Broker (2022) — Membedah Humaniora Ala Kore-eda

Ben Aryandiaz Herawan
4 min readJun 19, 2022

--

“Apa film favoritmu?”

Satu pertanyaan ini biasanya akan membuat saya termenung. Saya menjadi bingung, karena jujur saya tidak bisa memilih satu dari banyak judul film yang saya sukai. Ibarat makanan, film punya ‘rasa’ sendiri yang berbeda-beda yang semuanya saya suka, dan tergantung saya sedang ingin makan yang mana.

Entah dengan orang lain, tapi buat saya film adalah salah satu media yang saya pakai untuk merasakan emosi. Ketika saya sedang merasa sedih, marah, minim inspirasi atau sedang semangat, saya akan menonton film sesuai dengan mood yang ingin dan sedang saya rasakan.

Broker, membuat saya berekspektasi bahwa saya akan pulang dengan perasaan mellow dan sedih jika kita melihat trailernya. Saya belum pernah menonton film Kore-eda sebelumnya, jadi saya benar-benar pasrah dengan emosi yang film akan diberikan.

Dan setelah menikmati filmnya sampai akhir, entahlah.

Emosi saya campur aduk. Hati dan jiwa saya tersayat di tempat yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Bagaimana bisa film dengan bahasa sinema yang terlihat amat sangat sederhana ini dapat membuat hati terasa begitu berat setelah selesai meresapi ceritanya?

Dalam konteks cerita, menurut saya pribadi genre film drama yang slowburn adalah salah satu film paling sulit untuk dicapai dengan sempurna. Gambar yang terlalu lama atau narasi yang terlalu panjang sedikit saja, dapat langsung membuat penonton merasa bosan dan tidak tertarik untuk menikmati cerita hingga akhir film. Build up cerita harus dilakukan dengan cermat, sehingga penonton merasa penasaran secara konstan hingga film mencapai titik klimaksdengan prima.

Broker, berhasil melakukannya dengan sempurna.

Jika kita lihat secara garis besar, konsep cerita Broker seperti benang kusut dimana masing-masing karakter di dalamnya saling terlibat dan saling berhubungan satu sama lain. Tapi hebatnya, hubungan antar karakter ini benar-benar diungkap tepat pada waktunya melalui adegan dan narasi yang keluar pada momentum yang sempurna. Pacing film, benar-benar menjadi salah satu elemen cerita yang amat sangat diperhatikan oleh Kore-eda.

Perpindahan satu perspektif karakter dengan perspektif karakter lain menjadi ‘lem’ yang membuat penonton selalu konstan merasa penasaran.

Trik storytelling ini mengingatkan saya pada salah satu video dari Every Frame a Painting berjudul “How to Structure Video Essays” dimana dia membahas salah satu teknik yang digunakan oleh sutradara legendaris Alfred Hitchcock, yaitu ‘Meanwhile Back at The Ranch’. Kore-oda benar-benar menggunakan teknik ini dengan sempurna, sehingga klimaks cerita membuat rasa penasaran penonton terbayar nyaris sepenuhnya di akhir film.

Tapi apakah teknik storytelling ini cukup untuk membuat penonton gelisah gundah gulana? Tentu saja tidak.

Sebagai media audio visual, Kore-eda juga menggunakan framing dan filmscore yang benar-benar didesain untuk memberikan emosi paling nyata pada penontonnya.

Salah satu ‘rutinitas’ yang ada di film Broker adalah sekuens adegan yang panjang untuk menciptakan intimasi emosi yang dalam pada penonton. Jika Wes Anderson adalah seorang auteur dalam menciptakan perspektif visual, saya pikir Kore-eda adalah seorang auteur dalam menciptakan momen melalui framing, lighting, filmscore dan narasi dari setiap karakter yang berperan. Layaknya bumbu rahasia, 4 elemen ini berhasil membangun begitu banyak adegan monumental yang langsung terasa ‘menusuk’ emosi penonton.

Padahal, adegan yang diperlihatkan bisa saja sangat sederhana. Mulai dari adegan minum bersama teman di pantai, adegan berbincang di kereta, atau adegan menelepon di dalam mobil. Tapi berkat formula Kore-eda, adegan yang sangat biasa ini melahirkan satu emosi yang luar biasa. Bagaimana dia bisa melakukannya?

Menurut saya, ada dua sebabnya: hening dan ambience

Jika banyak sutradara menggunakan filmscore sedih dan mellow untuk memancing emosi penontonnya, Kore-eda lebih memilih memperlihatkan adegan apa adanya. Adegan ‘Terima kasih sudah lahir’ adalah contoh yang paling mudah dilihat dan dirasakan efeknya. Saya pribadi juga sangat kagum dengan adegan IU dan Song Kang-ho berbicara 4 mata di dalam kereta.
Penggunaan lighting saat melewati terowongan kereta adalah pilihan kreatif yang amat sangat cerdas. Saya juga tidak habis pikir ketika dia membuat adegan Bae Donna yang menerima telepon di dalam mobil terasa begitu intens, padahal hanya memperdengarkan suara wiper mobil dan hujan rintik.

Komposisi visual dan audio yang sempurna inilah yang membuat pertahanan penonton runtuh, jiwa kita menjadi telanjang bulat, dan pasrah dengan apa yang diberikan oleh Kore-eda dalam film Broker.

Manusia, pada hakikatnya selalu mencari katarsis. Kita semua butuh penyelesaian, konklusi, rasa pasti, rasa aman dan nyaman untuk membuat hati tenang. Tapi disisi lain, kita juga selalu ingin mencari tantangan baru untuk memuaskan rasa dahaga yang tercipta akibat rasa penasaran di otak kita.

Kita ingin tahu apakah sesuatu hitam atau putih, tapi jika kita ingin tahu, kita harus mengalami proses penuh dilema yang pasti akan mengacaukan hati dan emosi. Sebuah paradoks kompleks dan pasti menjadi bagian dari perjalanan hidup seorang manusia.

Konsep inilah yang dimainkan oleh Kore-eda, bagaimana dia berhasil menggunakan kemampuan alami manusia dalam menilai dan merasakan emosi menggunakan bahasa sinema yang luar biasa. Hal ini jugalah yang membuat Broker dan film-film Kore-eda berbeda dan mungkin tidak bisa dinikmati semua orang. Ketika sutradara lain fokus pada kompleksitas visual dan cerita, Kore-eda lebih memilih untuk bermain bagaimana setiap adegan dapat memberikan emosi yang nyata untuk penontonnya.

Saya pikir cara itu sudah berhasil dia lakukan, dan membuatnya berada di kelasnya sendiri. Mungkin karena alasan ini jugalah, tidak semua orang dapat mengerti, mengagumi, dan menikmati film Broker dengan sepenuhnya.

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet