Banjir Kering Film Horor Indonesia

Ben Aryandiaz Herawan
9 min readMay 22, 2023

--

Pintu terbuka dengan pelan, lengkap dengan bunyi menyeramkan dari engsel besi yang tua. Bondi yang bersembunyi di bawah tempat tidur menahan napas dengan ketakutan, ketika melihat kaki yang busuk melangkah di depan mukanya.

Ketika adegan ini datang, saya masih ingat kalau saya sedang meracau, merapal doa sambil ketakutan setengah mati di dalam bioskop. Pengabdi Setan, memang bisa dibilang sebagai salah satu film horor terbaik dari Indonesia.

Film remake karya Joko Anwar yang rilis tahun 2017 ini berhasil menjadi urutan ke-8 dari film tersukses di Indonesia. Sekuelnya bahkan menempati urutan ke-3. Dan kamu tahu fillm apa yang duduk di peringkat pertama? KKN di Desa Penari, dengan jumlah penonton mencapai lebih dari 10 juta.

Horor, memang jadi genre primadona di Indonesia. Secara bisnis, genre ini menggiurkan. Tidak heran kalau ada begitu banyak production house yang menganggap horor adalah formula yang ‘mudah’ untuk mendapatkan penonton. Tentu demikian, karena masyarakat Indonesia memang terkenal klenik dan doyan dengan mistis.

Saking doyannya, hampir setiap bulan ada setidaknya 2 film horor lokal yang rilis di bioskop. Ini memang jadi sebuah tanda kalau minat menonton horor Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Satu hal yang bagus, tapi menurut saya mengundang masalah baru akibat terlalu banyak film horor yang beredar: keruhnya varietas.

Dari sisi naratif, film horor Indonesia terasa jenuh dan keruh. Plot dan formula cerita yang dipakai tidak jauh berbeda satu sama lain, dimana film biasanya mengangkat satu hantu atau fenomena supernatural yang menyebabkan banyak orang diburu dan terbunuh. Dari segi visual, film pun biasanya hanya sekedar bermodalkan tampang seram dan jump scare saja. Tidak ada penggunaan Shepard’s tone yang kreatif, semua elemen dimaksimalkan untuk memberikan efek kaget maksimal.

Membayangkannya pun membosankan bukan?

Narasi terasa kurang dalam, tidak ada detail pada desain karakter. Perspektifnya pun terasa selalu sempit, emosinya selalu sama, visualnya seragam dan pola cerita selalu sebangun. Tidak semua memang, tapi kebanyakan seperti ini. Tidak heran banyak penonton film Indonesia yang mengeluh:

“Horor lagi, horor lagi!”

Tidak hanya produk filmnya, dari segi pemasaran pun sama jenuhnya. Semua film horor — tidak peduli karakter atau plot ceritanya — dipasarkan dengan cara yang sama: poster dengan foto hantu yang menyeramkan sebagai vocal point dan font miring dengan warna merah. Tidak lupa juga judul film yang ingin terkesan menyeramkan, tapi buat saya malah sering kali jadi menggelikan.

Ini yang saya sebut dengan banjir kering.

Indonesia kebanjiran banyak judul film horor, tapi kering dari segi varietas, kualitas, segmentasi, formula cerita, sampai promo film. Tidak heran, banyak penonton mengeluh karena rasanya tidak ada yang jauh berbeda dari satu film horor Indonesia dengan film horor Indonesia lainnya.

Saya yang bahkan bukan penggemar film horor bisa turut merasakannya.

Tapi di tengah banjir kering ini, ada satu rintik yang datang dan menyegarkan ranah film horor Indonesia. Judulnya Inang, sebuah film horor yang disutradarai oleh Fajar Nugros.

Inang

Inang, buat saya adalah setitik oase dari banjir kering film horor Indonesia.

Kalau boleh jujur, saya pesimis ketika diundang oleh IDN Pictures untuk menghadiri press conference dan screening film Inang. Alasannya jelas, trailer dan bentuk posternya membuat Inang sama seperti film horor Indonesia yang sudah-sudah; ceritanya sempit dan hanya modal jump scare semata.

Tapi setelah saya tonton, saya terkejut karena apa yang dipromosikan jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan. Inang, ternyata berada punya kelasnya sendiri di jajaran film horor Indonesia.

Dari segi visual, Inang berhasil menarik perhatian penontonnya dengan menghadirkan sekuens-sekuens yang misterius berkat karakterisasi yang kuat dan pembangunan suspens yang lembut, melalui shot-shot yang mengundang tanda tanya. Inang cermat dalam menahan dan memperlihatkan emosi ekplisit dan implisit, dan framing yang digunakan memang terasa intensinya oleh penonton.

Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh film horor Indonesia, yang kebanyakan menggunakan pendekatan ‘pokoknya harus seram mencekam’ dan tidak peduli dengan visual bercerita. Inang berhasil memberikan misteri dan suspense tanpa harus bersusah payah meyakinkan penonton.

Tapi buat saya, yang jadi juara dari film Inang justru bukan visualnya, tapi justru terspektif cerita yang dipilih dan ploting cerita yang dibangun yang membuat Inang punya kelasnya sendiri.

Alih-alih menggunakan formula cerita horor tentang tokoh hantu yang sempit, Inang memilih menggunakan narasi mitos yang terasa lebih misterius, lebih abstrak, dan jelas lebih luas sehingga cerita lebih mudah untuk dikembangkan.

Narasi mitos inilah yang membuat film Inang terasa segar dibandingkan film horor Indonesia lain. Tidak ada hantu yang menyeramkan dan mengejar-ngejar karakter di dalamnya, sehingga cerita bisa fokus membangun misteri secara utuh dan menyeluruh.

Inang jadi bukti nyata, bahwa sebenarnya bisa kok film horor Indonesia itu terasa menakutkan tanpa harus menjual hantu yang menyeramkan. Cukup pilih perspektif narasi yang tepat dan ploting cerita yang cermat, maka kesan horor bisa dicapai dengan akurat pada penontonnya.

Ya, plotting formula cerita di film Inang juga jadi pembeda dengan film horor Indonesia lain. Jika biasanya film langsung masuk dan mengeksplorasi kisah dan karakter mistisnya, Inang justru menggunakan sepertiga awal filmnya untuk membangun karakter Wulan. Barulah dua pertiga sisanya membangun tema mitos dan misteri dibelakangnya.

Sebuah cara yang unik, karena dengan begini elemen horor dan suspense dibangun perlahan melalui perspektif Wulan, bukan dari perspektif eksternal pada umumnya.

Ini yang menurut saya membuat film Inang berbeda, karena formula cerita yang dipakai sama seperti saat kita menonton film Heraditary dan Midsommar dimana cerita dibangun dari kacamata sang karakter utama.

Untuk penonton yang bukan penggemar film horor seperti saya, efeknya bisa dibilang dahsyat. Saya jadi konstan penasaran karena semakin film berjalan, semakin dalam dan semakin banyak misteri yang tersembunyi. Saya begitu menikmati bagaimana cerita berjalan naik turun, belok kiri dan kanan hingga menanjak dan menukik tajam di sepertiga film terakhir.

Dengan melihat hasil akhirnya, Inang bukan hanya sebatas film horor saja. Inang berhasil jadi sebuah film horor yang punya cerita yang segar serta storytelling yang unik, jauh dari kata jenuh dari film horor Indonesia pada umumnya.

Inang, buat saya adalah sebuah contoh pondasi yang tepat untuk memulai gerakan revolusi mistis di genre film horor Indonesia.

Revolusi Mistis

Mungkin bulan Februari, ketika waktu itu itu saya diundang oleh Vidio untuk menghadiri press conference dan screening Kitab Kencan. Dengan tanpa diduga dan persiapan sama sekali, saya berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu produser ternama Indonesia yang melahirkan serial Tetangga Masa Gitu dan Kitab Kencan, yaitu Chetan Samtani.

Dari banyak topik, kami sempat berbincang tentang genre horor yang jadi primadona di industri film Indonesia. Chetan Samtani mengatakan, salah satu kekurangan dari industri film Indonesia adalah budaya FOMO, terutama di genre horor yang memang populer untuk mendulang uang berkat audience yang sudah terbentuk kuat. Ketika satu formula berhasil, yang lain pasti akan meniru sehingga formula tersebut akan cepat jenuh.

Tapi uniknya, ketika saya bertanya bagaimana mengubah arah audience untuk beralih dari horor yang rasanya sudah jenuh ini, beliau justru tidak setuju:

“No. It doesn’t have to be diverted. Let it breed, let it grow. I even want Indonesian to be a horror specialist in the world. Indonesian horor content have so much potential, and there’s already huge foreign interest on Indonesian content because the amount of consumption is ridiculously high”

Saya sedikit terdiam, dan bingung kenapa tidak terpikir jawaban ini sebelumnya. Melihat audiens yang sudah kuat, sudah sepantasnya kita harus bisa memanfaatkan peminat dan penggemar film horor indonesia untuk membuat genre film ini lebih berkualitas lagi. Dan saya percaya, salah satu caranya adalah dengan apa yang saya sebut dengan revolusi mistis.

Emosi apa saja yang kamu rasakan ketika melihat gambar di atas? Apakah hanya ketakutan?

Selama ini saya merasa kalau makna mistis di genre film Indonesia Indonesia seakan-akan hanya punya satu arti: horor yang menyeramkan, mengerikan, dan membuat ketakutan. Perspektifnya singular, sehingga persepsi penonton terhadap film horor Indonesia pun turut singular. Apapun judulnya, bagaimanapun bentuknya, film horor Indonesia rasanya seakan punya ‘rasa’ dan cinematic experience yang sama.

Padahal kalau kita berkaca dari film horor luar, tema dan arti horor itu sangat beragam dan punya perspektif yang jauh lebih luas.

Film horor bisa dibuat dalam bentuk yang menegangkan dan super serius dengan dibalut elemen misteri sehingga membuat penonton sangat penasaran, seperti yang dilakukan di film The Skeleton Key (2005), 1408 (2007) atau The Others (2001), film horor misteri pertama yang saya tonton.

Tidak hanya rasa tegang, film horor juga bisa menyatu padu menggunakan elemen petualangan yang seru dan memacu adrenalin seperti yang dilakukan di film Hansel dan Gretel (2013), The Pope’s Exorcist (2023) atau Constantine (2005), yang sampai sekarang jadi salah satu film horor fantasi terbaik yang pernah saya tonton.

Selain ekpansi genre horor yang masih minim, lokasi adaptasi horor Indonesia pun masih terasa sangat Jawa-sentris. Rasanya bisa dihitung dengan jari berapa film horor Indonesia yang mengambil tema, kultur, atau tokoh dari luar pulau Jawa. Saya pribadi bahkan tidak bisa menyebut satu judul film horor Indonesia yang mengambil latar budaya luar pulau Jawa.

Dan jika dilihat dari segi storytelling, Indonesia jelas membutuhkan formula cerita film horor yang lebih luas, lebih dalam dan harus lebih beragam.

Satu hal yang bisa dilakukan, adalah dengan memadukan dan membuat irisan genre horor dengan genre lain. Seperti misalnya, menggabungkan genre horor dengan genre misteri. Ada begitu banyak cerita di seluruh Indonesia yang bisa kita ambil sebenarnya. Sebagai contoh, kita bisa mengeksplorasi cerita tentang Desa Karang Kenek yang hanya ‘bisa’ dihuni oleh 26 kepala keluarga saja.

Atau jika ingin memadukan genre horor dengan petualangan, kita juga bisa mengangkat cerita tentang eksplorasi sebuah tim yang sedang menyelidiki kota misterius Saranjana. Bayangkan, betapa banyak keseruan, ketegangan, dan misteri yang bisa diangkat dari satu premis ini.

Tidak terbatas menegangkan dan menakutkan, elemen horor pun bisa kok dikembangkan menjadi satu cerita yang seru, menginspirasi sekaligus menegangkan dengan memadukannya bersama genre sci-fi. Ceritanya? Buat sebuah kisah fiksi tentang piramida tertua di Gunung Padang, balut dengan horor fantasi supernatural.

Ada begitu banyak cara untuk mengekspansi dan mengekplorasi cerita horor sebenarnya, apalagi Indonesia sudah punya sumber daya berupa budaya dan kultur yang sangat kaya dan beragam.

Tapi tentu saja, sumber daya budaya yang sangat melimpah ini akan sia-sia jika tidak ada yang memanen dan menggunakannya. Tidak akan juga jadi satu produk yang berkualitas jika tidak dibuat, tidak diproses, dan tidak dipasarkan dengan tepat. Makanya, cara film dijual pun harus turut dibenahi, dan disesuaikan dengan irisan genre film yang dibuat.

Karena jujur saja, satu hal yang membuat saya pesimis ketika menonton film Inang adalah bagaimana materi film ini dipasarkan: poster yang dibuat frontal secara menakutkan, lengkap dengan font seram tipis berwarna merah darah. Rasa pesimis yang sama juga datang ketika saya diundang screening untuk film Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji.

Saya super duper pesimis karena melihat trailer dan posternya, yang ternyata setelah ditonton film ini punya premis bagus yang sangat menjanjikan. Saya membayangkan berapa banyak calon-calon penonton yang sama seperti saya: tidak jadi membeli tiket menonton hanya karena sudah pesimis duluan melihat poster dan trailer yang itu-itu saja.

Sayang, seribu sayang.

“The first guy through the wall. It always gets bloody, always. It’s the threat of not just the way of doing business, but in their minds it’s threatening the game”

Satu kutipan dari film Moneyball (2011) di atas rasanya bisa menyimpulkan apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri banjir kering film horor Indonesia. Memang akan sangat sulit untuk mendobrak formula film horor yang ‘aman’ agar bisa membuat genre ini bisa berkembang secara utuh. Tapi jika tidak ada yang pernah mau atau berani mencoba formula baru secara masal, industri film horor Indonesia rasanya akan diam pada tempatnya.

Tidak perlu harus langsung bagus, tidak perlu harus produksi dengan budget yang fantasis, kita hanya perlu rumah produksi dan sineas film mulai berani memberontak dari formula cerita horor yang sudah jenuh, membuat film-film dengan formula cerita yang lebih beragam agar bisa jadi efleksi dan pondasi cerita bagi revolusi mistis satu dekade ke depan.

Saya adalah orang penakut. Saya anti dan sangat enggan menonton film horor, apalagi horor Indonesia karena ketakutan saya. Tapi walaupun begitu, saya 100% yakin dan percaya dengan apa yang dikatakan oleh Chetan Samtani: genre film horor bisa jadi salah satu specialty sinema Indonesia jika benar-benar dikembangkan dengan tepat.

Saya siap berteriak dan berkeringat dingin sepanjang film, jika itu bisa membantu film horor Indonesia berkembang hingga dikenal seutuhnya oleh dunia.

Karena itu, mari canangkan revolusi mistis di Indonesia!

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet