pertama adalah orang yang kolot dan ga gaul mirip seperti ayahnya, Ican sebagai anak kedua punya jalan pemikiran yang berbeda dari kakak dan orangtuanya, dan Buncun sebagai anak terakhir terlahir rebel dan selalu menolak untuk menuruti siapapun yang menyuruhnya. Komposisi karakter ini bisa kita anggap sebagai komposisi yang baku dari sebuah keluarga, kita semua pasti pernah mendengar keluarga dengan sifat-sifat yang beragam seperti ini. Atau jangan-jangan, keluarga kita sendiri seperti ini?

Variasi karakter memang sengaja dibuat seperti ini. Semakin karakter dibuat berhubungan dengan kehidupan nyata, semakin terasa pula emosi yang diberikan kepada penonton. Apalagi kalau narasi dibangun dengan bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari, dengan pembawaan yang natural tanpa terasa kaku.

Andibacthiar Yusuf tahu betul kalau narasi adalah tulang punggung dari sebuah cerita keluarga, karena itulah dia juga mendesainnya dengan sangat detail agar terlihat dan terdengar lebih realistis. Narasi yang dilakukan semua karakter tidak dilakukan secara back-to-back dimana karakter akan berbicara setelah karakter lain selesai berbicara. Narasi di film ini tidak jarang dibuat overlap, saling mengisi, saling kontra dan saling tidak mau kalah, persis seperti yang dijelaskan oleh video ini. Dengan begitu, terciptalah chemistry antar keluarga yang realistis dan menghasilkan konflik yang terdengar, terlihat, dan terasa begitu nyata.

Ritual dan kebiasaan masyarakat Indonesia juga konstan diperlihatkan di film ini agar kesan realistis selalu melekat dan tidak pernah hilang. Kita bisa melihat bagaimana Mamah Ros melakukan pengajian bersama ibu-ibu, kita bisa melihat bagaimana keluarga Sikumbang berinteraksi dengan tetangga sekitar tanpa sekat, ngobrol di tengah jalan komplek saat sore menjelang, ngopi bareng, main kartu, pergi ke pasar, dan ngerumpi bersama tanpa terlihat kaku dan berasa spontan. Semuanya dibuat dengan sederhana, tapi terlihat begitu detail dan terasa begitu hangat. Sepanjang film, kita juga mendengar banyak ragam ambience sound yang sering kita dengar saat berada di rumah, mulai dari suara orang jualan, suara motor lewat, suara anak kecil bermain di jalanan depan rumah, hingga suara azan dari mesjid terdekat.

Hasilnya, sudah jelas. Penonton akan benar-benar yakin dan punya koneksi emosi yang kuat dengan karakter-karakter yang ada di film ini. Pesan dan tema keluarga yang diusung pun nantinya bisa tersampaikan dengan optimal, terasa begitu emosional hingga tidak sedikit yang tidak bisa menahan air mata.

Saya, adalah salah satu dari banyak orang yang tidak bisa menahan air matanya.

Staging & Seamless Shot

Satu hal yang paling membuat saya kagum dari film Love for Sale 2 adalah bagaimana sang sutradara Andibachtiar Yusuf membuat shot-shot ciamik yang jauh lebih berani dari film sebelumnya. Kita bahkan bisa melihat ‘keberanian’ ini pada menit pertama film dimulai, bagaimana dia membuat adegan opening menggunakan seamless transition antar Richard dan Arini yang langsung membuat saya tersenyum lebar. Ga nyangka aja sih, saya bakal langsung nemuin sesuatu yang barubegitu film baru dimulai.

Kekaguman saya kemudian makin bertambah saat adegan overture dimulai, yaitu adegan yang berseting di sebuah undangan pernikahan dengan adat Minang yang kental. Sang sutradara menggunakan teknik long-take atau Spielberg Oner, dikombinasikan dengan gerak kamera dan karakter yang dinamis sehingga penonton tidak merasa bosan, sekaligus tidak sadar kalau kamera belum berhenti merekam sejak awal. Sungguh sebuah awal yang memuaskan.

Teknik seamless transition dan long-take semacam ini kemudian terus digunakan secara konstan secara film, tentu saja dengan pengambilan gambar dan komposisi yang berbeda untuk mencegah penonton bosan dan memberikan pesan yang berbeda. Adegan kematian tetangga Ican misalnya, dibuat menggunakan teknik long-take yang dikombinasikan dengan seamless transition antar karakter, sehingga kita bisa melihat dengan jelas kepanikan orang-orang dan merasakan emosi sedih secara nyata pada penonton.

Dan untuk memanfaatkan cast yang berjumlah banyak, Andibacthiar Yusuf tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan banyak adegan ensemble staging seperti yang dilakukan oleh sutradara terkenal asal Korea, Bong Joon-Ho. Banyak shot yang dibuat terlihat dipisah antara foreground dan background, memasukan banyak karakter sekaligus dan membuat mereka berakting bersama dalam satu frame. Cara ini nyatanya memang sangat ampuh untuk membuat adegan lebih realistis, membuat penonton dapat melihat dengan jelas setiap emosi karakter yang berperan. Saya benar-benar tidak menyangka saya akan melihat teknik ini di film Love for Sale 2, apalagi benar-benar digunakan dengan sangat apik oleh sang sutradara.

Untuk mendukung narasi dan seting yang realistis, tidak jarang Andibachtiar Yusuf menggunakan elemen ambiance seperti tiang listrik, kabel, atau toa masjid sebagai transition shot. Ga cuman itu, hampir semua shot juga menggunakan komposisi gambar yang memasukan unsur realistis, seperti anak-anak yang sedang bermain bola di gang, gerobak jualan yang lewat di depan rumah, dan pengajian yang penuh dengan ibu-ibu. Saya jadi selalu merasa kalau setiap shot di film ini didesain dengan cermat, selalu mencoba memperlihatkan sisi realistis dari cerita sehingga berhasil memberikan emosi yang tepat untuk penontonnya.

Jadi pada intinya sih, saya menemukan banyak sekali ‘rasa’ dan pengalaman menonton baru di film Love for Sale 2 ini jika dibandingkan dari film sebelumnya. Andibacthiar Yusuf terlihat lebih berani dan tidak ragu untuk melakukan eksperimen dengan shot-shot yang diambil, yang menurut saya berhasil dia lakukan dengan sempurna.

Bahkan nih ya, ada beberapa shot yang membuat saya sampai tercengang, kagum, dan tidak bisa berhenti tersenyum. Yang pertama adalah ketika kamera mengambil gambar Arini secara close-up, yang hanya memperlihatkan sebagian kuping, rambut dan matanya. Shot tersebut beneran membuat saya merinding, benar-benar memperlihatkan kecantikan dan keanggunan Arini walah hampir setengah wajahnya tidak masuk dalam frame. Keren banget, sumpah!

Shot lain yang membuat saya kagum adalah ketika Ican mencium Arini di ruang tamu, dimana shot diambil secara long-take yang kemudian bergerak panning ke kanan, ke arah akuarium yang memperlihatkan Arini dan Ican sedang berciuman dari jauh. Menurut saya shot ini indah banget sih, selain karena bisa menggunakan akuarium sebagai penunjang shot secara sempurna, shot ini juga menyembunyikan sebagian muka dari Arini dan Ican, membuat adegan menjadi implisit yang jelas bikin penonton makin greget dan makin penasaran. Kudos buat Andibachtiar Yusuf buat shot yang keren banget ini!

Dan Misteri Pun Terus Berlanjut

Ngomongin Love for Sale berarti ngomongin misteri, yang mungkin jadi salah satu alasan utama kenapa film Love for Sale begitu ditunggu oleh penggemarnya. Tidak seperti film Indonesia yang selalu ‘menyuapi’ penontonnya dengan adegan literal, Andibachtiar Yusuf mendesain film Love for Sale dengan banyak petunjuk-petunjuk implisit, easter egg, hingga referensi-referensi tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh orang yang benar-benar memperhatikan. Dan kerennya, tradisi menyimpan misteri ini masih terus dipertahankan dengan ciamik, yang sekarang bahkan berhubungan langsung dengan plot cerita.

Contohnya, penonton akan dibuat bingung mengenai hubungan Mamah Ros dengan Maya. Apa sih yang menyebabkan mereka tidak akur? Kenapa Mamah Ros begitu membenci Maya, padahal Maya sudah berperilaku dengan sangat baik dan sangat sopan? Pertanyaan ini tidak pernah terjawab secara eksplisit sampai film berakhir, tapi kita semua tahu apa hubungan mereka melalui narasi yang berkembang sepanjang film. Kita juga bisa melihat teknik storytelling serupa dari hubungan Mamah Ros dengan Ndoy, siapa yang menjadi anak kesayangan bapa Sikumbang, berapa usia kehamilan Maya, dan berapa lama Ican menyewa Arini.

Tidak ada adegan yang menjelaskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, semuanya hanya bisa dapat dan dimengerti jika kita sabar, detail dan tekun mendengar setiap narasi yang ada.

Inilah sisi magis dari film Love for Sale.

Inilah kenapa saya begitu kagum dengan teknik storytelling yang digunakan di film Love for Sale pertam dan kedua. Bagaimana penonton dipaksa mencari jawabannya sendiri, menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi, membuat sebuah konklusi abstrak dan berbeda intreperasi, menciptakan diskusi lebih lanjut yang lebih dalam bagi penontonnya. Coba, berapa banyak sih film Indonesia yang bisa bikin penonton penasaran kaya gini?

Saat mengobrol sebentar dengan Andibachtiar Yusuf, saya sempat ditanya apa sih persamaan Arini Love for Sale 1 dan Love for Sale 2? Jujur saya tidak bisa menjawab, karena yang saya lihat Arini sekarang berbeda dengan Arini sebelumnya, menjadi polar opposite masing-masing walaupun tetap menjadi ‘bunglon’ bagi kedua kliennya.

Arini yang pertama adalah wanita yang inisiatif, berani maju membuat keputusan untuk mengimbangi Richard yang penuh keraguan. Arini yang kedua adalah wanita serba bisa yang pemalu, selalu siap menjadi wadah curhat bagi Mamah Ros dan ‘malaikat’ penyelamat bagi keluarga Sikumbang yang selalu penuh konflik. Pose dan sifatnya pun berbeda 180 derajat, dimana di Love for Sale 1 gerak tubuh Love for Sale satu lebih luwes dan dinamis, sedangkan di Love for Sale 2 gerak tubuhnya selalu terbatas, selalu terkesan malu-malu dan selalu mengepalkan tangannya.

Menurut sang sutradara sendiri, Arini di film Love for Sale 2 memang didesain seperti itu. Seperti malaikat, seperti karakter Jonathan Smith di serial film Highway To Heaven. Ketika Arini datang dalam suatu situasi, dia akan membereskan semua masalah yang ada. Terbukti dengan bagaimana dia bisa memperbaiki hubungan antara Maya dan Mamah Ros, membantu masalah jodoh Ican sekaligus membuat semua orang menjadi lebih bahagia bahagia walau sesaat. Sebuah tugas yang mulia, namun nyatanya harus dibayar dengan harga yang mahal.

Karena berbeda dengan Love for Sale yang pertama, Love for Sale 2 memperlihatkan kita satu sisi yang tidak kita lihat sebelumnya; bahwa Arini juga seorang manusia, yang bisa merasakan emosi dan terluka jika meninggalkan orang-orang yang dia sayangi. Kita bisa melihat bagaimana Arini terikat dengan Mamah Ros secara personal, kita bisa melihat Arini terasa berat saat harus meninggalkan rumah keluarga Sikumbang, dan kita juga bisa merasakan Arini terluka saat dia melihat perkelahian antara Endah dan Buncun — yang saya duga ada hubungannya dengan masa lalu yang dialami oleh Arini.

Asal usul Arini memang jadi salah satu hal yang paling ditunggu oleh penggemar setia Love for Sale, yang juga menjadi salah satu kekhawatiran saya di film Love for Sale 2 ini. Takutnya, Andibachtiar Yusuf langsung membuka asal-usul dan semua rahasia milik Arini secara frontal yang jelas akan menghilangkan sisi magis dari seri Love for Sale. Tapi untungnya plot cerita tidak dibawa kearah sana. Saya lega karakter Arini hanya ‘dikupas’ sedikit melalui foto ayah dan ibunya, sehingga sisi magis dan misteri dari karakter Arini tetap ada dan tidak hilang.

Selain mengupas sedikit kisah dari Arini, film Love for Sale 2 ini juga banyak menyimpan easter egg dan referensi tersembunyi yang berasal dari film Love for Sale yang pertama. Saya hanya menemukan beberapa, dan saya yakin ada lebih banyak lagi yang belum terjawab:

  • Bahan dari Madagaskar saat Arini ingin memasak di rumah Ndoy dan Maya adalah referensi dari film Love for Sale yang pertama, ketika Arini menceritakan tentang Madagaskar kepada Richard saat sedang makan siang.
  • Arini disewa selama 105 hari oleh Ican, 45 hari di awal, dan diperpanjang selama 2 bulan dengan biaya perpanjangan sebanyak Rp2.800.000.
  • Arini selalu melemparkan pertanyaan balik ketika Ican dan Richard menyatakan cinta kepadanya, yang secara tidak langsung menegaskan kalau dia tidak pernah memberi tahu apa yang dia rasakan.
  • Siapa yang menjadi anak kesayangan ayah Sikumbang masih menjadi misteri, karena setiap karakter saling menunjuk karakter lain sebagai anak kesayangan sang ayah.
  • Arini Chaniago belajar makanan Minangkabau dari Afadal sang pemilik restoran Padang. Afadal mengaku kalau Arini bukan keponakan langsung, yang berarti ada kemungkinan kalau Arini Chaniago hanyalah kedok untuk bisa belajar masakan Minangkabau demi mendalami peran sebagai menantu orang Padang.
  • Wallpaper bertuliskan ‘Gerhana’ yang ditunjukan dua kali di kantor Ican mungkin merujuk pada narasi Pa Samsul dengan Richard di film pertama yang berbunyi: “Orang lain mah sering liat pacaran, tapi kalau Mas Richard sih ibarat nunggu gerhana”
  • Sebelum menikah dengan Ndoy, Maya adalah janda beranak satu. Sepertinya Mamah Ros tidak setuju dengan pernikahan ini, sehingga dia membenci Maya dan menganggap dia mempengaruhi Ndoy untuk menikahinya.
  • Semenjak menikah, Mamah Ros tidak pernah pergi ke rumah Ndoy. Terbukti dari narasi Mamah Ros yang kaget melihat pohon-pohon di rumah Ndoy yang sudah tumbuh besar, dan May yang bertanya “Mamah siapa?” ketika Mamah berkunjung.
  • Buncun dan Endah menikah MBA (Married by accident), terbukti dengan narasi Ican yang bilang “Lo sih pake telat nyabut” saat mengobrol dengan Ndoy dan Buncun.
  • Arini pergi saat Hari Ibu (22 Desember) dan datang saat Maya hamil selama 6 bulan. Berarti, Arini datang pada tanggal 18 Agustus.
  • Arini sepertinya berasal dari keluarga yang broken home, yang bisa terlihat dari narasi saat Mamah Ros bertanya seperti apa ibunya. Kita juga bisa melihat bagaimana Arini melihat Endah bertengkar dengan Buncun di depan Mamah Ros.
  • Love Inc. hilang jejak setelah Arini selesai dengan Ican, persis seperti apa yang terjadi dengan Richard. Apakah mungkin Love Inc. hanya melayani satu klien dalam satu waktu?
  • Komik berujudul “Jiraiya” yang terpampang dengan jelas di kantor Ican masih menjadi misteri.

Mohon maaf kalau trivia diatas tidak akurat, saya hanya ingin menunjukan betapa banyak petunjuk, easter egg dan referensi tersembunyi di film Love for Sale 2 ini. Dan saya yakin masih ada banyak trivia tersembunyi yang belum terkuak, yang jelas makin membuat penonton penasaran tentang bagaimana kisah Arini selanjutnya.

Loh, emang bakalan ada kelanjutannya ya?

Saya bertanya langsung pada sang sutradara Andibachtiar Yusuf tentang hal ini dua kali, saat screening di Jakarta dan di Bandung. Kali pertama dijawab dengan jawaban “Ada deh!”, kali kedua dijawab dengan “Langsung dibuat Love for Sale 7 kayanya”. Masih ga puas, saya bertanya untuk ketiga kali secara personal sampai akhirnya dapatlah jawaban yang sedikit menjelaskan tentang kelanjutan kisah Arini di film Love for Sale 3:

“Rencana udah ada sih. Masih dimatengin lah, doain aja ada

Saya merasa dejavu dengan jawaban ini. Pasalnya, Andibachtiar Yusuf juga menjawab dengan jawaban yang sama ketika saya bertanya tentang sekuel dari Love for Sale dulu. Saya jelas jadi optimis, benar-benar optimis kalau kisah Arini akan berlanjut di Love for Sale 3. Lalu apa yang akan diceritain di film sekuelnya ya? Apakah pada akhirnya kita akan tahu misteri Arini sepenuhnya? Atau malah membahas bagaimana Love Inc. tercipta dan siapa dalam dibelakangnya?

Perlu saya akui, saya sempat kecewa sih melihat ending Love for Sale 2 yang menurut saya terlalu frontal, terlalu ekplisit untuk film yang menggunakan informasi implisit sebagai daya tariknya. Kenapa ending cerita tidak dibuat secara implisit seperti adegan opening? Bukankah akan membuat penonton lebih penasaran dan lebih efektif menggantung ceritanya?

Tapi yah secara keseluruhan, saya sebagai orang yang sangat mencintai film Love for Sale yang pertama benar-benar puas dengan plot cerita yang dibawakan oleh Andibachtiar Yusuf di film Love for Sale 2 ini. Sisi magisnya masih terasa, misterinya masih bertahan, dan saya tetap penasaran tentang apa yang terjadi selanjutnya.

Saya khawatir sebenarnya jika Love for Sale 3 benar-benar ada, mengingat film yang pertama dan kedua sudah dibuat dengan sempurna. Saya takut Love for Sale 3 tidak sebagus dua film sebelumnya, yang jelas akan membuat saya kecewa. Tapi saya yakin, Andibachtiar Yusuf selaku sutradara tidak akan membiarkan masterpiece miliknya menjadi jelek dan berakhir dengan cerita pasaran.

Saya percaya kalau kisah dari Arini dapat ditutup dengan gemilang.
Saya percaya kalau Love for Sale 3 dapat memberikan saya sebuah pengalaman menonton yang baru, emosi yang baru, dan tema cerita yang baru dan lebih baik dari dua film sebelumnya.

Semoga saja kita bisa melihat Arini untuk kali ketiganya ya!

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

Responses (1)