Joker (2019) — Antitesis ‘Pahlawan’ Gotham
Penafian: Ulasan ini mengandung major spoiler. Sangat disarankan untuk melihat terlebih dulu film Joker (2019) sebelum membaca ulasan dibawah ini.
Adalah monomyth, sebuah struktur naratif dan cerita yang rasanya menjadi akar dari semua genre film dengan pahlawan didalamnya, baik secara figuratif maupun secara literal. Sebuah cerita penuh petualangan, arc penuh perjuangan dari seorang pahlawan dalam rela menempuh badai, melawan krisis, dan mengalahkan kejahatan demi sebuah penebusan dosa yang membuatnya terlahir kembali, atau pergi mati dengan satu nilai yang baru. Nilai yang lebih murni, dengan jubah heroik melekat di punggung dan merubah persepsi penonton tentang dirinya.
Klise ini memang rasanya sudah menjadi templat, sudah menjadi satuan baku sejak ratusan tahun yang lalu dan semakin berkembang sampai sekarang dengan milyaran variasi cerita dan karakter. Mulai dari novel fiksi, hingga film western yang menurut dia menjadi inspirasi lahirnya genre superhero yang booming bahkan hingga sekarang.
Todd Phillips kemudian hadir ditengah hype petualangan monomyth ala Marvel Cinematic Universe — yang katanya cuman berisi cerita semu dengan efek ‘wah’ layaknya taman hiburan— dengan membawa Joker (2019), sebuah origin story dari karakter bernama sama yang diangkat DC Comic. Todd mencoba menghidupkan karakter antagonis ini dengan nilai cerita yang kurang lebih sama dengan apa yang dibawa Christopher Nolan 14 tahun silam dengan Batman Begins; semesta DC yang gelap, serius dan realitis.
Tapi disini, Todd Phillips melakukannya lebih dari itu. Dengan membawa aktor kawakan Joaquin Pheonix, sinematografer Lawrance Sher dan komposer Hildur Guðnadóttir, Todd membuat cerita monomyth super realis dengan sebuah plot twist; bagaimana jika semua petualangan ini bukan melahirkan pahlawan berjiwa heroik, melainkan seorang penjahat yang menjadi simbol sebuah perlawanan?
jur, sebelum menonton film Joker saya tidak tahu siapa itu Todd Phillips. Saya tidak tahu dia adalah otak dibalik trilogi Hangover, saya juga tidak tahu kalau dialah produser dari film A Star Is Born, Wardogs dan Due Date. Semuanya tertutup oleh hype dan kicauan netizen tentang apakah Joaquin Phoenix dapat mengalahkan sang legenda Heath Ledger — satu hal yang menurut saya tidak bisa dijadikan komprasi. Tapi yang jelas, Todd Phillips berhasil memberikan penontonnya sebuah tragic drama yang super emosional, ultra realis, dan penuh plot twist yang menciptakan realita baru dalam dunia DC walaupun berbentuk film standalone.
Todd Philips menciptakan Joker yang saya anggap sebagai sebuah tragic drama sempurna dengan mencampurkan tiga hal fundamental, (1) Realitas objektif, (2) Persepsi subjektif , dan (3) Nilai abstraktif. Satu hal yang mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu membuat sebuah origin story dari karakter komik superhero dan melihatnya melalui lensa realis, lalu membawanya pada titik dimana penonton bisa merasakan emosi secara nyata.
Lantas, bagaimana cara Todd Phillips melakukannya?
Gotham, City Of Mayhem
Sangat sulit bagi saya rasanya jika tidak membandingkan Joker dengan film trilogi Batman yang dibuat oleh Christopher Nolan. Tidak hanya karena menggunakan karakter yang sama, baik Todd maupun Nolan menghadirkan penontonnya sebuah dunia yang gelap dan penuh kekacauan bernama Gotham. Kota dengan hukum rimba, dimana empati adalah satu hal yang paling langka yang dimiliki oleh masyarakatnya.
Nolan memperlihatkan keadaan kota Gotham dalam skala besar, secara lengkap menggunakan drone shot, panoramic shots, dan lensa yang lembar sambil menunjukan banyak titik, jalanan, dari setiap sudut kotanya agar adegan aksi yang diambil bisa lebih luas, lebih jelas terlihat dan lebih terasa dampaknya. Dengan kata lain, Nolan memberikan kita gambaran kota Gotham secara luas, eksplisit, gamblang, dan mudah dilihat.
Todd, justru melakukan hal sebaliknya. Dia memperlihatkan kota Gotham secara implisit, lebih intim dan lebih detail untuk menciptakan nuansa kota yang kacau melalui alam bawah sadar penontonnya. Dan secara bertahap, kita bisa melihat jati diri kota Gotham secara utuh dan jelas di akhir film.
Kombinasi seting yang gelap dan ambiance sound adalah kuncinya.
Dalam suatu wawancara, Todd Phillips mengatakan bahwa semua seting dibuat untuk memberikan kesan bahwa Arthur Fleck hidup di dunia yang keras, penuh dengan masalah, selalu dirundung dengan tekanan dan tidak punya pilihan jalan keluar. Maka dari itulah Todd sengaja merancang 80% seting film joker diambil dalam sebuah ruangan yang sempit, gelap, dan terasa sangat tidak nyaman. Sisanya memang diambil di luar ruangan, namun tetap dengan tema yang sama; membuat kita tidak ingin lama-lama melihatnya.
Untuk membuat Gotham semakin hidup, Todd menggunakan ambience sound seperti suara hujan, percikan air, desis kereta, suara orang berlari, reaksi penonton, bahkan suara rokok yang terbakar. Tapi yang paling penting, Todd masuk ke alam bawah sadar penonton melalui narasi karakter dan berita televisi sebagai background sound, yang menceritakan dan memperlihatkan bagaimana keadaan Gotham yang sebenarnya; sebuah kota yang sedang dalam keadaan yang paling busuk.
Dua kombinasi hal ini sebenarnya sederhana, tapi sangat praktis dan efisien untuk memberikan satu seting yang padat dan ketat. Membuat karakter seakan selalu terpojok, selalu selalu tertekan dan tidak bisa melawan apalagi menang menang, sekaligus menciptakan satu yang intim, senyap namun tetap terasa epik.
Semua kombinasi inilah yang menciptakan realitas objektif di dunia Gotham, kota yang penuh dengan kekacauan dari segala sisinya. Dan layaknya panggung yang sudah siap, masuklah seorang pria bernama Arthur Fleck; pesakitan dengan kondisi fisik dan mental abnormal yang selalu punya persepsi subjektifnya sendiri, tentang diri dan dunia disekitarnya.
Joker, Man of Chaos
Todd Phillips membuat Joker dengan desain karakter yang ultra realis, yang senada dan selaras dengan apa yang sedang terjadi sekarang ini di banyak belahan dunia. Penonton diajak melihat jati diri kota Gotham dari kacamata seseorang yang berada di kasta paling bawah — seorang pria dengan pekerjaan bergaji rendah, hidup di lingkungan yang kumuh bersama ibunya, tidak punya teman, selalu merasa tertekan, pesakitan, dan punya kelainan mental. Todd kemudian membuat karakter Arthur ini dengan motivasi yang sangat sederhana, namun sangat mustahil dicapai dengan keadaan yang dimiliknya:
“He believe he’s a sweet soul in city full of harsh people. He want to bring laughter and joy in this cold and dark world”
Jahat sekali bukan? Dengan logika yang kita miliki, bagaimana mungkin seseorang dengan keadaan seperti Arthur bisa menjadi stand up comedian? Bagaimana dia bisa melucu? Bagaimana dia bisa mengerti humor saat dia sendiri tidak bisa berperilaku seperti orang normal? Dan lebih jahatnya lagi, Todd selalu memperlihatkan Arthur seakan tidak pernah menyerah dalam mengejar mimpinya, yang kita tahu mau sekeras apapun dia belajar dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang stand up comedian.
Lalu mengapa Joker dibuat demikian? Bukankah kita sebagai orang normal tahu kalau apapun yang dia lakukan sebenarnya sia-sia?
Alasannya sederhana, membuat penonton merasa tidak nyaman saat melihat persepsi subjektif yang dimiliki oleh Arthur berbenturan dengan persepsi subjektif yang kita miliki. Inilah yang Todd lakukan sepanjang film pada penontonnya. Dan dari apa yang saya lihat, Todd melakukannya secara eksplisit dan implisit dengan sangat mulus, sangat sempurna, seamless dan masuk tanpa kita sadari.
Ada beberapa hal yang mendasari kenapa saya bilang Todd berhasil melakukannya dengan sangat sempurna. Yang pertama, Todd langsung membuat koneksi emosional dengan overture yang senyap, diisi dengan air mata dan ekspresi yang alami. Todd juga menggunakan close up oner-shot dari kamera Arri Alexa, memperlihatkan dengan sangat detail setiap emosi dan perubahan raut wajah dari Arthur. Ya, Todd memang menggunakan trik psikologi ini untuk merefleksikan karakter Arthur kembali ke penontonnya.
Teknik yang sudah terbukti akan membuat kita merasa tidak nyaman ini terus diulang bahkan hingga akhir film, yang dikombinasikan dengan gerakan kamera dinamis untuk membuat kita ikut merasakan perasaan pengap dan tertekan, persis seperti apa yang dirasakan oleh Arthur di balik layar.
Alasan kedua adalah film score yang dibuat oleh Hildur Guðnadóttir, seorang komposer yang bertanggung jawab membuat sebagian film score untuk The Revenant, Arrival, dan Sicario. Film score Joker yang dibuat memang terasa beda dan punya karakternya sendiri karena memang Hildur membuat musik saat masih berbentuk skrip, bukan setelah melihat visualnya.
Musik yang bernuansa berat dan emosional ala Hildur kemudian disetel setiap kali proses syuting berjalan sebagai mood setter, membuat setiap orang yang bekerja merasakan dan menghasilkan adegan dengan mood yang sama rata. Dengan begitu, terciptalah satu sinergi optimal antara visual, audio, dan kualitas akting yang diberikan.
Anatomi fisik dan mental dari Arthur adalah alasan ketiga kenapa saya bilang Todd berhasil membuat kita merasa tidak nyaman. Joaquin Pheonix melakukan personifikasi dengan level detail tingkat dewa, mulai dari penampilan fisik, cara dia tertawa, berjalan, merokok, berbicara, berlari, menatap, bahkan hingga cara dia merespon balik pertanyaan orang lain. Semuanya dilakukan dengan sempurna; intens dan bikin penontonnya tahan napas. Ga heran dia kadang sampai harus keluar set film saat syuting untuk ngedapetin sisi karakter Arthur ini secara sempurna.
Bahasa tubuh dan sifat abnormal yang dimiliki oleh Arthur ini punya satu tujuan, yaitu untuk membuat satu sensasi rasa tidak nyaman pada diri — cringe, atau fremdschämen yang secara literal berarti ‘stranger shame’. Coba ingat kembali dari semua film yang pernah kamu tonton, berapa banyak film yang bisa membuat kita merasa cringe sekaligus empati secara nyata seperti Joker ini?
Lalu timing, menjadi alasan terakhir buat saya. Setiap konflik yang Arthur punya diberikan pada penonton dengan timing yang presisi dan saling menimpa satu sama lain. Mau tidak mau hal ini akan membuat kita merasakan empati, trenyuh dan kemudian mendorong kita untuk ‘menyutujui’ respon brutal yang dilakukan oleh Arthur terhadap dirinya. Tanpa timing konflik yang presisi dan saling bertubi, mustahil kita punya koneksi dan empati yang dalam karakter ini.
Penyakit yang dimiliki oleh Arthur adalah alat yang sempurna untuk melakukan transisi timing antar konflik. Penyakit tawa yang dideritanya akan membuat konflik yang datang bertubi-tubi semakin berat dan emosional. Delusi yang dimiliki Arthur selalu mengingatkan penonton tentang seberapa berat dan seberapa banyak konflik yang dihadapinya.
Personifikasi sempurna dari Joaquin Pheonix, konflik yang diberikan secara presisi, ditampilkan dengan teknik kamera yang saya sebut sebagai emotional close-up long takes akan membawa penonton untuk melihat transformasi Arthur Fleck berubah menjadi Joker secara slowburn.
Hasilnya sudah jelas, lahirlah sebuah karakter bernilai prima dan sempurna; Seorang pria yang memiliki sejuta kekacauan dalam hidupnya, a man of chaos yang bernama Arthur Fleck yang tidak pernah merasa bahagia bahkan untuk satu menit sepanjang hidupnya. Sebuah karakter yang punya persepsi subjektif yang solid, seseorang yang tidak bisa ditebak isi otak dan responnya akibat punya beban hidup yang begitu berat dan bisa ditulis dalam satu kalimat:
“I just hope my death make more cents than my life”
Dan akhirnya, kombinasi perspesi subjektif Arthur yang solid dan realitas objektif dari kota Gotham akan menciptakan satu nilai abstraktif di benak setiap penontonnya. Apalagi jika kita melihat bagaimana Todd Phillips merancang transformasi dari Arthur Fleck menjadi Joker; dalam sebuah antitesis dari cerita kepahlawanan, sebuah manifestasi dan menjadi satu simbol yang merepresentasikan kota Gotham — Mayhem, and chaos.
Lahirnya Dua Simbol Kota Gotham
Todd Phillips membawa sebuah ide cerita tentang bagaimana seorang penjahat lahir menggunakan templat yang sama seperti seorang pahlawan: menggunakan struktur cerita monomyth dalam tiga babak.
Pahlawan, biasanya lahir melalui suatu peristiwa simbolik yang diakui secara konsensus oleh banyak orang. Peristiwa simbolik ini biasanya berbentuk suatu keberanian, kegagahan yang belum pernah dilakukan, dilihat, atau ditunjukan sebelumnya. Sebelumnya, dia akan mengalami krisis terlebih dulu hingga jatuh, sebelum akhirnya kembali bangkit dan mampu mengalahkan musuhnya. Kemudian dia berubah dan bertransformasi menjadi sebuah simbol yang merepresentasikan keberanian dan nilai mulia.
Todd Phillips merancang Joker dengan struktur monomyth yang serupa. Secara bertahap penonton diajak untuk melihat krisis demi krisis yang menimpa Arthur Fleck, sampai akhirnya dia ‘lepas’ dan membunuh 3 orang karyawan Wayne Investment di kereta.
Dengan film score yang dibuat dengan sempurna, kita lalu melihat Arthur menari di toilet umum dengan kaku, canggung, off-beat namun terasa sangat intens, berat dan emosional. Disinilah ide Joker lahir, dimana Arthur mulai merangkul dan mencintai dirinya sendiri, mulai berani menyuarakan pendapat dan keinginannya. Sampai akhirnya kita bisa melihat Joker yang secara resmi menjadi simbol realita kota Gotham yang gelap dan penuh dengan kekacauan; melalui suara letusan pistol yang ditembakan Arthur ke kepala Murray Franklin.
Saya pribadi melihat Todd Phillips menggunakan struktur cerita monomyth secara sangat gamblang disini. Kita bisa melihat lahirnya ide Joker melalui adegan dansa yang canggung. Kita bisa melihat Arthur bertransformasi menjadi Joker melalui penembakan Murray Franklin. Kita juga bahkan bisa melihat dengan gamblang bagaimana Joker menjadi sebuah simbol, melalui adegan Arthur bangun di kap mobil polisi setelah dibebaskan oleh para ‘pengikutnya’.
Dan bersamaan dengan lahirnya seorang Joker, kita juga melihat secara sekilas kelahiran sebuah simbol yang berada di sisi yang nantinya akan menjadi antitesis dari kehadiran Joker. Seorang pahlawan yang membawa keadilan, pelindung dari kota Gotham yang bernama Batman alias Bruce Wayne. Bukankah Batman lahir dengan struktur monomyth yang sama?
Entah kenapa, saya melihat plot film ini sebagai awal dari sebuah siklus yang tidak pernah berhenti, sebuah paradoks yang terus terngiang dikepala, memutar-mutar logika berikut tanpa akhir:
Untuk memerangi kejahatan, diperlukan sebuah kebaikan.
Untuk menjadi seorang pahlawan, dibutuhkan seorang penjahat.
Untuk menjadi seorang Joker, Arthur membutuhkan Bruce Wayne.
Untuk menjadi Batman, Bruce Wayne membutuhkan Arthur sebagai Joker.
Joker, tercipta karena Bruce Wayne.
Batman, tercipta karena Joker.
Melalui film ini, Todd Phillips memberikan sebuah perspektif kepada saya pribadi kenapa Joker —yang dianggap sebagai arch enemies Batman — sangat membenci Batman alias Bruce Wayne. Sebagai orang yang tidak mengetahui sejarah lengkapnya kenapa Joker sangat ingin menyiksa Batman, film ini menciptakan sebuah teori baru tentang motivasi Joker:
Dia seharusnya berada di tempat Bruce Wayne sekarang, hidup bahagia bersama ibunya Penny Fleck dan Thomas Wayne sebagai ayahnya.
Memang, pada kita akhirnya tahu bahwa Arthur Fleck bukanlah anak dari Thomas Wayne yang sebenarnya. Penny Fleck mengadopsi dirinya saat masih kecil. Tapi rasa dendam terhadap Thomas Wayne yang dimiliki Arthur tidak pernah hilang. Dan ditambah dengan rasa iri terhadap kehidupan Bruce Wayne yang selalu bahagia tanpa trauma yang dimilikinya, wajar kalau Arthur Fleck pada akhirnya sangat membenci kehadiran Bruce Wayne.
Dan melalui film Joker, saya akhirnya punya perspektif sendiri tentang hubungan yang dimiliki oleh Joker dan Batman. Mereka adalah dua simbol kota Gotham yang saling bertolak belakang, dua sisi koin yang berbeda, dua hal yang tercipta secara bersamaan dan bergantung satu sama lain.
Saya jadi teringat dalam satu kalimat dalam komik ‘What happened to caped crusader?’ karya Neil Gaiman dan Andy Kubert, yang menggambarkan dengan persis teori hubungan antara Joker dengan Batman yang saya milik:
“… a Moby Dick for his Ahab, a Moriarty to his Holmes”
Ada begitu banyak hal yang sebenarnya masih bisa kita bahas dari film Joker ini. Tapi semakin dalam saya menggali untuk mencari jawaban, malah timbul semakin banyak pertanyaan yang tidak bisa saya jawab. Menurut saya, ini terjadi karena memang script dan desain cerita dari film Joker memang segitu bagusnya. Todd Phillips benar-benar berhasil membuat penonton ikut bergabung sebagai partisipan dalam film ini, dengan cara membuat cerita ambigu, abstrak, dan penuh dengan loophole tanda tanya sehingga penonton punya perspektif ceritanya sendiri.
Todd Phillips juga rasanya berhasil ‘menjebak’ saya dan jutaan penonton lain yang merasa dirinya adalah Arthur Fleck; dengan membuat satu adegan dimana Gary The Midget tidak bisa membuka pintu saat ingin kabur dari Arthur yang baru membunuh Randall. Saat melihat dia loncat-loncat dan akhirnya meminta Arthur untuk membukan pintu, apa yang kita lakukan? Kita tertawa bukan?
Kita, bukanlah Arthur Fleck.
Kita adalah masyarakatnya. Kitalah yang jahat.
Kita — secara tidak sadar — selalu menertawakan orang-orang seperti Gary, orang-orang seperti Arthur Fleck, orang-orang minoritas, orang-orang dengan disabilitas, orang-orang yang tidak satu nasib dengan kita. Kita hanya tidak ingin menunjukannya, karena kita tidak mau orang-orang menganggap kita jahat.
Jika film lain didesain untuk membuat kita ‘kabur’, Joker justru mencekoki kita dengan realita yang pahit dan selama ini enggan kita cerna. Joker, membuat kita duduk sembari menatap sebuah cermin. Mempersilahkan kita untuk berkaca, dan melihat betapa busuk diri kita yang sebenarnya.