Losmen Bu Broto (2021) — Pentingnya Momentum dan Meresap Emosi
Penafian — Artikel ini dibuat berdasarkan opini, selera dan preferensi pribadi. Setiap hal yang saya sebutkan disini hanya berdasarkan pendapat saya sendiri, dan mungkin akan dirasakan berbeda bagi setiap orang.
Jujur, saya bukanlah pecinta film yang banyak menggunakan elemen tradisional seperti yang ditunjukan pada poster film Losmen Bu Broto di atas. Tidak hanya budaya Jawa, hampir semua budaya tradisional di seluruh dunia. Takut sebenarnya, takut ada substansi konteks yang tidak saya mengerti karena saya tidak mengalami atau berada dalam lingkungan budaya tersebut.
Karena itu ketika Losmen Bu Broto keluar pun saya tidak mencari tahu dan melihat trailer-nya, saya merasa pesimis dan menganggap bahwa film ini adalah film generik tentang keluarga tradisional Indonesia dengan konflik sederhananya.
Oh, bayangkan betapa salahnya saya ketika akhirnya menonton film ini.
Saya pikir Losmen Bu Broto adalah film yang kental dengan seting cerita dan narasi yang sangat tradisional. Ternyata, seting cerita dibuat berdasarkan jaman sekarang yang modern. Art director mampu menyatukan elemen tradisional yang kental dengan dekorasi modern, begitu juga dengan narasi yang disampaikan sepanjang film. Blending antara masa lalu dan masa depan mampu dipadukan dengan sangat baik.
Secara plot cerita, Losmen Bu Broto adalah film dengan konflik yang bisa saya bilang kronis. Berat, menusuk, dan merupakan salah satu konflik yang paling sering terjadi pada sebuah keluarga: komunikasi yang buruk serta bagaimana jiwa muda seorang anak terkekang oleh otoritas orang tua.
Berhubung saya belum pernah menonton trailer filmnya, saya begitu kaget betapa pelik konflik yang diberikan oleh film Losmen Bu Broto. Dalam waktu 1 jam 49 menit, film produksi Andi Boediman ini memberikan begitu banyak ragam emosi pada penontonnya. Senang, bahagia, marah, malu, bebas, lepas, sayang dan benci semua bersatu padu dan diberikan satu per satu.
Tapi entahlah, saya merasa ada satu hal yang mengganjal sepanjang saya menonton film Losmen Bu Broto. Saya tidak tahu apa yang saya rasakan, sampai akhirnya tiba-tiba saya teringat pada satu episode dari Every Frame a Painting ini:
Setelah menonton Losmen Bu Broto dan mengingat video di atas, saya baru sadar betapa pentingnya bagi sebuah film untuk membuat momentum emosi dengan timing yang pas, dan memberikan waktu bagi penonton untuk meresap emosi yang ditampilkan.
Unik Sedari Awal, Menarik di Akhir
Sejak tahu istilah film overture dari channel YouTube Nerdwriter, saya menjadi penonton yang selalu memperhatikan bagaimana film dimulai sampai akhirnya masuk pada inti cerita. Dan percayalah kalau saya bilang ini:
Losmen Bu Broto membuka film dengan cemerlang!
Dengan menggunakan apa yang saya sebut dengan immersive opening credit dimana nama-nama cast diperlihatkan secara nyata lewat seting cerita, penonton akan langsung merasa kalau film ini benar-benar punya kualitas produksi yang tinggi.
Dalam waktu kurang dari 20 menit, penonton diberitahu semua hal yang yang menjadi fondasi film, mulai dari motivasi dan desain setiap karakter, apa saja dan bagaimana hubungan relasi antar karakter, seberapa besar pengaruhnya seting pada plot cerita, hingga potensi-potensi konflik yang dapat muncul sepanjang film. Waktu sisanya, benar-benar dipakai untuk mengeksplorasi konflik dan memperlihatkan emosi dari setiap karakter yang terlibat.
Pada intinya, Losmen Bu Broto menceritakan tentang keluarga Broto yang disfungsional akibat masalah komunikasi yang buruk. Tapi di luar keluarga inti, ada banyak juga karakter-karakter pendukung yang terlibat secara langsung dan mempengaruhi plot cerita. Saya pikir seting losmen dapat menjadi karakter unik tersendiri yang ‘hidup’ dalam plot cerita seperti The Overlook Hotel pada film The Shining atau tempat printing di film Love for Sale, tapi sayang sekali saya pribadi tidak dapat merasakannya di film Losmen Bu Broto ini.
Sebenarnya jika kita dilihat secara keseluruhan, desain karakter yang ada sudah sangat baik dan mudah dikenali dan cepat terhubung dengan audiens. Belum lagi kualitas cast-nya yang ga main-main, mulai dari Maudy Koesnaedi, Mathias Muchus, Maudy Ayunda, Putri Marino dan aktor aktris lain yang kualitasnya tidak perlu diragukan lagi.
Seting cerita sudah terlihat nyata, desain dan motivasi karakter jelas terasa, potensi konflik dibangun dengan kuat, dan ‘tabungan’ McGuffin untuk menciptakan momen di tengah dan akhir cerita sudah disimpan dan siap dikeluarkan pada waktunya. Dinamika dan pondasi karakter pada cerita sjuga sudah terbangun sempurna dan siap dikeluarkan dengan apik dari awal hingga akhir film.
Tapi sayang seribu sayang, timing momentum dan konteks emosi yang diberikan pada penonton, menurut saya pribadi banyak yang terkesan dipaksakan dan tidak tepat karena beberapa hal.
Narasi Frontal dan Hening Kontekstual
Losmen Bu Broto adalah film yang memiliki banyak karakter di dalamnya. Semakin banyak karakter yang terlibat, semakin banyak dinamika karakter dan konflik yang ada pada cerita. Tapi sayangnya, menurut saya pribadi konflik-konflik tersebut diperlihatkan pada penonton dengan narasi yang terlalu frontal.
Semua informasi diberikan secara komplit dan total pada penonton tanpa memberikan ruang untuk intrepretasi sendiri. Saya merasa tidak ada momen dimana saya harus menerka dan menebak apa emosi yang dirasakan oleh karakter yang ada di layar, karena sudah diberikan melalui narasi yang menjelaskan semuanya.
Akibatnya, di awal film saya merasa tidak bisa terhubung dengan konflik karakter karena ada begitu banyak konflik yang diberikan dengan kedalaman masalah yang tidak terasa nyata. Konflik jadi terasa hambar dan asal lewat di pikiran kita, karena penonton tidak diberikan jeda untuk menyerap emosi yang diberikan.
Serius deh, saya pribadi merasa capek menonton Losmen Bu Broto. Film ini terasa seperti kereta yang selalu melaju kencang tanpa berhenti sama sekali, setiap adegan selalu diisi dengan narasi untuk menginformasikan emosi, minim sekali adegan hening konstektual yang diberikan pada penonton untuk meresap emosi.
Saya merasa tidak diberi waktu untuk bernapas, untuk benar-benar merasakan apa yang karakter di layar rasakan. Momen-momen simbolik seperti character redemption melalui banyak McGuffin seperti resep Ikan Gurame dari Mba Pur terasa tidak kena menusuk emosi karena momentumnya terlalu cepat atau terlalu dan terasa tidak pas.
Disinilah saya ingat dengan video yang saya berikan di atas: betapa pentingnya bagi sebuah film memberikan ruang bernapas untuk, agar bisa emosi yang diberikan karakter pada film:
“Emotion, takes time. When we watch people on screen, we feel a connection to them. And that’s because we have time to watch their faces before they speak, and time to watch them afterwards” — Every Frame a Painting
Lingering emotion adalah hal yang sangat penting untuk membuat penonton merasa terkoneksi dengan emosi karakter pada film. Ketika saya tidak mendapatkan hal tersebut dari film Losmen Bu Broto, saya langsung mengingat film dengan tema cerita yang sama yang berhasil melakukannya: Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini (2019)
Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) adalah film yang bercerita tentang keluarga disfungsional karena komunikasi yang buruk. Akibatnya, tersimpan bom waktu yang akhirnya pecah, meledak, dan membuat semuanya berantakan. Saking kena emosinya dari film ini, saya bahkan sempat menuliskan surat ‘cinta’ pada orang-orang di balik film NKCTHI dan menuliskan ulasan lengkap tentang film ini beberapa hari kemudian.
Saya, menangis ga karuan ketika diundang menonton film ini untuk pertama kalinya.
Selain tema cerita yang sama, ada beberapa hal yang menurut saya sukses dilakukan oleh NKCTHI yang tidak terasa di film Losmen Bu Broto. Salah satu hal yang paling krusial adalah tentu saja bagaimana NKCTHI berhasil membangun, menyimpan, dan mengeluarkan emosi dengan timing momentum yang sangat pas. Konflik dibangun dengan benar-benar kuat, bom waktu yang ada benar terasa meledak pada waktu, gestur, dan seting adegan yang pas.
Yang kedua, ada begitu banyak ruang yang diberikan pada penonton untuk meresap dan menginterpretasi emosi melalui narasi dan adegan-adegan yang diberikan secara implisit. Film tidak memberikan informasi secara frontal dan komplit, justru penonton ‘dipaksa’ untuk melihat dan mengkonversi momen dan adegan implisit ini menjadi satu emosi untuk diresapi.
Ketiga, camera works. Di Losmen Bu Broto, adegan klimaks atau yang saya sebut sebagai adegan moment of truth disajikan dengan teknik over-the-shoulder yang diam stabil tak bergerak dengan close up wajah dari karakter yang sedang beperan.
Bandingkan dengan adegan moment of truth NKCTHI ketika bom waktu meledak di ruang tamu, dimana Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara menggunakan hand-cam yang tidak stabil untuk memvisualisasikan betapa kacaunya keadaan emosi setiap karakter yang ada di layar.
Hal-hal detail inilah yang tidak saya rasakan pada film Losmen Bu Broto. Sekali lagi, inilah alasan kenapa saya bilang kalau film ini terasa seperti kereta yang melaju kencang dan tidak pernah berhenti. Saya pribadi merasa selalu dibombardir oleh konflik-konflik yang diberikan, tapi tidak diberi ruang untuk bernapas dan meresap emosi serta tidak ada jeda untuk mencari informasi dan melakukan intrepretasi sendiri.
Tapi apakah ini berarti Losmen Bu Broto adalah film yang jelek?
Tidak, sama sekali tidak.
Semua aspek mulai dari jajaran cast, seting cerita, potensi konflik, desain karakter hingga premis cerita sudah sangat baik. Tapi karena ada lag pada momentumnya, saya tidak merasakan koneksi emosi sekuat ketika saya menonton NKTCHI.
Jika boleh disimpulkan, pengalaman saya menonton Losmen Bu Broto seperti ketika saya datang ke restoran favorit saya dan memesan menu yang selalu saya beli. Tapi setelah datang, ada rasa yang tidak sama dan mengganjal sehingga membuat saya penasaran sepanjang makan menu favorit saya ini.
Rasanya tetap enak, tapi entah kenapa kok rasanya kurang puas dan kurang bisa menikmati sepenuhnya.