End Cute; Berakhir Tuntas, Berpisah Bahagia
“What’s nice place like you doing in a girl like this?”
Wade Wilson, seorang pria yang sedang berada di depan bar bertanya kepada seorang wanita cantik yang berdiri disebelahnya. Wanita tersebut otomatis langsung tersenyum, terlihat penasaran dan tertarik untuk membangun pembicaraan lebih lanjut. Dengan satu pertanyaan yang lucu dari Wade, dimulailah kisah romansa mereka dalam film Deadpool (2016)
Ini, adalah adegan yang dinamakan meet cute.
Satu momen dimana seorang pria dan seorang wanita bertemu pertama kali dengan cara yang lucu, komedik, dan tidak disangka-sangka. Meet cute bisa dibilang merupakan sebuah klise yang sering kita lihat di film drama komedi romantis, seperti Romeo & Juliet, Ruby Sparks, About Time, 500 Days of Summer dan lain-lain. Klise ini memperlihatkan momen pertama bagaimana pasangan bertemu, penuh dengan emosi bahagia yang tidak jarang membuat penonton gemas dan ingin turut merasakannya. Dan ga cuman di film, di kehidupan nyata pun meet cute seperti ini juga sering terjadi lho.
Tapi kemudian, saya menjadi penasaran dan menimbulkan pertanyaan. Kenapa sih emosi bahagia ini hanya ada ketika pasangan bertemu saja? Apa yang terjadi jika emosi bahagia yang serupa juga dirasakan ketika mereka berpisah?
Ini, adalah pertanyaan yang mendasari saya membuat istilah end cute.
Jangan tanya validitas istilah ini, ini hanya karangan saya. Yang jelas, istilah end cute adalah momen ketika sebuah pasangan berpisah dengan rasa bahagia, dengan tuntas, tanpa dendam, dan penuh dengan rasa ikhlas. Benar-benar kebalikan dari perpisahan pada umumnya bukan?
Istilah end cute ini tiba-tiba muncul di benak pikiran saya ketika mendengar cerita dari kolega saya; tentang perjalanan cinta yang kandas dengan lekas, tuntas, dan ikhlas.
Mike namanya. Umurnya 24 tahun, pekerja kantoran dan sekarang sedang mendekati seorang perempuan yang menjadi anak magang di kantor tempatnya bekerja, Della namanya. Interaksi mereka dimulai sebagai seorang senior dan junior dalam pekerjaan, tidak ada meet cute dan tidak terasa nuansa romantis sama sekali. Tapi karena interaksi mereka yang semakin intens, obrolan yang satu frekuensi, dan tidak terlihat adanya ‘resistensi’ dari Della, Mike menjadi goyah; dia ingin menyatakan perasaannya pada Della, malam ini juga.
Berletak di satu kafe di Dago, Mike dan Della kemudian bertemu. Di sebuah meja kecil di lorong cafe yang sedang penuh-penuhnya, mereka berinteraksi dengan lapang, mengobrol penuh canda seperti biasanya sampai satu momen krusial itu datang; Mike memotong Della yang sedang berbicara layaknya adegan sebuah film:
“Gua suka sama lu, Del”
Della yang tadinya sedang berbicara tiba-tiba terdiam selama beberapa detik. Mukanya terlihat kaget, pipinya memerah, dia tersenyum lebar dan membuka mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Mike hanya tertunduk malu-malu, dadanya berdebar kencang menunggu respon yang akan diberikan Della.
“Serius?” Della bertanya tidak percaya dengan senyum yang melekat di wajahnya.
Dengan muka canggung sambil memainkan cangkir dimejanya, Mike mengangguk sambil menjawab “Iya, serius gua Dell”
Della langsung menghela napas, tertawa kecil dan ikutan menjadi salah tingkah. Dia kemudian bertanya dengan suara lembut apa yang menjadi alasan Mike menyukai dirinya, meminta Mike untuk mengeluarkan seluruh ekspresi yang sekarang sedang bergejolak didalam hatinya. Dia mencoba merangkul itu semua, sebuah gestur kecil yang menurut saya sangat indah.
Mike kemudian mulai berbicara. Semua alasan sudah dijelaskan, semua momen sudah diceritakan, dan semua ekspresi sudah diluapkan. Della kemudian memberikan respon berupa sebuah pernyataan bahwa untuk sekarang, dia bukanlah tipe orang yang bisa menjalin komitmen. Dia ingin bebas dengan jalan yang dia pilihnya sendiri, tanpa terikat dengan siapapun. Della mengatakannya dengan senyum lebar dan jenaka, yang membuat suasana tetap cair dan hangat.
“Sudah? Ada lagi yang mau diomongin?”
Della lalu bertanya pada Mike, tepat ketika pelayan bilang cafenya mau tutup. Pertanyaan ini begitu terasa berasal dari hati, layaknya seorang sahabat yang penuh rasa cinta dan peduli. Kembali lagi, Della memberikan satu gestur indah yang jarang saya lihat sebelumnya.
Pertanyaan ini dibalas Mike dengan gelengan kepala dan senyuman yang lebar. Dadanya terasa lepas, mukanya terlihat puas karena beban berat telah dia lepas, walaupun pad akhirnya harus menerima kenyataan pahit bahwa harapannya sudah kandas. Mike ikhlas.
Setelah berpisah, Mike kembali kerumah dengan satu pesan singkat yang belum terbaca di handphone-nya. Dari Della, ternyata:
Thanks for today, Mike!
It might be not easy for you, but thanks for sharing your feeling and thank you for liking my 'undetectable' sides. Be careful on your way home, don't be late for work tomorrow!
Mike membaca pesan tersebut sambil termenung. Dia tersenyum, membalasnya dengan singkat, dan pergi tidur dengan satu beban terlepas di dadanya.
Perlu dicatat, saat menceritakan kisah cintanya yang kandas Mike memberikan penggambaran yang begitu detail dan akurat. Mulai dari ekspresi mimik muka Della, percakapan yang mereka berdua lakukan, hingga gestur-gestur kecil yang dilakukan oleh Della. Mike juga bercerita dengan penuh senyum, memancarkan emosi bahagia dan sama sekali tidak terlihat canggung. Setiap detail dia ceritakan dengan perasaan nyaman, yang turut menular pada saya yang sedang mendengarnya berbicara.
Saya tidak pernah menyangka kalau saya bisa melihat seseorang begitu bahagia setelah ditolak cintanya. Secara logika, jika kita tidak bisa mendapatkan hal yang kita inginkan kita akan merasa sedih bukan? Lantas mengapa Mike terlihat tidak sedih? Apakah karena kontrol emosi Mike yang sudah matang dan dewasa?
Mungkin saja. Tapi kalau kita melihat dari cerita Mike, saya punya satu kesimpulan tambahan. Mike berhasil mendapatkan closure yang tepat dari Della, sebuah end cute yang positif dan membuat dirinya tetap bahagia walaupun cintanya ditolak.
Simetri Awal dan Akhir
Cerita Mike dan Della membuat saya sadar akan satu hal, bahwa kita secara menerus membuat satu hubungan emosional dengan setiap orang yang kita temui sampai akhirnya harus berpisah. Mau itu satu detik atau puluhan tahun, suka atau tidak suka kita jelas membuat koneksi dengan mereka.
Saya pribadi selalu menganalogikan koneksi ini dengan sebuah buku. Setiap saya bertemu dengan seseorang yang baru, saya akan membuka buku baru yang didalamnya akan saya tulis apa saja koneksi dan hubungan emosional yang saya lakukan bersamanya. Mau baik atau buruk, saya tulis semuanya tanpa sensor.
Ketika nasib memisahkan koneksi emosional saya dengan orang tersebut, saya akan berhenti menulis di buku tersebut, menutupnya dan menyimpannya di rak-rak memori saya. Jika nasib mempertemukan kami kembali, saya akan kembali membuka buku tersebut, membaca sejenak koneksi emosional apa saja yang sudah saya tulis selama ini sebelum saya mulai menulis kembali.
Menariknya, tidak semua ‘buku’ ini dapat saya buka kembali. Ada buku-buku yang hilang karena saya tidak lagi mengingat koneksi emosional yang telah saya jalin, seperti hubungan saya dengan teman-teman SD misalnya. Banyak juga buku-buku saya yang dicuri oleh orang lain, yaitu ketika orang tersebut memutuskan untuk tidak mau berhubungan lagi dengan saya. Tapi yang paling menyebalkan adalah koleksi buku saya yang punya ending menggantung; buku yang belum bisa dibilang selesai tapi terpaksa harus ditutup karena nasib memutuskan koneksi emosial yang saya punya dengan orang lain.
Menyebalkan sekali bukan?
Apalagi kalau bukunya belum selesai, terus hilang atau dicuri oleh orang lain. Duh, yang begini emang paling bangsat.
Saya — dan mungkin semua manusia lainnya — memang selalu ‘haus’ akan sebuah penyelesaian, sebuah kejelasan yang sifatnya sudah pasti. Kalau kata social psychologist Arie Kruglanski, manusia itu selalu ingin mengeliminasi ‘distress of the unknown’ dengan cara mencari cognitive disclosure. Tujuannya jelas, untuk menjawab pertanyaan yang kita punya, memberikan satu kepastian dan terbebas dari belenggu ambiguitas. Sederhananya, manusia ingin awal dan akhir yang simetris; seimbang dengan penuh kejelasan dan kepastian.
“I would claim that symmetry represents order, and we crave order in this strange universe we find ourselves in”
Alan Lightman, dalam bukunya The Accidental Universe: The World You Thought You Knew mengatakan bahwa simetri merepresentasikan keteraturan yang membuat otak kita merasa aman dan nyaman jika semuanya berjalan teratur dengan semestinya. Kita tidak menyukai sesuatu yang tidak asimetris karena otak menganggapnya sebagai tanda dari bahaya, ancaman, dan penyakit yang harus kita hindari. Inilah alasan kita benci dengan sesuatu yang tidak jelas, karena kita secara naluriah sudah menganggapnya sebagai bahaya, ancaman atau penyakit yang membuat diri kita menjadi tidak nyaman.
Kita secara tidak sadar selalu mencari ‘simetri’ dalam setiap koneksi emosional yang kita lakukan dengan orang lain. Kita ingin buku dalam rak memori yang kita tulis punya awal dan akhir yang jelas, agar kita terbebas dari ambiguitas dan dapat menutup buku dengan puas dan tuntas.
Idealnya sih seperti itu. Tapi seperti yang kita tahu, life’s is a bitch.
Kita tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kita mau. Kita harus berkompromi dengan apa yang kita dapatkan walaupun itu tidak sesuai dengan ekspektasi yang kita punya. Kita tidak bisa memaksa orang untuk menulis buku yang kita punya agar bisa ditutup dengan tuntas bukan?
Tapi dari cerita Mike dan Della, saya belajar tentang satu hal:
Jika kita tidak bisa mendapatkan akhir cerita yang jelas, kita bisa menawarkan dan memberikan akhir cerita versi kita kepada orang tersebut.
Della, dengan kebesarannya hatinya mau memberikan ‘simetri’ atau cognitive closure yang dibutuhkan oleh Mike. Della memperlakukan Mike dengan penuh perhatian, dengan cara memberikan alasan yang jelas kenapa dia tidak bisa menerima Mike. Della juga memperlihatkan Mike rasa hormat yang dia butuhkan, dia berterima kasih pada Mike karena telah berani mengungkapkan perasaanya. Dia paham kalau hal tersebut tidaklah mudah, apalagi jika berujung penolakan dan perpisahan.
Della, memberikan Mike sebuah end cute; sebuah cognitive closure berisikan emosi positif yang membuat Mike dapat menutup bukunya dengan penuh dan tuntas. Efeknya dapat terlihat dengan jelas, Della dan Mike dapat pergi melanjutkan hidup tanpa rasa menggantung sama sekali. Terasa memuaskan bukan?
Ya, saya pribadi percaya bahwa menutup buku dengan positif — dengan end cute — dapat membuat kedamaian bagi kedua belah pihak. Tidak ada yang dirugikan dengan end cute ini. Banyak teman-teman saya menjadi sahabat mantan-mantannya bahkan sampai belasan tahun hingga sekarang, karena mereka saling menerima bahwa buku mereka harus ditutup bersama-sama dengan bahagia.
Tapi bagaimana jika mereka tidak bisa menerima akhir cerita versi kita? Bagaimana jika mereka terlanjur pergi, lari, dan tidak pernah kembali?
Kalau saya pribadi sih gampang, tutup sendiri buku tersebut dengan akhir positif yang kita inginkan. Anggap saja mereka sudah ikhlas, anggap saja mereka bahagia tanpa kehadiran kita, yang berarti kita juga harus bahagia tanpa kehadiran mereka. Biarkan tulisan yang kita tulis di buku menjadi pelajaran yang selamanya ada di dalam rak-rak memori kita.
Tulis end cute yang kita mau dalam buku tersebut, berikan simetris dan cognitive closure pada buku yang kita tulis dan biarkan mereka biarkan mereka pergi dengan tenang. Bukankah dengan begitu, kita menjadi lebih siap dan lebih bahagia untuk memulai satu babak yang baru?
Jadi inget sama kutipan dari film Interstellar:
“The only way of getting somewhere, is to leave something behind’
Terima kasih sudah membaca! Senang sekali rasanya saya bisa kembali menulis sesuatu dari dalam hati. Tapi berhubung sudah lama tidak menulis seperti ini, mohon maaf jika penjelasan pada topiknya tidak sempurna ya.
Tulisan ini sebenarnya merupakan pengingat bagi saya pribadi yang sering kali egois dan mau menang sendiri, tidak peduli dengan perasaan orang yang harus berpisah dengan saya. Cerita Mike dan Della adalah satu tamparan keras bagi saya, yang selalu menganggap perpisahan selesai sebelah pihak. Saya menjadi sadar kalau saya harus mencoba memberikan end cute dengan orang-orang yang berpisah dengan saya, siapapun itu.
Saya selalu percaya bahwa jika memberikan satu emosi yang baik saat harus berpisah, semuanya akan terlihat jauh berbeda kedepannya. Tidak mudah memang mendapakan atau memberikan end cute pada orang lain. Tapi ingat kembali manfaat yang akan kamu dapat dan kamu bisa berikan; sebuah akhir yang tuntas untuk dapat memulai lembaran baru dengan bahagia.
Worth to try, bukan?