Army of The Dead (2021): Setengah Aksi Komedi, Setengah Jadi
Penafian; artikel ini berisi spoiler dari film Army of The Dead (2021) dan opini pribadi yang punya perspektif berbeda dari orang lain
“Do it. Doooo iit!!”
Rorschach berteriak dengan lirih di tengah badai salju, dimana detik selanjutnya dia berubah menjadi ceceran daging dan darah setelah dibunuh oleh Dr. Manhattan dengan satu gerakan tangan. Terlihat raut sedih dan bersalah, tapi sang Dewa Biru harus melakukannya demi kedamaian dunia.
Tentu kamu sudah tahu bukan salah satu adegan klimaks yang ada di film Watchmen (2019)? Film yang diadaptasi dari komik dengan sempurna ini adalah awal mula saya begitu mengagumi Zack Synder sebagai seorang sutradara.
Bagaimana dia bisa memperlihatkan shot-to-shot yang nyaris serupa dengan versi komiknya, bagaimana dia membangun setiap karakternya, dan bagaimana dia membentuk persepsi dan nilai ideologi dalam setiap benak penontonnya. Bagi saya, hanya seorang sutradara yang punya visi dan misi yang jelas yang bisa melakukannya, yang dalam film Watchmen kita bisa melihat dan bahkan merasakan apa yang mau dicapai oleh seorang Zack Synder.
Tapi ketika saya menonton film Army of The Dead (2021), saya malah meragukan rasa kagum yang saya miliki sebelumnya.
Ini film bener Zack Synder yang bikin?
Kontras Kualitas Visual dan Cerita
Beneran deh, saya bingung dengan apa yang saya lihat sepanjang film.
Secara visual, film Army of The Dead ga kalah keren dengan film-film aksi bertema zombie macam World of The Dead atau I Am Legend. Bahkan bisa dibilang lebih keren karena seting cerita yang saya pribadi merasa lebih totalitas dibandingkan film lainnya. Kita bisa ngerasain gimana panasnya Las Vegas berkat lighting yang natural dan kacau balaunya kota setelah porak poranda akibat serangan Zombie. Seting cerita yang diperlihatkan emang detail, baik secara makro maupun kalau kita lihat secara close-up.
Apalagi, kalau kita ngomongin kualitas zombienya. Ga cuman dari kostum dan make-up yang dipakai, bahasa tubuh dari para zombie — terutama para zombie alpha — juga ciamik dan kayanya emang diperankan oleh aktor yang berkualitas. Kelihatan dan kerasa dengan jelas kalau zombie udah bertransformasi jadi semacam binatang yang punya perilaku dan perangai sendiri.
Teknik sinematografinya juga ga perlu diragukan lagi.
Ada banyak shot atau adegan yang mampu memperlihatkan emosi karakter dengan optimal. Shot battle cry yang dilakukan oleh King Alpha Zombie (zombie yang pakai topeng anti peluru) ketika menemukan anaknya mati bikin saya merinding. Saya juga melihat beberapa shot eksperimental yang menggunakan apa yang saya sebut sebagai overblurry shot yang cukup membuat saya penasaran, apa alasan Zack Synder menggunakan teknik ini?
Mungkin buat nunjukin layers of depth, mungkin juga karena film ini merupakan film pertama dari Zack Synder yang di-shot secara digital. Teknik visual ini memang membuat adegan terasa dramatis sih, tapi entah kenapa karena digunakan terlalu sering dan terlalu banyak, saya malah seperti sedang menonton JAV yang menggunakan teknik serupa untuk menyensor sekeliling artis ketika syuting di daerah perkotaan.
Tapi salah satu elemen visual yang membuat saya terkejut adalah bagaimana elemen gore yang ditampilkan terlihat nyata dan menyakitkan, persis seperti apa yang saya rasakan ketika melihat fatality di Mortal Kombat. Mulai dari bagaimana King Alpha Zombie menggigit rahang si tentara di awal film, adegan menghancurkan zombie dengan machine gun, sampai dengan Valentine yang ‘bermain’ dengan si penghianat Martin sebelum akhirnya dipecahkan kepalanya seperti kacang rebus. Benar-benar penuh darah, dan terasa memuaskan.
Intinya, saya sama sekali tidak meragukan kualitas gambar dan efek dari film Army of The Dead ini. Semuanya sudah optimal, top notch, prima dan bisa memperlihatkan kemana budget produksi sebesar 90 juta Dollar tersebut.
Tapi sayangnya, kualitas visual yang diberikan tidak diimbangi dengan kualitas cerita yang ada. Seperti apa yang teman saya bilang:
“I keep forgetting that this movie is made by Zack Snyder, not just some ordinary B movie from Netflix because of how mediocre the story is”
Saya setuju seribu persen dengan pernyataan ini. Kenapa? Karena jika dibandingkan dengan masterpiece Watchmen, Justice League Synder Cut, Sucker Punch dan film hit Zack Snyder lainnya, cerita Army of The Dead jauh banget kualitasnya. Bahkan di tengah film saya sampai pencet pause dan cek IMDB Zack Synder, ini beneran dia yang tulis filmnya?
Film dibuka dengan overture yang dibuat secara unik, vibes film Watchmen yang memperlihatkan intro karakter melalui sebuah lagu kembali dipakai dalam film ini. Penonton diperlihatkan backstory yang cukup jelas dan bahkan mengecoh, karena ternyata karakter yang diperkenalkan di depan tidak semuanya menjadi tokoh utama.
Oke, sebuah cara yang tidak lazim, tapi tetap unik dan menarik.
Tapi yang jadi masalahnya, overture film yang diberikan pada intro tidak serupa dengan apa yang diberikan pada penonton sampai akhir film. Mood, persepsi dan ekspetasi yang diberikan pada penonton jauh melenceng. Saya seperti dibuat bingung secara konstan, tidak tahu apakah harus merasa tegang dan penuh dengan adrenalin ,atau tetap santai seperti saat kita menikmati film aksi komedi.
Saya pikir gambar dibawah dapat merepresentasikan perspektif yang saya punya dan apa yang saya rasakan sepanjang menonton film ini:
Filmnya punya elemen gore? Ada.
Karakternya saling melemparkan jokes? Iya.
Ada zombie yang pintar dan mengerikan? Jelas.
Komedi diperlihatkan secara konstan? Tentu.
Inilah kenapa saya bilang plot cerita yang diambil membuat penonton kebingungan. Tidak ada patokan mood cerita untuk penonton yang bisa dipegang dengan teguh sepanjang film. Tidak ada kejelasan apakah film ini termasuk film zombie bergenre komedi seperti film Shaun of The Dead, Zombieland, atau Warm Bodies, atau film zombie aksi thriller yang menegangkan seperti World War Z, Train to Busan atau I Am Legend.
Ada kontras yang sangat signifikan antara satu adegan komedi dengan adegan gore. Waktu jeda antara dua tipe adegan ini terlalu singkat, sehingga penonton bingung bagaimana harus bereaksi dan memberikan respon pada adegan tersebut; apakah harus tetap tertawa, atau tegang terpana.
Mungkin Zack Synder ingin mencoba fusion yang seimbang antara aksi dan komedi. Tapi entahlah, saya malah merasa jadi bingung karena ketiadaan hook emosi yang jelas antara aksi dan komedi ini. Hasilnya, malah membuat saya tidak fokus, tidak konsentrasi dan tidak nyaman sepanjang film karena ada yang mengganjal. Saya sebagai penonton jadi bertanya sepanjang film, apalagi setelah melihat dengan jelas adegan bagaimana Chambers mati.
Oh, persetan dengan narrative logic!
Mari Bicara Tentang Narrative Logic
Pernah ga kamu merasa kesal ketika melihat keputusan yang diambil seorang karakter dalam sebuah film? Kaya si A yang sok ngide cari tau suara di film horor terus mati, atau si B yang kekeuh pengen pindah ke rumah tua padahal udah horor, serem, bekas pembunuhan, dan banyak hantunya.
Nah, kemarin saya baru baca-baca kalau ini adalah yang dinamakan narrative logic (CMIIW). Dari laman Wikipedia, narrative logic adalah sebuah tools untuk menciptakan persepsi dan ekspektasi dari aksi dan keputusan yang dilakukan oleh seorang karakter dalam satu adegan. Misalnya, ketika si A membuka laci dan penonton diperlihatkan sebuah pistol, kemudian karakter tersebut terdiam sejenak dan menutup laci tersebut, akan tercipta sebuah persepsi bahwa si A tidak jadi menggunakan pistol tersebut untuk melakukan sebuah aksi ke depannya.
Intinya, narrative logic berfungsi untuk mentransfer logika dalam film pada penontonnya. Tapi sayangnya, saya pribadi merasa Army of The Dead benar-benar tidak memperhatikan narrative logic untuk penontonnya. Banyak sekali kejadian yang sangat tidak masuk akal, seakan-akan menganggap penonton sama sekali tidak punya logika dasar untuk menilai sebuah keputusan.
Ada banyak sekali keputusan karakter yang saya rasa benar-benar di luar logika dasar. Banyak sekali.
Salah satu yang pertama saya lihat adalah adegan ini, adegan dimana mereka keluar menuju kota Las Vegas dan tidak menutup kembali pintu akses (yang mungkin satu-satunya) yang sebelumnya ditutup oleh palang untuk mencegah zombie masuk. Logika dasar yang sederhana, tapi terlewat begitu saja.
Tapi buat saya, tidak ada yang mengalahkan logika dari tim pemburu 200 juta Dollar ini ketika salah satu anggota timnya sedang berjibaku melawan zombie pincang yang lamban dan mudah dikalahkan di depan mata mereka, dengan senjata lengkap dan siap tembak. Ya, saya berbicara bagaimana karakter Chambers malah mati sia-sia setelah berjuang selama lebih dari 5 menit sendirian tanpa ditolong teman-temannya.
Lihat bagaimana mereka terdiam dengan senjata lengkap tanpa berusaha menolong temannya yang terlihat sangat jelas masih mencoba melawan dan belum tergigit oleh zombie pincang yang lemah? Lawannya zombie pincang lho, yang dari awal film sudah kita lihat cukup dibunuh menggunakan satu peluru!
Tapi tidak, mereka malah diam menonton dengan tenang. Tidak ada urgensi atau adegan rusuh ketika menemukan anggota tim mereka sedang diserang oleh zombie pincang. Tidak terlihat emosi panik, tidak ada adrenalin, tidak ada senjata yang di arahkan ke zombie yang menyerang Chambers, semua orang dibelakang terpaku dengan tenang seperti sedang menonton gulat.
Melihat adegan ini, saya angkat tangan.
Saya sudah tidak punya ekspektasi apa-apa lagi dari film Army of The Dead ini. Saya sudah pasrah menerima apapun cerita yang disajikan oleh Zack Synder. Ekspektasi saya sudah berada di titik paling rendah.
Dan benar saja, semakin lama saya menonton, semakin saya menganggap bahwa film ini sama sekali tidak peduli dengan narrative logic. Mulai dari bagaimana Kate yang dengan sangat mudahnya menemukan ruangan dimana Geeta disekap padahal mereka berada di gedung yang sangat luas, adegan romansa Scott dan Maria yang sebenarnya sangat tidak perlu ketika bom nuklir akan jatuh 20 menit lagi, atau adegan dimana Scott kesusahan menggeser kasur yang menahan pintu darurat.
Oh satu lagi yang juara: adegan bertatap-tatapan dengan mesra antara Kate dan Scott ketika mereka berhasil keluar yang padahal bom nuklir akan jatuh dalam hitungan menit. Kalau tertarik untuk melihat apa lagi adegan cacat logika yang ada di film ini, saya sudah merangkum beberapa diantaranya di catatan yang sudah saya buat:
“Tapi Ben, kan ini film fiksi. Ngapain lu mikirin logika?”
Menurut saya, logika dasar yang diperlihatkan dengan tepat akan membuat penontonnya merasa terkoneksi secara nyata dengan karakter yang ada pada film. Semakin penonton bisa memahami keputusan yang dibuat oleh karakter, semakin kuat koneksi emosinya, dan semakin berkesan film tersebut di benak penontonnya.
Mungkin Zack Synder sengaja tidak menggunakan narrative logic yang baku untuk mengecoh penontonnya, supaya tidak ada yang bisa menebak bagaimana film akan berakhir.
Efektif sih, efektif banget malah sampai-sampai saya jadi bingung sendiri karena semua ekspektasi saya di awal melenceng dan terlempar jauh. Tapi ya itu, buat saya pribadi film ini rasanya jadi ga jelas dan malah meninggalkan kesan yang aneh dan negatif di benak saya sebagai penonton.
Tapi tolong dengan sangat, jangan percaya 100% dengan apa yang saya tulis. Saya bahkan sangat merekomendasikan film Army of The Dead ini jika kamu memang tertarik dengan film-film buatan Zack Synder, senang dengan film bertema zombie, atau doyan dengan genre film action heist. Tapi saran saya sebelum menonton film ini, jangan pernah berekspektasi dan berspekulasi terlalu jauh ya!