Kintsugi; Ketika Rusak Membuat Sempurna

Ben Aryandiaz Herawan
14 min readOct 1, 2020

--

Sore tadi, ketika saya lagi saya asik ngaso di depan teras dan liatin awan, entah kenapa saya tiba-tiba saya teringat salah satu kutipan yang pernah saya lihat sepuluh tahun silam, yang dulu saya anggap sebagai salah satu kutipan paling dalam dan paling ‘kena’ yang pernah saya baca:

“Break a plate and throw it to the floor. Did it break? Say sorry to it. It doesn’t go back to the way is was, isn’t?”

Sebuah kutipan klasik yang dulu — atau mungkin sekarang juga — sering dipakai para pemuda-pemudi ketika sedang marah atau bertengkar dengan pacarnya. Secara simbolis, kutipan ini memang punya makna kalau kata maaf tidak akan bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Semua yang tadinya sempurna, menjadi hancur, rusak berantakan dan menjadi cacat.

Tapi entah bentuk awan apa yang saya lihat, tiba-tiba saja saya mendapatkan sebuah pencerahan bikin otak saya ‘meledak’, persis seperti John Nash ketika menemukan equilibrium game theory di film A Beautiful Mind (2011)

Saya langsung berdiri, mengambil buku catatan dan menulis satu buah kalimat:

Bagaimana jika kutipan tersebut belum berakhir?

Bagaimana jika ternyata kutipan tersebut belumlah lengkap? Bagaimana jika ternyata, ada satu hal yang bisa kita lakukan untuk membuat piring tersebut menjadi sempurna, bahkan bisa menjadi lebih dari sempurna walaupun sudah hancur berantakan?

Pecahan-pecahan piring yang hancur adalah sebuah simbol dari keadaan mental dan emosi diri kita, berceceran di lantai karena kejadian pahit yang terjadi sebelumnya. Serpihan ini menjadi ‘cacat’ yang harus kita derita seumur hidup, menjadi trauma mendalam persis seperti sebuah piring yang akan tetap terlihat cacat walaupun sudah diperbaiki.

Dulu, saya sangat setuju dengan simbolisasi ini.
Tepat sasaran, sempurna.

Tapi 10 tahun kemudian ketika saya sudah mendapatkan begitu banyak pengalaman hidup dan wawasan baru sebagai penulis, insting saya mengatakan untuk mencari perspektif lain dari kutipan ini. Saya merasa simbolisasi ini tidak lengkap, masih mentah, dan belum sempurna.

Ada begitu banyak kejanggalan yang menimbulkan banyak pertanyaan ketika saya melihat kembali kutipan ini. Apa alasannya trauma yang kita miliki harus disimbolkan dengan pecahan piring? Apa yang terjadi setelahnya? Apakah dua orang tadi pergi meninggalkan piring yang sudah dipecahkan di lantai? Mengapa tidak ada yang berusaha memperbaiki piring tersebut?

Lalu kemudian, datanglah satu pertanyaan yang paling penting:

Bagaimana jika pecahan piring bukanlah berarti sebuah cacat, tapi malah menjadi nilai tambah dari piring tersebut?

Oke oke, mungkin kamu mendengarnya seperti sebuah omong kosong optimisme yang berusaha meromantisasi sebuah cacat untuk digunakan sebagai validasi bahwa semua baik-baik saja.

Engga, poinnya bukan disitu.

Yang saya maksud adalah, kenapa semua orang melihat pecahan piring tersebut hanya sebagai tanda kerusakan semata? Mengapa tidak ada orang yang menganggap pecahan piring adalah sebuah awal yang baru yang bisa dipakai untuk menambah nilai piring tersebut?

Ini, adalah prinsip filosofi dari Kintsugi.

Kintsugi atau Kintsukuroi (金繕い) secara harfiah berarti ‘golden joinery’, sebuah seni membuat tembikar yang tidak mengedepankan prinsip simetris, tanpa cacat dan kesempurnaan pada umumnya, tapi justru memperlihatkan dengan jelas cacat yang dimilikinya. Satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, yang buat saya pribadi menjadi salah satu cara paling elegan untuk menjawab kutipan di atas.

Kintsugi, melihat retakan pada piring yang sudah diperbaiki bukanlah sebagai cacat tapi justru sebagai sebuah nilai tambah dari piring tersebut, yang disimbolkan dengan elegan melalui tambalan emas.

Selama ini, kita menganggap trauma atas kejadian pahit yang kita alami adalah sebuah cacat yang harus disembunyikan, ditutup rapat-rapat, dan tidak boleh diingat kembali agar tidak menimbulkan sakit yang sama. Mau itu hubungan yang gagal, pekerjaan yang tidak selesai, penyesalan akan pilihan hidup yang salah, semuanya menjadi tabu untuk dibicarakan karena kita akan merasa tidak nyaman dan kembali merasakan sakit yang sama. Kita memendam penyakit, tanpa pernah berusaha mengobati penyakit tersebut.

Bagi saya ini adalah sebuah ironi.

Bagaimana tidak? Kita mencoba menghindari rasa sakit tersebut sambil tetap membuat ‘bibit’ rasa sakit ini tumbuh subur, merawatnya secara tidak sadar dan menyiramnya dengan percikan rasa takut dan malu yang siap meledak kapan saja.

Ini sama saja seperti saat kita ingin memiliki sebuah taman yang indah, tapi tetap membiarkan rumput liar tumbuh subur di taman tersebut. Kita lantang menyuarakan dan berandai-andai betapa nikmatnya memiliki taman yang indah, tapi terus menerus mengeluh tentang rumput liar yang tumbuh subur tanpa melakukan apa-apa.

Sebuah tindakan yang tidak logis bukan?
Bagaimana bisa kita mendapatkan apa yang kita inginkan jika kita hanya diam, mengeluh, dan tidak melakukan apa-apa?

Disinilah alasannya kenapa saya bilang kalau Kintsugi adalah cara paling elegan untuk menjawab dilema yang kita miliki ini, karena Kintsugi mampu memberikan solusi atas ironi ini hanya dengan 3 tahap sederhana:

Sebagai orang yang sudah melakukan prinsip Kintsugi selama bertahun-tahun, percayalah kalau saya bilang ini:

Kamu akan menjadi orang paling tenang, paling dingin, dan paling fokus ketika mendapatkan masalah atau trauma.

Tapi sebelumnya, mari mulai dengan satu langkah kecil: menyadari bahwa saya, kamu, dan kita semua, mempunyai cacat atau flaw berupa trauma yang menyebabkan rasa sakit pada jiwa kita.

Sadar, Kenal, Damai

“First step in solving problem is recognizing there is one”

Siapa disini yang selalu berusaha menghindari masalah karena takut akan merasakan rasa sakit yang membuat hati tidak nyaman?

Sangatlah manusiawi jika kita ingin menghindari masalah yang kita punya agar tidak merasakan rasa sakit yang dapat menimbulkan trauma, walaupun dalam lubuk hati yang paling dalam kita tahu bahwa apa yang kita lakukan tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan membuat kita menderita kedepannya.

Tapi ketika saya mulai mempraktekan Kintsugi, saya menjadi sadar bahwa rasa takut dan trauma adalah dua hal yang tidak selalu berkaitan dan sangat mungkin untuk kita pisahkan.

“Pain is inevitable, suffering is optional”

Kintsugi mendorong kita untuk mengubah fokus yang kita punya; tidak lagi fokus pada apa yang kita rasakan, tapi fokus pada trauma yang sedang kita alami:

1. Apa sih yang menyebabkan saya merasakan trauma ini?
2. Kenapa saya merasakan trauma ini?
3. Bagaimana cara menghilangkan trauma ini?

Tiga pertanyaan di atas menurut saya adalah respon naluriah yang dimiliki seorang manusia yang didasarkan pada kesadaran logika. Ketika kita berada dalam situasi yang tidak nyaman, tentu secara otomatis kita akan berpikir bagaimana caranya membuat situasi tersebut menjadi nyaman bukan? Baik itu dengan solusi sementara seperti menghindar, atau melawan ketakutan dengan paksa dan mengkonfrontasi ketidaknyaman tersebut.

Kintsugi, tidak menggunakan dua cara tersebut. Prinsip ini memberikan kita sebuah solusi yang paling optimal; merangkul keadaan tidak nyaman tersebut, berdamai dengan trauma yang membuat kita tidak nyaman, embracing our flaw.

Mengapa saya bilang solusi paling optimal?

Karena ketika kita menghindari trauma yang kita miliki, trauma tersebut hanya akan mengendap dan tumbuh subur walaupun kita berusaha melupakannya. Apa yang tidak kita lihat bukan berarti itu tidak ada disana.

Jika kita menolak dan menyadari keberadaan trauma ini, bukan berarti trauma tersebut menjadi hilang bukan? Apalagi jika terus menolak untuk melihat dan terus membiarkannya, trauma ini akan berubah menjadi liar dan keluar merusak, menghantam kita dengan sebuah kenyataan palsu bahwa selama ini kita hanya menipu diri seakan-akan semuanya baik-baik saja.

Begitu juga dengan cara konfrontasi yang sering kali membuat jiwa kita menjadi keras, tidak semua orang bisa melakukannya. Jika orang tersebut tidak memiliki mental yang cukup kuat, perlawanan yang dilakukannya malah akan balik menyerang dan menyebabkan trauma yang lebih dalam, menimbulkan rasa sakit yang lebih perih. Kalau sudah begini, menyerah dengan keadaan adalah jalan terakhir.

Kintsugi, menawarkan jalan tengah diantara kedua cara ini.

Alih-alih menghindar dan membuat masalah tidak pernah terselesaikan atau mengkonfrontasinya yang bisa menimbulkan trauma yang lebih dalam, mengapa tidak berdamai sambil mencoba untuk memperbaikinya?

“Oke, saya sadar sekarang saya sedang tidak baik.
Saya sadar saya sedang merasakan trauma dan rasa sakit.
Saya sadar kalau trauma ini membuat saya tidak sempurna
Lalu bagaimana cara saya memperbaikinya?”

Ketika kita mendapatkan satu trauma, sering kali kita hanya fokus pada rasa sakit yang kita rasakan, membuat diri kita merasa yang paling menderita. Kerap kali kita juga menuduh semua orang tidak peduli dengan apa yang kita rasakan, kita dimakan oleh energi negatif, pikiran kita dikendalikan oleh emosi yang merusak jiwa.

Kintsugi bertindak sebaliknya, yaitu dengan mendorong kita untuk selalu berpikir logis dan rasional setiap kali kita mendapati sebuah masalah yang menimbulkan trauma.

Kintsugi membuat kita tetap tenang dan berkepala dingin, sehingga kita dapat fokus pada permasalahan tersebut dan mencari solusinya dengan tenang dan tuntas. Ibaratnya, Kintsugi mengajak kita untuk mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh hingga ke akarnya dengan lembut agar kita bisa mendapatkan taman yang kita impikan.

Dengan Kintsugi, kita menjadi sadar secara sepenuh jiwa bahwa trauma yang kita miliki hanyalah satu fragmen yang hadir menjadi salah satu bagian hidup kita, tidak kurang dan tidak lebih. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, trauma yang kita punya akan selalu ada dan tidak akan pernah kita hilangkan dari hidup kita. Kalau begitu, mengapa kita susah payah menghindarinya atau berusaha menghilangkannya?

Inilah mengapa Kintsugi mengajak diri kita untuk berdamai dengan trauma yang kita punya, tidak menghindar dan tidak melawan.

Berusaha menghindari atau menghilangkan trauma adalah perbuatan yang sia-sia yang hanya akan merusak jiwa, mengoyak emosi dan menghabiskan tenaga. Berdamai dengan trauma akan mengubahnya menjadi satu buah pengalaman dan pelajaran berharga, yang akan kita pakai untuk membuat diri kita selalu tumbuh dengan lebih bijaksana.

Penyesalan Adalah Penyakit

Pernahkah kamu berpikir tentang kira-kira apa saja hal-hal ciptaan Tuhan yang tidak memiliki guna dan manfaat?

Sedari dulu, saya selalu berpikir bahwa tidak ada hal yang tidak berguna di dunia ini. Semua hal dari yang paling kecil sampai paling besar, punya porsi dan posisinya masing-masing yang saling berkaitan dan memberikan manfaat satu sama lain. Tapi setelah mengalami begitu banyak pengalaman hidup, ada satu hal yang menurut saya tidak punya kegunaan sama sekali; Rasa Penyesalan

Hidup, pada intinya adalah tentang membuat pilihan.

Pilihan hidup yang kita ambil sering kali dibuat berdasarkan banyak variabel, mulai dari keadaan saat ini, kondisi mental, pertimbangan manfaat, hingga proyeksi pilihan yang akan kita ambil kedepannya. Kita tentu akan merasa senang ketika pilihan hidup yang kita pilih ternyata tepat. Tapi ketika kita salah memilih, kita akan mengalami rasa sakit dan trauma berupa rasa penyesalan yang ‘bermain’ dengan pikiran kita. Semakin besar taruhan dari pilihan yang kita ambil, semakin besar pula rasa penyesalan ini akan datang dan membebani pikiran kita.

Dan entah apa alasannya, ada begitu banyak sekali orang yang justru senang ‘berenang’ bersama rasa penyesalan ini, walaupun mereka tidak ingin mengakuinya. Ada yang menjadikannya senjata untuk meminta afirmasi dari orang lain demi menipu diri sendiri seakan mereka bahagia, ada juga yang menggunakannya untuk membuat diri mereka tenggelam dalam emosi. Mereka tidak sadar bahwa hal ini secara perlahan akan merusak dan mengegerogoti jiwa dari dalam, membuat mereka enggan keluar dari rasa penyesalan yang mereka punya.

Entahlah, saya bahkan melihat bahwa mereka — orang-orang yang senang ‘berenang’ dan tenggelam dalam emosi negaitf — kecanduan akan rasa penyesalan yang mereka punya. Mereka menjadi mabuk, membuat mereka enggan untuk keluar dari rasa penyesalan ini dan memaksa diri mereka untuk nyaman dalam ketidaknyamanan.

Sangat mungkin mereka tidak bisa keluar karena depresi.
Sangat mungkin mereka tidak tahu jalan keluarnya.
Sangat mungkin mereka terluka terlalu dalam.

Tapi apapun alasannya, menurut perspektif saya pribadi, memaksakan diri untuk nyaman dalam ketidaknyamanan adalah sebuah tindakan yang di luar nalar, tidak logis, dan jelas jauh dari kata irasional, bahkan tidak masuk di akal.

Saya menganalogikan seperti ini:

Anggaplah kita sedang berjalan, lalu tiba-tiba tangan kita menyenggol sebuah paku tajam yang menyebabkan luka sayat dan mengeluarkan banyak darah. Apa yang harus kita lakukan?

Orang-orang yang senang tenggelam pada rasa penyesalan akan mengutuk paku tersebut, dan terus menerus berbicara tentang kalau mereka telah memilih jalan yang salah. Mereka akan terus mengatakan “kalau saja saya tidak lewat jalan ini, saya tidak akan terkena paku ini!” dengan lantang pada diri sendiri dan orang sekitar, tanpa melakukan apa-apa pada luka sayat yang sedang mengeluarkan banyak darah.

Sedangkan orang yang mengedepankan rasionalitas dan logika, akan dengan cepat menekan luka tersebut agar tidak mengeluarkan banyak darah, sambil mencari cara bagaimana mengobati luka sayat tersebut agar cepat sembuh. Apakah mereka juga mengeluh dan mengutuk paku tersebut? Tentu saja! Mereka juga manusia yang harus meluapkan emosinya bukan?

Tapi kita perlu melihat perbedaan perspektif fokus yang diambil oleh kedua orang tersebut. Orang pertama fokus pada emosi yang mereka rasakan, dimana emosi mengendalikan pikirannya. Sedangkan orang kedua fokus pada masalah yang ada dan ingin langsung mencari solusinya menggunakan logika.

Kintsugi, mendorong kita untuk berperilaku seperti orang kedua.

Kembali pada kutipan di awal, alih-alih hanya melihat dan mempertanyakan piring yang pecah, Kintsugi mendorong kita untuk mengambil serpihan piring tersebut agar kita bisa mulai memperbaikinya.

Kintsugi mencegah kita untuk tenggelam pada rasa penyesalan yang terlalu dalam, dan mendorong kita untuk fokus pada solusi masalah yang ada. Rasa menyesal dan ingin mengutuk jelas pasti ada, tapi Kintsugi membuat kita mengalihkan emosi, tenaga, dan waktu yang kita punya untuk mengeluh menjadi bahan bakar untuk mencari solusi,

Kintsugi mnencegah kita untuk untuk mengkasihani atau menipu diri sendiri bahwa kita baik-baik saja. Karena ketika kita tenggelam dalam rasa penyesalan yang begitu dalam, kita malah menjadi diam dimakan pikiran negatif dan tidak bisa bergerak, sementara luka yang kita punya terbuka semakin lebar.

Inilah kenapa saya bilang rasa penyesalan adalah hal yang paling tidak berguna dalam kehidupan kita, karena fungsinya hanya membuat kita diam tanpa merawat luka yang kita punya, memaksa diri untuk nyaman dalam ketidaknyamanan.

Kintsugi, membuat kita fokus pada penyembuhan diri.

“Oke, sepertinya saya salah mengambil pilihan.
Baiklah, sekarang saya harus menerima konsekuensinya.
Saya membuat kerugian pada diri sendiri dan orang lain.
Nah, bagaimana saya bisa memperbaikinya?”

Ketika kita diterpa begitu banyak masalah dan mendapatkan banyak trauma dalam satu waktu, pikiran kita akan menjadi kusut dan malah membuat kita terdiam kebingungan, tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

Kintsugi mendorong kita untuk menarik benang kusut tersebut satu persatu, membuat kita fokus mencari satu solusi dalam satu waktu, yang pada akhirnya akan membuat semua semua masalah dan trauma yang kita punya selesai pada waktunya.

“Never regret yesterday. Life is in you today and you make your tomorrow” — L. Ron Hubbard

Trial & Error

Ada satu hal menarik yang baru-baru ini saya temukan dalam proses evolusi manusia.

Banyak pakar setuju bahwa manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan beradaptasi paling tinggi jika dibandingkan dengan spesies purba lainnya, sehingga akhirnya mereka bisa menjadi spesies paling dominan di bumi ini. Manusia memang memiliki kemampuan untuk menggunakan nalar dan alat-alat untuk mendukung kehidupannya, tapi yang paling penting dari itu semua, mereka mampu berpikir dan mendapatkan pengetahuan baru dari kejadian yang terjadi disekitarnya, dan menurunkannya pada generasi selanjutnya.

Ketika satu manusia purba melihat temannya masuk ke dalam sebuah gua dan dimangsa hewan buas, manusia purba tersebut akan mendapatkan pengetahuan kalau ada hewan buas di dalam gua, sehingga dia harus menghindari gua tersebut agar bisa tetap hidup. Temannya yang mati menjadi ‘tumbal’ dari pengetahuan yang dia dapatkan tentang gua tersebut, sedangkan manusia purba yang hidup akan mewariskan pengetahuan ini pada keturunan-keturunannya.

Saya pribadi menganggap bahwa evolusi manusia adalah proses trial & error yang dilakukan secara terus menerus tanpa henti ddari satu generasi ke generasi lainnya. Manusia bisa hidup dan berkembang karena mereka lolos dari trial yang dilakukan oleh seleksi alam. Sedangkan manusia yang mati karena dimangsa hewan buas, jatuh ke dalam jurang, atau terjebak dalam gua adalah error dalam proses seleksi alam, menjadi ‘tumbal’ ilmu pengetahuan untuk para manusia yang hidup agar mereka bisa belajar dan tidak menempuh jalan yang salah.

Mereka yang hidup, belajar dari kesalahan yang sudah dilakukan oleh mereka yang mati.

Dan pada prinsipnya, kita juga bisa melakukan proses evolusi pada diri kita sendiri. Sepanjang kita hidup, kita mendapati begitu banyak trial yang membuat kita harus memutuskan sebuah pilihan hidup. Mulai dari hal-hal kecil seperti memilih menu makan hari ini, sampai hal-hal besar yang bisa menentukan keberlangsungan hidup di masa depan. Namun ketika kita memilih pilihan yang salah, akan terjadi error dalam diri yang menyebabkan trauma dan rasa sakit yang berdampak pada pertumbuhan diri kita.

Setiap hari, kita berevolusi dan mengalami proses trial & error yang membuat kita tumbuh dan berkembang. Lalu apa yang harus kita lakukan ketika terjadi error dalam trial yang sedang kita jalankan?

Kintsugi, mengajak kita untuk menerima error tersebut dengan lapang dada, lalu menggunakannya sebagai ‘tumbal’ ilmu pengetahuan bagi diri kita sendiri.

Alih-alih mengutuk keadaan yang membuat kita merasakan trauma dan rasa sakit ini, Kintsugi membuka pikiran kita dengan pandangan yang lebih jauh dan lebih luas; menjadikannya sebagai bekal dan sumber pembelajaran untuk trial yang akan kita hadapi selanjutnya.

Saat kita mendapatkan sebuah pengalaman traumatis, kita tentu tahu darimana awal mula trauma ini berasal, bagaimana satu proses berubah menjadi proses lainnya sampai akhirnya menyebabkan kita merasakan rasa sakit. Kita jadi bisa melihat dengan jelas apa saja tanda-tanda yang menyebabkan rasa sakit tersebut.

Kintsugi membuka mata kita untuk melihat apakah ada tanda yang sama pada trial selanjutnya

Kita menjadi fokus, mawas diri dan mencegah diri kita untuk merasakan error yang sama seperti sebelumnya, tanpa membuat kita merasakan kembali rasa sakit dari trauma yang pernah terjadi. Tanpa Kintsugi, kerap kali kita hanya akan membangkitkan rasa sakit dari trauma tersebut dan membuat kita kembali jatuh ke dalam trauma yang sama.

“Oke, hal buruk telah terjadi pada saya.
Saya merasakan trauma, saya merasakan sakit.
Saya tidak ingin hal buruk ini terjadi lagi pada saya atau orang lain.
Apa yang harus saya lakukan untuk mewujudkannya”

Singkatnya, Kintsugi tidak hanya membuat kita bisa melihat dengan jelas error yang kita miliki, tapi juga sekaligus mengajarkan kita bagaimana caranya menggunakan error tersebut sebagai pelajaran agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik, lebih besar hati, dan lebih bijaksana.

Bagaimana caranya?

Sebenarnya ada begitu banyak cara untuk melakukannya, dan masing-masing orang punya cara yang berbeda. Saya melihat para pengguna Twitter biasa melakukannya dengan menulis sebuah utas, menceritakan pengalaman mereka tentang satu trauma secara detail, menjadikan utas ini sebagai sumber pembelajaran bagi orang-orang yang membacanya.

Menurut saya ini adalah salah satu cara yang paling efektif.
Mau tahu kenapa?

  • Kita menyadari bahwa kita punya trauma yang menyebabkan rasa sakit yang begitu dalam. Sadar akan trauma, adalah langkah pertama untuk menyembuhkan luka yang kita rasakan.
  • Kita meluapkan emosi dan rasa sakit yang kita rasakan dari trauma tersebut secara positif. Kita tidak fokus pada apa yang telah kita rasakan, tapi kita fokus menulis pada solusi yang sudah kita lakukan.
  • Solusi konkrit yang sudah kita lakukan akan menjadi sumber pembelajaran yang baik dan bisa dijadikan contoh oleh para pembaca. Pengalaman kita menjadi pengetahuan baru bagi mereka.

Inilah yang membuat saya jatuh cinta pada prinsip filosofi Kintsugi, dimana kita tidak berlomba menjadi sempurna, tapi justru membuat kita merasa kaya dengan ketidaksempurnaan yang kita punya. Kita tidak menipu diri sendiri, kita tidak menjadi pura-pura bahagia yang hanya membuat kita jiwa kita menderita

Kintsugi membuat kita merasa damai dan tenteram, karena pada akhirnya kita mengerti bahwa pada akhirnya, semua rasa sakit, rasa malu, rasa penyesalan, hingga trauma mendalam adalah harta yang membuat jiwa kita semakin kaya dan lebih bijaksana.

Ketika kita mengakui bahwa kita tidak sempurna, disitulah kita mencapai kesempurnaan sebagai manusia seutuhnya.

Terima kasih banyak sudah membaca sampai akhir!

Sebenarnya, entah apa yang mendorong saya untuk menulis lebih dari 3000 kata untuk menjelaskan filosofi Kintsugi ini. Biasanya saya tidak begitu niat membuat artikel seperti ini, karena jujur saya tidak biasa mencurahkan emosi saya pribadi pada tulisan yang sifatnya personal.

Mungkin ini terjadi karena saya merasa Kintsugi adalah sebuah pengetahuan yang bisa bermanfaat untuk banyak orang. Atau mungkin, dorongan ini muncul karena saya terlalu banyak melihat orang yang terluka dengan trauma yang mereka miliki, atau merasa diri mereka tidak cukup.

Entahlah.

Tapi yang jelas, saya senang membagikan sedikit informasi salah satu filosofi hidup saya pada pembaca. Semoga dengan tulisan ini semua orang sadar bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Semoga tulisan ini membuat semua orang sadar, bahwa untuk bisa berdamai dengan dunia, hal pertama yang harus kita lakukan adalah berdamai dengan diri kita sendiri terlebih dulu.

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet