Death on the Nile (2022) — Cinta, Misteri, Dan Konsistensi Benang Merah Cerita
“That is why most great love stories are tragedies” — Agatha Christie
Menyaksikan film Death of the Nile rasanya seperti mendengar sebuah puisi. Klise romansa tradisional ini terlihat dan terasa kental di mata dan telinga, tapi tetap nikmat untuk dinikmati di masa sekarang. Saya jadi ingat ketika menonton Romeo and Juliet (1996), satu momen dimana saya mengerti untuk pertama kalinya bahwa cinta dan tragedi adalah dua sisi dari satu koin yang sama.
Saya tidak menyangka kalau saya bisa merasakan emosi yang mirip di film Death on the Nile ini, terutama jika kita membandingkan dengan film pertamanya yang juga diadaptasi dari novel Agatha Christie. Buat kamu yang belum tahu, Death on the Nile adalah film kedua yang disutradarai oleh Kenneth Branagh, yang juga berperan sebagai karakter utama yaitu Hercule Poirot.
Film pertamanya yang berjudul Hercule Poirot sempat menjadi angin segar untuk pecinta film misteri dan juga fans dari novel Agatha Christie. Dan di film keduanya kali ini, formula cast yang gemilang dan penuh bintang masih dipertahankan. Mulai dari Gal Gadot, Armie Hammer, Emma Mackey, Rose Leslie, Lettia Wright, Russel Brand hingga aktris senior Annette Bening hadir sebagai tokoh-tokoh penting yang berperan. Tentu saja, ada Tom Bateman sebagai Bouc dan Kenneth Branagh sebagai Hercule Poirot yang kembali ikut di film kedua ini.
Tapi tidak seperti film pertamanya, saya tidak menyangka bahwa kita dapat melihat sepercik sejarah masa lalu dari sang tokoh utama, Hercule Poirot. Sebagai orang yang tidak membaca novelnya, saya tidak pernah tahu siapa itu Hercule Poirot, bagaimana sejarahnya dia menjadi detektif ternama, dan kenapa dia mempunyai kumis yang sangat majestic tersebut.
Jawabannya, langsung diberikan di intro film Death on the Nile melalui adegan flashback hitam putih yang tidak hanya memperlihatkan masa lalu Hercule Poirot, tapi juga menanamkan payung besar dari film adaptasi Agatha Christie kedua yang diproduseri oleh Ridley Scott ini:
Cinta, Kematian, dan Tragedi
Dua sekuens pertama, sekuens flashback dan sekuens pada overture film merupakan sekuens adegan paling penting dalam film Death on the Nile. Karena di dua bagian inilah benang merah cerita mulai disulam dan diperlihatkan pada penontonnya, dalam dua buah bentuk cerita yang berbeda: Masa lalu Hercule Poirot dengan Katherine sang kekasihnya, dan cinta segitiga antara Linnet, Simon, dan Jackie.
Dibawah satu payung bernama cinta, kematian, dan tragedi yang sama, dua plot yang sebenarnya tidak berhubungan ini berhasil menjadi satu benang merah yang secara tidak sadar selalu dirasakan oleh penonton sepanjang film. Satu hal yang menurut saya menjadi nilai baru dari film kedua ini, karena di film Murder on Orient Express, tema payung besarnya justru malah menjadi inti cerita: bagaimana kematian anak dari keluarga Armstrong ‘melukai’ semua penumpang kereta Orient Express.
Untuk memudahkan penonton menangkap konsep benang merah cerita ini, hubungan, konflik, dan motif dari setiap karakter utama yang berperan terasa disuguhkan dalam overture film, yaitu adegan dimana Hercule Poirot bertemu pertama kalinya dengan Linnet, Simon, dan Jackie. Sangat jauh berbeda dengan di film pertama, dimana overture film terasa seamless dengan jalan cerita dan tidak punya batas yang jelas, kapan intro film berakhir, dan kapan mulai masuk alur cerita utama.
Ya, jika kita perhatikan, setiap hubungan motivasi dan latar belakang karakter benar-benar disuguhkan kepada penontonnya di awal film, semuanya. Berbeda dengan film sebelumnya, dimana hubungan setiap karakter diungkap satu per satu seiring plot berkembang menuju klimaks.
Tapi jika melihat dari bagaimana cara clue disebar sepanjang film, menurut saya pribadi misteri di film kedua ini terasa lebih intens dibandingkan film pertama. Alasan utamanya tentu saja karena jumlah korban yang lebih banyak dibandingkan film pertamanya, tapi juga karena salah satu alasan teknis lain: pemilihan shot yang diambil.
Yang saya perhatikan, pemilihan shot yang dipakai cukup cerdik. Persepsi penonton benar-benar dimainkan melalui banyak close-up shot yang memperlihatkan emosi dari karakter-karakter yang sedang berinteraksi. Membuat kita sering terkecoh, terjebak, dan terpaksa membuat asumsi sendiri sambil menebak tentang siapa pelaku dan siapa yang akan menjadi korban selanjutnya.
Alasan kedua, adalah kapan motif karakter pendukung diungkap. Jika di film pertama setiap motif karakter dikeluarkan secara gradual, di film keduanya ini justru motif karakter pendukung baru dikeluarkan dari tengah hingga akhir film. Membuat penonton bingung dan kembali mempertanyakan persepsi yang sudah diambil tentang siapa yang menjadi pelaku pembunuhan.
Hanya sutradara dan penulis terbaik yang bisa melakukannya, karena mereka tahu bagaimana caranya agar penonton terus tertarik dan merasa penasaran dari awal hingga akhir film. Sebuah adaptasi drama yang tepat, dari sebuah novel legendaris.
Dan tidak hanya itu saja, sebagai penikmat film yang tidak membaca novelnya, saya mendapatkan beberapa cinematic experience yang ciamik.
Yang pertama adalah bagaimana kita bisa melihat dan merasakan sisi emosional dan kejujuran dengan jelas dari seorang Hercule Poirot yang dikenal dingin, arogan, egosentris dan perfeksionis. Tapi alih-alih membuat karakternya terlihat jelek, kekurangan ini justru malah menjadi nilai tambah yang membuat karakter Hercule Poirot semakin menarik dan semakin berwarna.
Yang kedua, saya bisa merasakan sepercik bromance yang terasa nyata dari persahabatan Bouc dan Hercule Poirot. Buat saya yang sudah menonton film pertamanya, chemistry antara keduanya benar-benar terasa dan terlihat semakin alami di film keduanya kali ini. Ada begitu banyak ragam emosi bromance yang sebelumnya tidak pernah kita lihat di film pertama, membuat persahabatan kedua karakter ini semakin terasa nyata di benak penontonnya.
Persahabatan antara Bouc dan Hercule Poirot menurut saya pribadi memang didesain sebagai salah satu benang merah cerita. Coba perhatikan dan DENGARKAN film score yang dipakai ketika Hercule Poirot membicarakan tentang Bouc setelah ‘adegan’ tersebut. Momen bromance yang intim dan sentimental, berhasil ditampilkan di depan layar.
Secara garis besar, berkat setingnya yang jadul dan pemilihan interaksi serta penggunaan kalimat yang masih tergolong baku, saya pribadi merasakan ada sensasi puitis dari setiap narasi yang dibangun. Film drama tentang cinta dan tragedi dengan adaptasi sastra yang kental, berhasil membuat kita khidmat menikmati cerita.
Walaupun saya tidak membaca novel Death on the Nile dari Agatha Christie, saya yakin pasti ada kalimat-kalimat punchline dari versi novelnya yang masuk dan dibawa ke versi filmnya ini. Dan dari semua narasi yang dibangun, salah satu yang membuat saya kagum adalah bagaimana Kenneth Branagh selaku sutradara mampu membawa narasi cinta berjalan berbarengan satu garis dengan tema misteri, lengkap dengan momen-momen penuh tragedi. Sebuah usaha yang amat sangat sulit bagi seorang penulis.
Death on the Nile, buat saya pribadi berhasil menyajikan sebuah definisi puitis yang twisted dari sebuah cinta. Film ini adalah sebuah karya fiksi yang berhasil menunjukan bentuk lain dari cinta, sebuah emosi yang bisa mendorong orang menjadi gila, buta dengan logika, dan membuat tragedi pada dirinya sendiri demi orang yang dicintainya.
Semua ini mustahil bisa kita lihat di film Death on the Nile, jika Kenneth Branagh tidak berhasil meracik adegan yang dapat merepresentasikan konsep cinta dan misteri dalam satu benang merah yang kuat, yang dibawakan secara konsisten dari awal hingga akhir film.