A Quiet Place Part II (2021) — Sebuah Kepuasan Hakiki dari Krasinski

Ben Aryandiaz Herawan
9 min readJun 3, 2021

--

Tahukah kamu kalau script dari A Quiet Place pertama menggunakan format yang jauh dari kata biasa?

Seperti yang bisa kita lihat dari channel ini, John Krasinski memang sedari awal menciptakan cerita A Quiet Place dengan cara yang unik, mulai dari bagaimana karakter berkomunikasi dengan cara yang sangat terbatas, hingga bagaimana menciptakan adegan yang menegangkan dengan minim suara.

Berbeda dengan sutradara lain yang fokus pada gimmick, product value dan sensasi aktor dan aktris yang berperan di dalam filmnya, John Krasinski justru fokus pada dua hal: kualitas dan totalitas. Baik dari pemilihan aktor, pemilihan plot cerita, sinematografi hingga seting film, dia berhasil menghipnotis penontonnya untuk duduk diam menikmati cerita, sampai takut mengeluarkan suara.

Dan di film sekuelnya kali ini, saya rasa penonton mendapatkan satu hal tambahan yang tidak diduga sebelumnya: sebuah kepuasan menonton yang hakiki

Sebuah Klise Segar

“The pretty woman, the pretty man, the first kiss, the break up, the make up, they drive off into the sunset. Everyone knows it’s fake but they watch it like it’s real life”

Melihat narasi dari film Don Jon di atas, kita semua tahu kalau klise plot cerita tersebut umum digunakan pada film romansa. Sebuah formula semi-baku yang membentuk ekspektasi penonton, yang biasanya berujung pada akhir yang bahagia selamanya untuk dua karakter yang terlibat romansa.

Ini, adalah yang dinamakan sebuah movie trope.

Movie trope adalah alat bercerita tematik yang memudahkan penonton untuk menangkap konsep cerita yang disajikan oleh sebuah film, melalui pengulangan adegan yang sejenis pada film dengan genre serupa. Seperti misalnya, kebodohan karakter pendukung yang mati sia-sia di genre film horor, atau adegan mengorbankan diri demi menyelamatkan temannya di film aksi. Hampir setiap genre memiliki movie trope-nya masing-masing yang dapat dikenali dengan mudah oleh penontonnya.

Lalu bagaimana dengan movie trope di film sci-fi horror bertema post-apocalyptic seperti A Quiet Place Part II ini? Ada banyak sebenarnya, mulai dari adegan menemukan cara untuk membunuh alien atau monster yang menjadi antagonis dalam film, atau adegan dimana para protagonis harus bersembunyi dan bermain petak umpet dengan monster tersebut.

Tapi kalau kita bicara lingkup cerita yang lebih luas, ada satu klise yang menurut saya sangat sering digunakan dalam film sci-fi bertema post-apocalyptic : bagaimana kehidupan dan perilaku masyarakat luas setelah wabah atau bencana terjadi. Hal ini bisa kita lihat di beberapa film seperti The Book of Eli, I Am Legend, Waterworld, The Road, City of Ember, hingga Children of Men yang memperlihatkan adanya perubahan struktural yang ekstrim dalam kehidupan bermasyarakat akibat wabah atau bencana yang terjadi.

Buat saya pribadi, movie trope yang menggunakan klise ini pada sebuah sekuel film akan membuat cerita terasa monoton, mudah ditebak, dan membosankan. Rasanya penonton sudah hafal dengan plot cerita yang memperlihatkan kalau masyarakat post-apocalyptic hidup dengan hukum rimba: ada yang menjadi raja dan ditakuti oleh semua orang, ada yang menjadi budak, dan ada yang menjadi tumbal untuk raja tersebut.

Contoh paling mudah, silahkan lihat Train to Busan dan Peninsulla, lalu bandingkan kualitas cerita keduanya.

Nah, awalnya saya pikir sekuel A Quiet Place akan mengambil perspektif klise yang serupa, tapi nyatanya John Krasinski selaku penulis dan sutradara tidak terjebak pada klise plot ini dan justru memberikan penonton sebuah klise yang segar, walaupun konflik yang diberikan tetap sama seperti film pertama.

Hal ini bisa penonton rasakan pada overture yang membuka film dengan apik; 5 menit adegan prequel yang padat dan sangat menegangkan, yang menyambung dengan detik berakhirnya film pertama. Transisi cerita yang sangat seamless antara prequel dan sekuel membuat penonton seakan-akan seperti tidak beranjak dari tempat duduk bioskop 4 tahun silam, apalagi dengan memperlihatkan cameo dari si paku yang menjadi ‘bintang’ di film pertama.

Sebuah cinematic experience yang baru pertama kali saya dapatkan dari film A Quiet Place Part II.

Dan hebatnya, rasa puas yang saya rasakan ini tidak hanya saya dapatkan di awal film saja. Saya bisa melihat sekaligus merasakan bahwa John Krasinski memang mendesain plot cerita film ini dengan sangat matang, bagaimana penonton dibuat tetap tegang, tetap fokus, dan tetap memperhatikan setiap detail dari elemen cerita. Setiap shot yang diperlihatkan sangat efektif, tidak ada adegan yang terasa sia-sia karena penonton bisa dengan sangat mudah mengerti narrative logic yang diperlihatkan dalam film.

John Krasinski mampu mempertahankan ekspektasi dan fokus penontonnya dari awal hingga akhir menggunakan dua hal: POV (Point of view) Regan Abbot dan tracking shot yang sering digunakan sepanjang film.

Tidak dipungkiri kalau salah satu yang membuat film A Quiet Place begitu unik dan menarik adalah perspektif unik yang membuat penonton ikut merasakan apa yang Regan Abbot rasakan; tidak bisa mendengar suara sekecil apapun tanpa alat pendengar. Sebuah teknik yang sederhana tapi sangat efektif untuk ‘menarik’ masuk penonton ke dalam film dan ikut merasakan ketegangan dari perspektif Regan Abbot.

Baik di film pertama maupun film sekuelnya, perspektif POV yang menjadi ciri khas dari film A Quiet Place tetap digunakan dengan proporsi yang sangat pas, tidak berlebihan namun tidak terlalu sedikit. Dengan tetap menjaga ‘tradisi’ ini lahotentitas dari film A Quiet Place tetap terjaga yang sekaligus membuat cerita tetap imersif untuk dinikmati penontonnya.

Tidak hanya membawa kembali apa yang berhasil dari film sebelumnya, John Krasinski juga memberikan sesuatu yang baru untuk penonton, yang saya baru sadari setelah mengingat dua episode dari Every Frame of Painting tentang camera panning: bagaimana sebuah gerakan kamera sederhana dapat membuat banyak emosi dalam sebuah adegan cerita.

Jika kita memperhatikan dengan detail shot-shot yang digunakan sekuel A Quiet Place, banyak yang menggunakan tracking shot dengan beragam kecepatan, mulai dari adegan lari yang penuh adrenalin ketika keluarga Abbot dikejar oleh sang monster, atau adegan ‘petak umpet’ yang memaksa penonton untuk duduk diam tegang dan tanpa suara. Dan uniknya, John Krasinski sering kali menggunakan kaki dari para pemainnya sebagai objek in-frame.

Saya tidak tahu apakah John Krasinski punya fetish yang serupa dengan Quentin Tarantino yang doyan menampilkan kaki aktris di film-filmnya. Tapi yang saya tahu, shot yang memperlihatkan kaki dari para karakternya mampu menangkap perjuangan sangat berat mereka untuk bisa bertahan hidup. Adegan dimana keluarga Abbot harus keluar dari jalur setapak yang sudah ditandai misalnya, menjadi sebuah adegan simbolis bahwa mereka harus meninggalkan masuk ke hutan rimba.

Begitu juga dengan adegan ketika Regan Abbot pergi sendiri untuk mencari pulau pengungsi, atau ketika Emmet tertangkap oleh para penghuni pelabuhan. Semua camera panning yang digunakan mampu menangkap dan memberikan emosi yang sempurna, dengan efektif dan tanpa sia-sia, apalagi setelah kita melihat adegan klimaks di akhir film.

Sebuah kenikmatan hakiki dalam mengakhiri cerita, yang hanya bisa terjadi berkat penyajian konflik yang istimewa.

Multi Perspektif, Multi Linear

Tony Zhou — orang dibalik Every Frame a Painting — dalam salah satu videonya mengatakan bahwa Michael Bay menggunakan teknik visual ‘Bayhem’ secara konstan untuk membuat mata penonton tetap sibuk. Wes Anderson juga melakukan hal yang serupa, bagaimana dia menggunakan perspektif simetris dengan detail dalam setiap shot yang memanjakan mata penonton sepanjang film diputar. Sebagian besar sutradara memang lebih fokus pada teknik visual, dan sebagian lainnya lebih fokus pada elemen storytelling.

John Krasinski, menurut saya merupakan tipe sutradara yang lebih fokus pada cerita pada film jika melihat A Quiet Place yang pertama dan yang kedua. Tidak ada yang spesial dari teknik visual yang digunakan sepanjang film, entah sengaja tidak dibuat atau memang saya yang masih belum bisa melihat ciri khas dari John Krasinski. Tidak ada satu teknik visual yang terasa baru dan unik yang membuat saya merasa unik tertarik.

Apakah ini satu hal yang buruk?

Tidak juga, karena memang pada konteksnya film ini tidak membutuhkan visual yang ‘wah’ untuk menceritakan plotnya. Genre sci-fi horror justru memang harus lebih fokus pada plot — terutama detail-detail kecil pada elemen cerita — agar bisa membuat penontonnya tetap tegang secara konstan sepanjang film. Bukan karena jumpscare atau penampilan monsternya saja.

Kalau kita melihat dari film pertama dan film kedua, ada sebuah pola yang bagaimana John Krasinski membuat jantung penonton berdebar sepanjang film, yaitu dengan memperlihatkan konflik secara multi perspektif secara bersamaan.

Di film A Quiet Place yang pertama, John Krasinski memperlihatkan dua konflik sekalgius dalam waktu yang bersamaan: konflik Evelyn Abbott yang terluka kakinya dan harus melahirkan, serta konflik Lee Abbott yang berusaha menyelamatkan Regan dan Marcuss Abbott saat dikejar oleh monster di lumbung jagung.

Pola yang sama juga kembali digunakan oleh John Krasinski di film sekuel ini, dengan teknik yang lebih ekstrim dan lebih kompleks. Beberapa kali kita dapat melihat 3 konflik sekaligus dari 3 perspektif yang berbeda; Evelyn, Regan dan Marcus Abbott yang saling bergerak dengan tujuannya masing-masing.

Tapi hebatnya, saya sama sekali tidak merasa kebingungan walau adegan sering loncat-loncat antara satu perspektif dengan perspektif lainnya. John Krasinski mampu membuat sinergi adegan antar perspektif, walaupun yang saya lihat dia tidak banyak menggunakan match cut, L-cut ataupun action cut.

John Krasinski menggunakan hal baru saya lihat: yang saya pribadi menamakan cut dengan nama intensity cut: bagaimana tingkat ketegangan menjadi poin transisi antara satu adegan dengan adegan yang lainnya.

Disclaimer, ini bukan istilah ilmiahnya ya!

Saya pertama menyadari intensity cut ini ketika konflik multi perspektif muncul antara adegan Emmet dan Reagan yang sedang berada di pelabuhan dan dijebak warga sekitar, dan adegan ketika Evelyn serta Marcus yang sedang sibuk bermain petak umpet bersama si monster. Berkat intensity cut yang apik, penonton tidak merasa pusing dan dapat mengikuti alur dua perspektif tersebut secara total dan imersif.

Intensity cut yang sama juga bisa kita lihat dari beberapa film yang menggunakan konflik multi perspektif, mulai dari film Frequency, Inception, hingga X-Men: Days of The Future Past. Semua film tersebut menggunakan teknik yang sama, yang tujuannya untuk membuat penonton fokus secara konstan dan melipat-gandakan efek klimaks cerita pada film.

Tapi yang membuat saya kagum dari John Krasinski bukanlah penggunaan intensity cut ini, melainkan cara dia menggabungkan narasi, transisi dan simbolisme menjadi satu adegan yang sangat kuat.

“You’re nothing like him, you’re coward!”

Masih ingat dengan perkataan Reagan pada Emmet ketika dia menolak untuk membantunya menemukan pulau pengungsi? Entah kenapa, satu narasi ini terus menempel di benak saya sepanjang film. Padahal narasinya ga aneh, ga dipaksakan, dan biasa aja. Tapi kok kayaknya penting ya?

Dan benar saja, kalimat tersebut ternyata menjadi sebuah elemen cerita yang penting untuk menunjukan bahwa Reagan adalah seorang yang pemberani, persis seperti ayahnya. Emmet mengatakan hal ini ketika dia dan Reagan duduk bersama di pantai pulau pengungsi:

“You’re right. I’m nothing like him. You are”

Disitu saya langsung mengingat kembali tentang apa saja yang dilakukan oleh sang ayah Lee Abbott — John Krasinski sendiri — di film pertama. Bagaimana dia terlihat sangat pintar, kuat, selalu peduli, dan rela menantang maut demi menyelamatkan keluarganya. Ketika narasi ini terucap, saya lalu mengkomparasikan apa yang dilakukan Reagan dan Lee.

Ya, sifat dan desain karakter dari dua karakter ini memang begitu identikal. Efeknya, penonton tidak hanya bisa melihat kesamaan ini secara fisik, tapi juga dari cara mereka berpikir, cara mereka bertindak, dan cara mereka berusaha bertahan hidup. Penonton bisa merasakan koneksi emosi yang kuat antara ayah dan anak secara nyata.

Apalagi setelah kita melihat bagaimana John Krasinski membuat klimaks di akhir film: dengan memperlihatkan dua perspektif dari anaknya yang sama-sama berhasil membunuh alien sambil melindungi orang lain.

Sungguh, sebuah klimaks yang penuh dengan kepuasan hakiki dan melegakan hati!

Saya menafsirkan adegan klimaks ini sebagai dua hal. Yang pertama, adegan ini membuktikan ‘ramalan’ dari narasi sebelumnya bahwa anak-anak dari Lee Abbot memang memiliki sifat heroik seperti ayahnya. Yang kedua, adegan klimaks bersifat simbolis yang memperlihatkan anak-anak inilah yang nantinya akan mengalahkan para alien di masa depan. Merekalah yang akan mengakhiri invasi alien ini, dan mengawali masa depan manusia yang baru.

Saya tidak menyangka akan mendapatkan sebuah adegan seperti ini dalam film bergenre sci-fi horror. Emosi yang saya rasakan mirip seperti ketika saya menonton akhir dari film The Book of Eli atau Children of Men, dimana terasa sebuah seni yang kaya akan cerita dan memiliki arti tersembunyi. Apalagi ketika film ditutup dengan apik dan pada timing yang sangat tepat, yang mencegah penonton untuk berspekulasi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rasanya puas, sangat puas sekali.

Melihat apa yang dilakukan oleh John Krasinski, A Quiet Place memang punya kelasnya sendiri di genre sci-fi horror. Mulai dari bagaimana dia dan Scott Beck menulis script film dengan format yang sangat unik, hingga perspektif cerita segar yang dia ambil untuk membuat sekuel film ini. Pendeknya, A Quiet Place Part II bikin penontonnya menikmati sebuah cinematic experience yang baru dan sangat berkesan.

Semoga saja spin-off A Quiet Place karya Jeff Nichols tetap mempertahankan ‘tradisi’ dan kualitas film pertama dan kedua ini ya!

--

--

Ben Aryandiaz Herawan
Ben Aryandiaz Herawan

Written by Ben Aryandiaz Herawan

Ars Longa, Vita Brevis. Currently writing what's tangling in my mind.

No responses yet